TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 6 TAHUN 2007
TENTANG
TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN,
SERTA PEMANFAATAN HUTANUMUM
Bangsa Indonesia dikaruniai dan mendapatkan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa kekayaan alam berupa hutan yang tidak ternilai harganya, oleh karena itu, hutan harus diurus dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya berdasarkan akhlak mulia, sebagai ibadah dan perwujudan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Hutan dan kawasan hutan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya dengan dunia internasional menjadi sangat penting dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Untuk itu hutan harus dikelola secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat.
Dalam kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dan penggunaan kawasan hutan dengan status pinjam pakai dapat diterbitkan izin pemanfaatan kayu/izin pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dengan menggunakan ketentuan-ketentuan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu atau bukan kayu pada hutan alam sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
Dalam rangka pengelolaan hutan untuk memperoleh manfaat yang optimal dari hutan dan kawasan hutan bagi kesejahteraan masyarakat, maka pada prinsipnya semua hutan dan kawasan hutan harus dikelola dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik dan keutamaannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya yaitu fungsi konservasi, lindung dan produksi. Oleh karena itu dalam pengelolaan hutan perlu dijaga keseimbangan ketiga fungsi tersebut.
Kondisi hutan belakangan ini sangat memprihatinkan yang ditandai dengan meningkatnya laju degradasi hutan, kurang berkembangnya investasi di bidang kehutanan, rendahnya kemajuan pembangunan hutan tanaman, kurang terkendalinya illegal logging dan illegal trade, merosotnya perekonomian masyarakat di dalam dan sekitar hutan, meningkatnya luas kawasan hutan yang tidak terkelola secara baik sehingga perlu dilakukan upaya-upaya strategis dalam bentuk Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 telah ditetapkan ketentuan-ketentuan tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, sebagai pelaksanaan dari ketentuan Bab V, Bab VII, dan Bab XV Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Khusus untuk penggunaan kawasan hutan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Namun berdasarkan ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, materi penggunaan kawasan hutan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu materi tersebut tidak lagi diatur di dalam Peraturan Pemerintah ini melainkan dalam Peraturan Pemerintah tersendiri.
Selama kurun waktu kurang lebih empat tahun sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah dirasakan belum sepenuhnya mampu mendorong tumbuhnya iklim investasi yang kondusif dan belum mampu meningkatkan kapasitas sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan.
Kondisi tersebut terjadi terutama akibat lemahnya perangkat pengelolaan hutan antara lain karena belum ada peraturan perundangan yang komprehensif yang mengatur pembangunan kelembagaan pengelolaan hutan.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengamanatkan pembentukan wilayah pengelolaan hutan pada tingkat unit pengelolaan yang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 belum diatur sehingga pelaksanaannya tidak berjalan secara baik, bahkan banyak menimbulkan kawasan hutan tidak terkelola dengan baik (open acces).
Memperhatikan perkembangan di atas maka perlu segera diatur kembali pengelolaan hutan sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari melalui pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) serta pengaturan Penyelenggaraan Pengelolaan Hutan, Hutan Hak dan Industri Primer Hasil Hutan;
KPH yang dibangun merupakan kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari bertanggungjawab terhadap pelaksanaan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta penyelenggaraan pengelolaan hutan.
Untuk mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari maka seluruh kawasan hutan terbagi ke dalam KPH, KPH tersebut dapat berbentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK), Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) maupun Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP).
Dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan hutan yang meliputi tata hutan, penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, pemberdayaan masyarakat, rehabilitasi hutan dan reklamasi serta perlindungan hutan dan konservasi alam, pemerintah dapat mendelegasikan kepada Badan Usaha Milik Negara di bidang kehutanan.
Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, telah disusun Peraturan Pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan di bidang Kehutanan. Agar diperoleh sinergitas maka penyempurnaan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 perlu disesuaikan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, terutama dalam kaitannya dengan pembagian tugas, tanggungjawab dan kewenangan urusan di bidang kehutanan.
Untuk lebih mendorong tumbuhnya investasi di bidang kehutanan dalam peraturan pemerintah ini diatur beberapa kegiatan yang merupakan insentif bagi dunia usaha khususnya dalam bidang pembangunan hutan tanaman.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas maka perlu dilakukan pengaturan kembali Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 dengan menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan.
Dalam penyempurnaan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik, keberpihakan kepada masyarakat kecil, mendorong pertumbuhan dan investasi.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Pengelolaan hutan meliputi kegiatan:
a. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan;
b. pemanfaatan hutan;
c. penggunaan kawasan hutan;
d. rehabilitasi dan reklamasi hutan; serta
e. perlindungan hutan dan konservasi alam.
Pengaturan mengenai penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan, serta perlindungan hutan dan konservasi alam, diatur dengan peraturan perundang-undangan tersendiri.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Termasuk dalam kewenangan publik, antara lain, adalah:
a. penunjukan dan penetapan kawasan hutan;
b. pengukuhan kawasan hutan;
c. pinjam pakai kawasan hutan;
d. tukar menukar kawasan hutan;
e. perubahan status dan fungsi kawasan hutan;
f. proses dan pembuatan berita acara tukar menukar, pinjam pakai kawasan hutan;
g. pemberian izin pemanfaatan hutan kepada pihak ketiga atas pengelolaan hutan yang ada di wilayah kerjanya;
h. kegiatan yang berkaitan dengan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "fungsi yang luasnya dominan" adalah apabila dalam satu wilayah KPH terdiri dari satu fungsi hutan, misalnya terdiri dari hutan yang berfungsi produksi dan hutan yang berfungsi lindung, dan jika areal dari salah satu fungsi hutan, misalnya fungsi produksi, lebih luas atau mendominasi areal yang berfungsi lindung, maka KPH tersebut dinamakan KPH produksi (KPHP).
Penentuan nama KPH berdasarkan fungsi yang luasnya dominan adalah untuk efektifitas dan efisiensi pengelolaannya.
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Dalam menetapkan organisasi KPH khususnya yang berkaitan dengan sumber daya manusia, Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota harus memperhatikan antara lain, syarat kompetensi kerja yang diterbitkan oleh lembaga sertifikasi profesi di bidang kehutanan atau pengakuan oleh Menteri.
Ayat (2)
Dalam hal suatu kawasan produksi atau kawasan hutan lindung yang berada dalam satu wilayah provinsi dan/atau kabupaten/kota yang tergabung dalam KPHK, penetapannya dilakukan oleh Pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Termasuk yang diatur dalam peraturan Menteri, antara lain, adalah ketentuan mengenai kemampuan, kompetensi, dan teritorial organisasi KPH.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Termasuk dalam kegiatan membangun KPH dan infrastrukturnya, antara lain, adalah membentuk lembaga pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan sertifikasi SDM, mengelola konflik, mengamankan hutan, dan memberantas illegal loging.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tata hutan" adalah suatu kegiatan untuk mengorganisasikan areal kerja KPH sesuai dengan karakteristik KPH dan hak-hak masyarakat sehingga perencanaan dan kegiatan pengelolaan KPH dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "areal tertentu" adalah suatu areal tertentu, dalam kawasan hutan produksi, kawasan hutan lindung, dan/atau kawasan hutan konservasi, dapat ditetapkan sebagai hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan adat, atau kawasan hutan untuk tujuan khusus, sehingga keberadaannya tidak lepas dari prinsip pengelolaan hutan lestari.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Strategi dan kelayakan pengembangan pengelolaan hutan ditinjau dari aspek kelola kawasan, kelola hutan, dan penataan kelembagaan.
Pengembangan pengelolaan hutan diarahkan untuk mengoptimalkan fungsi-fungsi produksi dan jasa sumber daya hutan dan lingkungannya, baik produksi kayu, produksi bukan kayu maupun jasa-jasa lingkungan, melalui kegiatan pokok berupa pemanfaatan pemberdayaan masyarakat, serta pelestarian lingkungan yang merupakan satu kesatuan kegiatan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "neraca sumber daya hutan" adalah suatu informasi yang dapat menggambarkan cadangan sumber daya hutan, melalui perbandingan antara pemanfaatan termasuk kehilangan sumber daya hutan dan pemulihan termasuk pemulihan secara alami sumber daya hutan, sehingga pada waktu tertentu dapat diketahui apakah cadangan sumber daya hutan kecenderungannya mengalami surplus atau defisit jika dibandingkan dengan keadaan sebelumnya.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "para pihak" adalah pengelola KPH, perwakilan pemerintah yang berwenang, serta perwakilan masyarakat penerima manfaat dan dampak pengelolaan KPH.
Partisipasi para pihak dapat berupa penyampaian informasi sebagai bentuk partisipasi, paling rendah sampai dengan keterlibatan para pihak pada setiap tahapan proses penyusunan perencanaan pengelolaan hutan.
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Termasuk yang diatur dalam peraturan Menteri, antara lain, adalah pedoman penyusunan dan tata cara pengesahan rencana pengelolaan hutan.
Pasal 16
Cukup jelas
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dipindahtangankan" dalam ketentuan ini adalah terbatas pada pengalihan izin pemanfaatan dari pemegang izin kepada pihak lain yang dilakukan melalui jual beli.
Termasuk dalam pengertian pemindahtangankan izin pemanfaatan, sebagaimana yang dapat dilakukan oleh BUMS Indonesia, adalah pengambilalihan sebagian besar atau seluruh saham yang berakibat beralihnya pengendalian perusahaan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "wilayah tertentu", antara lain, adalah wilayah hutan yang situasi dan kondisinya belum menarik bagi pihak ketiga untuk mengembangkan usaha pemanfaatannya, sehingga Pemerintah perlu menugaskan kepala KPH untuk memanfaatkannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
cukup jelas
Pasal 22
Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan" dalam ketentuan ini adalah peraturan perundang-undangan dalam ketentuan ini adalah peraturan perundang-undangan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Pasal 23
Ayat (1)
Pemanfaatan hutan pada hutan lindung dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama masyarakat setempat, sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi hutan lindung sebagai amanah untuk mewujudkan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "pengolahan tanah terbatas (minimum tillage)" adalah berupa kegiatan pengolahan tanah yang dilakukan secara non mekanis dan tradisional (tugal).
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Termasuk dalam potensi jasa lingkungan pada hutan lindung adalah dapat berupa:
a. pengatur tata air;
b. penyedia keindahan alam;
c. penyedia sumber keanekaragaman hayati; atau
d. penyerap dan penyimpan karbon Yang dimaksud dengan "unsur-unsur lingkungan" adalah unsur hayati seperti dinamika populasi flora-fauna, phytogeografi dan unsur non hayati seperti sifat fisik dan kimia tanah, bebatuan, hydrografi, suhu dan kelembaban.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "kompensasi" dalam ketentuan ini adalah membayar dengan sejumlah dana atas pemanfaatan air dan jasa aliran air untuk pemeliharaan dan rehabilitasi daerah tangkapan air.
Dana kompensasi yang berasal dari pemanfaatan air dan jasa aliran air disetor ke Kas Negara dan diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (4)
Termasuk yang diatur dalam peraturan Menteri, antara lain, adalah kriteria, pedoman, tata cara pemanfaatan jasa lingkungan dan pengenaan serta pemungutan dana kompensasi.
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "kemampuan produktifitas lestari" adalah pertambahan ukuran (volume, berat, jumlah) per tahun dari populasi jenis hasil hutan bukan kayu yang bersangkutan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Termasuk dalam usaha perlindungan keanekaragaman hayati, antara lain, adalah berupa kegiatan perlindungan, pemanfaatan jasa tata air dan wisata alam.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Termasuk dalam pemanfaatan kawasan pada hutan produksi adalah memanfaatkan ruang tumbuh dengan tidak mengganggu fungsi utamanya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "unsur-unsur lingkungan" adalah unsur hayati dan non hayati serta proses-proses ekosistem, antara lain, dinamika populasi flora-fauna dan phytogeografi.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "kompensasi" dalam ketentuan ini adalah membayar dengan sejumlah dana atas pemanfaatan air dan jasa aliran air untuk pemeliharaan dan rehabilitasi daerah tangkapan air.
Dana kompensasi yang berasal dari pemanfaatan air dan jasa aliran air disetor ke Kas Negara dan diatur sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam ditujukan untuk mengembalikan unsur hayati serta unsur non hayati pada suatu kawasan dengan jenis asli sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
Penentuan potensi hutan produksi, didasarkan pada gambaran umum vegetasi areal hutan dan penutupan vegetasi, didasarkan pada citra landsat, dan jumlah pohon.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "mencapai keseimbangan hayati" adalah apabila kegiatan pengembalian unsur biotik serta unsur abiotik pada suatu kawasan telah dilaksanakan sehingga pada waktunya dapat dilakukan kegiatan pemanenan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 37
Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT) atau Hak Pengusahaan HTI (HPHTI).
Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman pada saat pemanenan hasil dapat dilakukan dengan cara tebang habis dengan penanaman kembali atau tebang habis dengan permudaan buatan.
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "tanaman sejenis" adalah tanaman hutan berkayu yang hanya terdiri dari satu jenis (species) beserta varietasnya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "tanaman berbagai jenis" adalah tanaman hutan berkayu yang dikombinasikan dengan tanaman budidaya tahunan yang berkayu, atau jenis lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Termasuk yang diatur dalam peraturan Menteri, antara lain, adalah:
a. luas areal;
b. pola pembangunan dan pengembangan;
c. kriteria lokasi;
d. hubungan hukum para pihak; dan
e. kriteria perorangan, kelompok atau koperasi yang mendapat izin HTR.
Pasal 41
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "tanaman sejenis" adalah tanaman hutan berkayu yang hanya terdiri dari satu jenis (species) beserta varietasnya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "tanaman berbagai jenis" adalah tanaman hutan berkayu yang dikombinasikan dengan tanaman budidaya tahunan yang berkayu, atau jenis lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Ayat (1)
Jumlah volume yang diberikan dalam pemungutan hasil hutan kayu disesuaikan dengan kebutuhan fasilitas umum.
Ayat (2)
Jumlah volume yang diberikan dalam pemungutan hasil hutan kayu disesuaikan dengan kebutuhan untuk rumah tangga.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam atau hutan tanaman, didasarkan pada manajemen sistem silvikultur yang digunakan, sehingga memungkinkan suatu areal usaha pemanfaatan hutan dapat efektif hingga mencakup areal berhutan bekas tebangan maupun areal tidak berhutan yang tidak memungkinkan secara ekonomis dan lestari dikelola sendiri-sendiri.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Ayat (1)
Dalam hal pemegang izin melihat permintaan pasar atas hutan tanaman yang dinilai ekonomis untuk ditebang, maka pemegang izin dilaporkan kepada Menteri untuk melakukan penebangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Cukup jelas
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Ayat (1)
Menteri, secara bertahap dan selektif, dapat melimpahkan kewenangan pemberian IUPHHK dalam hutan alam pada hutan produksi kepada daerah, tergantung kepada kesiapan daerah yang bersangkutan baik dari segi kelembagaan, visi, atau misi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Gubernur apabila dalam wilayah provinsi, bupati/walikota apabila dalam satu wilayah kabupaten/kota.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Termasuk yang diatur dalam peraturan Menteri, antara lain, adalah rekomendasi pejabat yang berwenang, persyaratan subyek yang dapat diberikan izin, dan luasan yang dapat diberikan serta persyaratan kemitraan.
Pasal 67
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "perorangan" dalam ketentuan ini adalah perorangan yang berada di dalam atau di sekitar hutan.
Yang dimaksud dengan "koperasi" dalam ketentuan ini adalah koperasi masyarakat setempat yang bergerak di bidang usaha kehutanan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
BUMS Indonesia sebagai perseroan terbatas yang berbadan hukum Indonesia meskipun modalnya berasal dari investor atau modal asing, dapat diberikan IUPJL dalam bentuk rehabilitasi dan penyelamatan kawasan dan lahan atau memperbaiki lingkungan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
BUMS Indonesia sebagai perseroan terbatas yang berbadan hukum Indonesia meskipul modalnya berasal dari investor atau modal asing, dapat diberikan IUPHHK pada hutan tanaman industri (HTI) dalam hutan tanaman pada hutan produksi.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "koperasi" dalam ketentuan ini adalah koperasi yang bergerak dalam skala usaha mikro, kecil, atau menengah yang dibangun masyarakat setempat.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas
Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "menyeleksi para pemohon" adalah seleksi persyaratannya, antara lain, persyaratan administrasi, persyaratan proposal teknis, kelayakan finansial dan analisis manfaat sosial ekonomi dan prospek pasar.
Yang dimaksud dengan "menyeleksi status kawasan hutan" adalah penilaian status kawasan, antara lain, potensi kawasan terhadap kemungkinan dapat dilakukannya kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan berupa kayu dan aksesibilitas yang dapat dikembangkan.
Termasuk yang akan dinilai terhadap status kawasan hutan, antara lain, adalah lahan kosong, padang alang-alang dan/atau semak belukar pada kawasan hutan produksi, topografi dengan kelerengan paling tinggi 25% (dua puluh lima perseratus) dan topografi pada kelerengan 8% (delapan perseratus) - 25% (dua puluh lima perseratus) harus diikuti dengan upaya konservasi tanah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
"Kinerja baik" dalam ketentuan ini ditunjukkan dengan adanya pengakuan dari lembaga penilai independen yang diakreditasi oleh Menteri.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Bagi hasil antara koperasi dengan Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota dilakukan secara proporsional dengan memperhitungkan besarnya investasi yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak dalam kegiatan rehabilitasi hutan.
Ayat (5)
Dalam mengatur hak pemegang izin, peraturan Menteri harus mempertimbangkan kepentingan pertumbuhan ekonomi masyarakat dan mencegah timbulnya konglomerasi yang tidak sehat.
Pasal 71
Huruf a
Dalam rencana kerja, antara lain, memuat pula aspek kelestarian usaha, aspek keseimbangan lingkungan, dan sosial dan ekonomi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "kegiatan secara nyata" adalah kegiatan memasukkan peralatan mekanik paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari unit peralatan yang ditentukan ke dalam areal kerja serta membangun sarana dan prasarana, untuk pemegang IUPHHK.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Termasuk dalam perlindungan hutan, antara lain, meliputi:
a. mencegah adanya pohon tanpa izin;
b. mencegah atau memadamkan kebakaran hutan;
c. menyediakan sarana dan prasarana pengamanan hutan;
d. mencegah perburuan satwa liar dan/atau satwa yang dilindungi;
e. mencegah penggarapan dan/atau penggunaan dan/atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
f. mencegah perambahan kawasan hutan;
g. mencegah terhadap gangguan hama dan penyakit; dan/atau
h. membangun unit satuan pengamanan hutan.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "tenaga profesional bidang kehutanan" adalah sarjana kehutanan dan tenaga teknis menengah, yang meliputi lulusan sekolah kehutanan menengah atas (SKMA), diploma kehutanan, serta tenaga-tenaga hasil pendidikan dan latihan kehutanan, antara lain, penguji kayu (grader), perisalah kayu (cruiser), dan pengukur (scaler).
Yang dimaksud dengan "tenaga lain" adalah tenaga ahli di bidang lingkungan sosial, ekonomi, dan hukum.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas
Pasal 72
Ayat (1)
Bentuk kerjasama dapat berupa penyertaan saham atau kerjasama usaha pada segmen kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan.
Termasuk dalam kegiatan kerjasama usaha pada segmen kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan, antara lain, adalah penataan batas areal kerja, batas blok dan batas petak kerja, pembukaan wilayah hutan, pemanenan hasil hutan, penyiapan lahan, perapihan, inventarisasi potensi hasil hutan, pengadaan benih dan bibit, penanaman dan pengayaan, pembebasan, pengangkutan, pengolahan hasil hutan, pemasaran hasil hutan, dan kegiatan pendukung lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "memenuhi kriteria dan indikator yang ditetapkan oleh Menteri" adalah mendapat sertifikat pengelolaan hutas lestari secara mandatory atau voluntary.
Ayat (3)
RKUPHHK dibuat berdasarkan inventarisasi berkala sepuluh tahunan yang dilakukan oleh pemegang izin berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
RKT diajukan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum RKT berjalan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas
Pasal 74
Cukup jelas
Pasal 75
Ayat (1)
Huruf a
RKUPHHK dibuat berdasarkan inventarisasi berkala sepuluh tahunan yang dilakukan oleh pemegang izin berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Menyediakan areal paling banyak 5% (lima perseratus) dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada masyarakat di dalam dan di sekitar areal IUPHHK HTI, untuk ikut aktif dalam pembangunan HTI.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "50% (lima puluh perseratus) dari luas tanaman yang wajib ditanam selama 5 tahun adalah:
50 % x luas areal x 5 tahun
- ----------------------------
Daur (Th)
Huruf k
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Penyusunan RKUPHHK dan RKT pada HTR difasilitasi oleh kepala KPH atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Termasuk dalam kriteria meninggalkan areal kerja atau pekerjaan sebelum izin berakhir adalah tidak:
1. menyediakan alat-alat atau peralatan untuk melaksanakan kegiatannya;
2. berfungsinya alat-alat atau peralatan yang tersedia;
3. ada lagi tenaga kerja tetap di areal kerjanya; atau
4. ada kegiatan pemanfaatan.
Pasal 76
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pemegang izin" adalah pemegang:
a. IUPK;
b. IUPJL;
c. IUPHHK dan/atau IPHHBK pada hutan alam;
d. IUPHHK restorasi ekosistem hutan alam;
e. IUPHHK dan/atau IUPHHBK pada hutan tanaman.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 80
Ayat (1)
Termasuk dalam "laporan hasil produksi" adalah laporan hasil pemanenan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Termasuk yang diatur dalam peraturan Menteri, antara lain, adalah mekanisme dan prosedur, jangka waktu, kriteria dan standar.
Pasal 82
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Sebelum dilakukan pencabutan izin terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan lapangan.
Huruf c
Pernyataan tertulis dilengkapi dengan alasan-alasan yang jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Audit dilaksanakan untuk mengevaluasi pemenuhan kewajiban pemegang izin.
Ayat (3)
Untuk melunasi kewajiban finansial pemegang izin yang izinnya telah berakhir, Pemerintah, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota, dapat melakukan upaya paksa, antara lain, menyita barang-barang bergerak milik pemegang izin, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (4)
Barang bergerak tetap menjadi milik pemegang izin.
Ayat (5)
Setelah izin habis, maka tanaman yang telah ditanam tersebut harus segera ditebang bagi tanaman yang telah memenuhi masa tebang sesuai daur, paling lambat 1 (satu) tahun sejak tanggal hapusnya izin, dan bila tidak ditebang menjadi milik negara.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan "pihak ketiga", antara lain, adalah kreditor atau mitra usaha.
Pemerintah memperhitungkan nilai tegakan/tanaman yang dibangun oleh perusahaan pemegang izin sebagai aset perusahaan, terutama pada waktu awal pembangunan hutan tanaman, dan tidak dimulai dari konversi hutan alam melalui izin pemanfaatan kayu.
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 83
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "masyarakat setempat" adalah kesatuan sosial yang terdiri dari warga negara Republik Indonesia yang tinggal di dalam dan/atau di sekitar hutan, yang bermukim di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang memiliki komunitas sosial dengan kesamaan mata pencaharian yang bergantung pada hutan dan aktivitasnya dapat berpengaruh terhadap ekosistem hutan.
Ayat (2)
Pelaksanaan pemberdayaan oleh KPH, sepanjang KPH telah terbentuk.
Apabila KPH belum terbentuk pelaksanaan pemberdayaan masyarakat dilakukan oleh institusi kehutanan yang ada di daerah.
Kewajiban pelaksanaan pemberdayaan, antara lain, meliputi pendampingan penyusunan rencana pengelolaan areal pemberdayaan masyarakat, serta penguatan kapasitas atau kelembagaan.
Pasal 84
Pemberdayaan masyarakat setempat:
a. pada areal hutan yang belum dibebani izin pemanfaatan hutan atau hak pengelolaan hutan, dilakukan melalui hutan desa dan hutan kemasyarakatan.
b. pada areal hutan yang telah dibebani izin pemanfaatan hutan atau hak pengelolaan hutan, dilakukan melalui pola kemitraan.
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Termasuk yang diatur dalam peraturan Menteri, antara lain adalah mengenai:
a. hak dan kewajiban pemegang hak pengelolaan hutan desa;
b. hapusnya hak pengelolaan hutan desa;
c. sanksi administratif pemegang hak pengelolaan hutan desa; dan
d. standar dan kriteria akuntabilitas hutan desa.
Pasal 88
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pengembangan usaha" adalah meningkatkan kemampuan lembaga desa dalam usaha pemanfaatan hutan, antara lain, melalui bimbingan, supervisi, pendidikan dan latihan, penyuluhan, akses terhadap pasar, dan permodalan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 89
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" antara lain, adalah kesiapan daerah yang bersangkutan dari segi kelembagaan.
Ayat (3)
Dalam mengelola hutan desa, lembaga desa dapat membentuk koperasi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 90
Cukup jelas
Pasal 91
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Termasuk yang diatur dalam peraturan Menteri, antara lain, adalah mengatur mengenai penentuan kriteria areal hutan kemasyarakatan.
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pengembangan kelembagaan" adalah meningkatkan kemampuan masyarakat dalam kelembagaan pemanfaatan hutan, antara lain, melalui bimbingan, supervisi, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan.
Yang dimaksud dengan "pengembangan usaha" adalah meningkatkan kemampuan masyarakat setempat dalam usaha pemanfaatan hutan, antara lain, melalui bimbingan, supervisi, pendidikan dan latihan, penyuluhan, akses terhadap pasar dan permodalan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 96
Ayat (1)
Huruf a
Pemanfaatan hasil hutan kayu mulai kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, dan pemasaran.
Pemegang IUPHHK dalam hutan kemasyarakatan hanya diizinkan memanfaatkan hasil hutan tanaman berkayu yang merupakan hasil penanamannya.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud "dalam keadaan tertentu" antara lain, adalah kesiapan daerah yang bersangkutan dari segi kelembagaan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Termasuk yang diatur dalam peraturan Menteri, antara lain, adalah:
a. tata cara pemberian izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan yang mencerminkan adanya keberpihakan kepada masyarakat setempat;
b. kriteria kelompok masyarakat yang mendapat izin usaha pemanfaatan hutan oleh bupati;
c. hak dan kewajiban pemegang izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan;
d. hapusnya izin dan perpanjangan izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan;
e. sanksi administratif pemegang izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan; dan
f. standar dan kriteria akuntabilitas hutan kemasyarakatan.
Pasal 97
Cukup jelas
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kemitraan" adalah kerjasama antara masyarakat setempat dan pemegang izin pemanfaatan hutan atau pemegang hak pengelolaan hutan, dengan prinsip kesetaraan dan saling menguntungkan.
Ayat (2)
Termasuk dalam pemberian fasilitasi, antara lain, adalah membantu menyelesaikan konflik dan membentuk kemitraan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 100
Ayat (1)
Hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak, lazim disebut hutan rakyat.
Ayat (2)
Pemanfaatan hutan hak dapat berupa pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, dan pemanfaatan jasa lingkungan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 101
Pemberian kompensasi, antara lain, dapat berupa prioritas program pembangunan, melalui subsidi pinjaman lunak, kemudahan pelayanan, dan pendampingan.
Pasal 102
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Perubahan status hutan hak menjadi kawasan hutan dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemilik dan pemerintah.
Pasal 103
Termasuk dalam pemberian fasilitasi untuk pengembangan hutan hak, antara lain, adalah dapat berupa pendampingan, bimbingan, pelatihan, penyuluhan, penyediaan informasi, sosialisasi, bantuan permodalan dan kemudahan pelayanan pemanfaatan hasil hutan hak, atau pemberian insentif lainnya.
Pasal 104
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "industri primer hasil hutan" adalah industri hulu hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Yang dimaksud dengan "penggunaan bahan baku secara efisien" adalah penggunaan bahan baku untuk meminimalkan limbah dan menghasilkan produk bernilai tinggi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 105
Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas
Pasal 107
Cukup jelas
Pasal 108
Cukup jelas
Pasal 109
Yang dimaksud dengan "kerjasama dengan pemegang hutan hak" adalah pemegang izin industri dapat menampung bahan baku kayu dari kebun atau tanah milik masyarakat, terutama masyarakat di sekitar industri.
Pasal 110
Cukup jelas
Pasal 111
Cukup jelas
Pasal 112
Cukup jelas
Pasal 113
Ayat (1)
Kewenangan bupati/walikota untuk menerbitkan tanda daftar industri primer hasil hutan bukan kayu, izin usaha dan izin perluasan industri primer hasil hutan bukan kayu tetap tunduk kepada ketentuan tentang bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan tertentu bagi penanaman modal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 114
Cukup jelas
Pasal 115
Ayat (1)
Huruf a
Dalam izin usaha industri primer hasil hutan kayu dan bukan kayu, antara lain, memuat keharusan menyusun dan melaporkan rencana pemenuhan bahan baku industri (RPBBI) setiap tahun, secara benar dan lengkap.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
RPBBI merupakan sistem pengendalian pasokan bahan baku, yang wajib disusun dan disampaikan oleh pemegang izin usaha industri yang mengolah langsung hasil hutan kayu dan bukan kayu.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "mempekerjakan" adalah jika suatu industri tidak memiliki tenaga pengukuran dan pengujian hasil hutan yang bersertifikat, dapat bekerjasama dengan industri lain yang memiliki tenaga tersebut, dengan cara mempekerjakan dalam industrinya.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 116
Huruf a
Yang dimaksud dengan "perluasan industri" adalah meliputi kegiatan menambah jenis produk dan kapasitas di atas 30% (tiga puluh perseratus) dari izin yang dimiliki.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas
Pasal 117
Ayat (1)
Dalam kegiatan penatausahaan hasil hutan, antara lain, meliputi kegiatan menatausahakan rencana produksi, memanen atau menebang, menandai, mengukur dan menguji, mengangkut/mengedarkan, serta menimbun, mengolah, dan menyampaikan laporan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 118
Ayat (1)
Termasuk hasil hutan yang berasal dari hutan hak, antara lain, meliputi kayu-kayu yang berasal dari tanah yang dibebani hak atas tanah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 119
Yang dimaksud dengan "dilengkapi bersama-sama" adalah bahwa pada setiap pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil hutan secara fisik, harus disertai dan dilengkapi dengan surat-surat yang sah pada waktu dan tempat yang sama, sebagai bukti dan tidak boleh disusulkan (pada waktu dan tempat yang berbeda), surat yang sah dan fisik hasil hutan harus selalu melekat dalam proses pengangkutan, penguasaan, dan pemilikan.
Pasal 120
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengukuran dan pengujian hasil hutan dilaksanakan oleh tenaga teknis pengukuran dan pengujian dengan maksud diperoleh hasil yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara teknis kehutanan.
Pasal 121
Ayat (1)
Pemasaran hasil hutan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri dan masyarakat dalam rangka pengelolaan hutan lestari.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 122
Cukup jelas
Pasal 123
Ayat (1)
Kebijakan tersebut meliputi pengaturan atau penetapan pedoman dalam kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan.
Kebijakan yang dimaksud meliputi penyusunan maupun pelaksanaannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 124
Cukup jelas
Pasal 125
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Keberhasilan pengelolaan hutan lestari dicerminkan dengan kinerja pengelolaan hutan yang diukur dengan kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari yang dibuktikan dengan sertifikat pengelolaan hutan lestari oleh Menteri, berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh lembaga penilai independen.
Ayat (4)
Yang diatur dalam peraturan Menteri, antara lain, adalah kriteria dan standar tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan.
Pasal 126
Cukup jelas
Pasal 127
Cukup jelas
Pasal 128
Pengenaan sanksi didasarkan pada bobot pelanggarannya. Pelanggaran yang termasuk kategori berat, dikenakan sanksi pencabutan; kategori ringan, dikenakan sanksi administratif berupa denda; dan kategori lebih ringan, dikenakan sanksi penghentian kegiatan dan/atau penghentian pelayanan administrasi.
Untuk mewujudkan azas-azas umum pemerintahan yang baik (AUPB), khususnya untuk pelanggaran kategori berat dengan sanksi pencabutan, sebelum dilakukan pencabutan izin terlebih dahulu wajib diberikan peringatan sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut.
Pemenuhan atas pengenaan sanksi tidak meniadakan kewajiban pemegang izin untuk membayar kewajiban pungutan di bidang kehutanan, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 129
Cukup jelas
Pasal 130
Cukup jelas
Pasal 131
Cukup jelas
Pasal 132
Cukup jelas
Pasal 133
Cukup jelas
Pasal 134
Cukup jelas
Pasal 135
Cukup jelas
Pasal 136
Cukup jelas
Pasal 137
Cukup jelas
Pasal 138
Cukup jelas
Pasal 139
Cukup jelas
Pasal 140
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Termasuk dalam kebijakan atau program sebelumnya yang telah dilaksanakan dalam rangka pemberdayaan masyarakat, antara lain adalah social forestry.
Huruf i
Cukup jelas
Pasal 141
Penetapan KPH oleh Menteri ditindaklanjuti dengan pembangunan kelembagaan KPH.
Menteri menetapkan prioritas pembangunan kelembagaan KPH sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pengelolaan hutan.
Pasal 142
Cukup jelas
Pasal 143
Cukup jelas
Pasal 144
Cukup jelas