[Aktifkan javascript untuk melihat halaman ini.]
BAB I
KETENTUAN UMUM

Bagian Kesatu
Pengertian

Pengaturan Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan bertujuan untuk:
a. menjamin kelestarian sumberdaya genetik tanaman hutan dan pemanfaatannya; dan
b. menjamin tersedianya benih dan/atau bibit tanaman hutan dengan mutu yang baik.

Bagian Ketiga
Ruang Lingkup

Pasal 3
Pengaturan Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan meliputi:
a. pembangunan sumberdaya genetik;
b. pemuliaan tanaman hutan;
c. pengadaan benih, pengedaran benih dan bibit;
d. sertifikasi; dan
e. pembinaan.

BAB II
PEMBANGUNAN SUMBERDAYA GENETIK

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 4
Pembangunan sumberdaya genetik dilakukan untuk melindungi sumberdaya genetik, mempertahankan keragaman genetik, dan menjamin ketersediaan materi genetik.

(1) Penetapan jenis prioritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a, dilakukan untuk menetapkan jenis tanaman yang perlu dikembangkan ketersediaan dan pemanfaatannya.
(2) Penetapan jenis prioritas disusun berdasarkan:
a. nilai produksi;
b. lingkup kegunaan;
c. potensi pasar;
d. pilihan pengguna; dan/atau
e. status kelangkaan.
(3) Penetapan jenis prioritas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Direktur Jenderal.

Bagian Ketiga
Pengamatan Variasi Genetik

Pasal 7
(1) Pengamatan variasi genetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dilakukan untuk menentukan luas variasi genetik dari suatu populasi.
(2) Pengamatan variasi genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui analisis:
a. zona gen-ekologis atau zona ekologis;
b. uji lapangan; atau
c. marka genetik.
(3) Pengamatan variasi genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Badan.
(4) Hasil pengamatan variasi genetik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digunakan lebih lanjut dalam konservasi sumberdaya genetik.

Bagian Keempat
Konservasi Sumberdaya Genetik

Pasal 8
(1) Konservasi sumberdaya genetik dilakukan secara in-situ dan ex-situ di dalam kawasan hutan atau di luar kawasan hutan.
(2) Konservasi sumberdaya genetik secara in-situ dilaksanakan di lokasi tempat tumbuhnya melalui pemeliharaan areal konservasi sumberdaya genetik.
(3) Konservasi sumberdaya genetik secara ex-situ dapat dilaksanakan melalui:
a. pembangunan areal konservasi sumberdaya genetik; atau
b. pembangunan bank benih, bank tepung sari, atau bank kultur jaringan.

(1) Lokasi areal konservasi sumberdaya genetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3) huruf a yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Menteri sebagai areal konservasi sumberdaya genetik.
(2) Penetapan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas usulan Bupati/Walikota dan pertimbangan teknis dari Gubernur.
(3) Usulan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan:
a. deskripsi jenis sumberdaya genetik prioritas yang akan dikonservasi;
b. deskripsi calon lokasi areal konservasi sumberdaya genetik; dan
c. rencana pembangunan areal konservasi sumberdaya genetik.
(4) Pertimbangan teknis dari Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat kelayakan teknis yang meliputi:
a. jenis sumberdaya genetik prioritas yang akan dikonservasi berdasarkan nilai sosial ekonomi atau zona ekologis;
b. distribusi geografis dan jumlah populasi yang perlu dikonservasi; dan
c. tingkat kepadatan populasi dari jenis prioritas sumberdaya genetik yang akan dikonservasi.
(5) Ketentuan lebih lanjut tentang penetapan lokasi areal konservasi sumberdaya genetik diatur oleh Direktur Jenderal.

Pasal 11
Lokasi areal konservasi sumberdaya genetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3) huruf a yang diselenggarakan oleh perorangan dan badan usaha wajib didaftarkan kepada Direktur Jenderal, dengan dilengkapi:
a. jenis sumberdaya genetik yang dikonservasi; dan
b. deskripsi lokasi areal konservasi sumberdaya genetik.

Pemuliaan tanaman hutan dilaksanakan untuk mempertahankan kemurnian jenis yang sudah ada dan/atau memperoleh sifat-sifat unggul tanaman hutan guna peningkatan produksi dan kualitas hasil.

Pasal 14
Pemuliaan tanaman hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dapat dilaksanakan oleh:
a. perorangan;
b. badan usaha (BUMN, BUMS, BUMD, Koperasi); atau
c. perguruan tinggi.

(1) Benih unggul atau varietas unggul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) sebelum diedarkan harus dilakukan pelepasan oleh Menteri.
(2) Pelepasan benih unggul atau varietas unggul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila jumlah benihnya cukup tersedia untuk produksi lebih lanjut.
(3) Pelepasan benih unggul atau varietas unggul tanaman hutan dilakukan atas permohonan pelaksana pemuliaan.
(4) Tata cara pelepasan benih unggul atau varietas unggul tanaman hutan adalah sebagai berikut:
a. Pelaksana pemuliaan mengajukan permohonan kepada Menteri dengan tembusan kepada Kepala Badan.
b. Menteri membentuk tim penilai yang anggotanya terdiri dari unsur-unsur terkait.
c. Tim Penilai menyampaikan hasil penilaiannya kepada Menteri.
d. Berdasarkan hasil penilaian, Menteri dapat menyetujui atau menolak benih unggul atau varietas unggul.
e. Dalam hal Menteri menyetujui maka Menteri menerbitkan surat keputusan pelepasan benih unggul atau varietas unggul.
f. Dalam hal Menteri menolak maka Menteri memberitahukan kepada pemohon.

Pasal 17
(1) Direktur Jenderal melakukan pemantauan secara berkala terhadap benih unggul atau varietas unggul yang telah dilepas.
(2) Direktur Jenderal melarang pengadaan, peredaran dan penanaman benih unggul atau varietas unggul yang berdasarkan pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ternyata menimbulkan kerugian bagi masyarakat dan lingkungan.

BAB IV
PENGADAAN BENIH, PENGEDARAN BENIH DAN BIBIT

Bagian Kesatu
Pengadaan Benih

Pasal 18
(1) Pengadaan benih dimaksudkan untuk menyediakan benih bermutu dalam jumlah yang cukup melalui produksi dalam negeri dan/atau pemasukan dari luar negeri.
(2) Pengadaan benih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pengada benih.
(3) Pengada benih dapat berupa:
a. perorangan; atau
b. badan usaha (BUMN, BUMS, BUMD, Koperasi).

Paragraf 1
Pengadaan Benih dari Produksi Dalam Negeri

(1) Dalam hal sumber benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) belum tersedia atau belum mencukupi kebutuhan, pengadaan benih dapat berasal dari pohon dan/atau tegakan di luar sumber benih.
(2) Menteri menetapkan jenis tanaman tertentu yang benihnya harus diambil dari sumber benih bersertifikat.

Pasal 21
(1) Sumber benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dapat berada di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan.
(2) Sumber benih dalam Cagar Alam serta Zona Inti dan Zona Rimba pada Taman Nasional hanya untuk Tegakan Benih Teridentifikasi.

Paragraf 2
Pemasukan Benih dari Luar Negeri

Pemasukan benih dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dilakukan berdasarkan izin Direktur Jenderal atau Kepala Badan.

Pasal 24
(1) Permohonan izin harus mencantumkan tujuan pemasukan; jenis, kuantitas, dan kualitas benih; dan asal negara.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada:
a. Direktur Jenderal dalam hal izin pemasukan untuk tujuan pembangunan hutan tanaman serta rehabilitasi hutan dan lahan.
b. Kepala Badan dalam hal izin pemasukan untuk tujuan penelitian dan pengembangan, introduksi, dan pemberian souvenir kenegaraan.
(3) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan menyertakan keterangan dari institusi di negara asal benih tentang:
a. asal-usul (certificate of origin);
b. kualitas (certificate of quality); dan
c. kesehatan (certificate of phytosanitary).
(4) Keterangan tentang asal-usul, kualitas dan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilengkapi dengan sertifikat asli pada saat pemasukan benih.

Pasal 25
(1) Permohonan izin pemasukan benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) diajukan pada setiap kali pemasukan benih.
(2) Prosedur pemasukan benih dari luar negeri tercantum pada Lampiran 2 Peraturan ini.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang pemasukan benih dari luar negeri diatur oleh Direktur Jenderal.

Bagian Kedua
Pengedaran Benih dan Bibit

Pasal 26
Pengedaran benih dan/atau bibit meliputi pengedaran di dalam negeri dan pengeluaran ke luar negeri.

Paragraf 1
Pengedaran di dalam negeri

Pasal 27
(1) Pengedaran benih dan/atau bibit di dalam negeri dilaksanakan oleh pengedar benih dan/atau bibit.
(2) Pengedar benih dan/atau bibit dapat berupa:
a. perorangan; atau
b. badan usaha (BUMN, BUMS, BUMD, Koperasi).

Pasal 28
Pengedar benih dan/atau bibit wajib menjaga mutu benih dan/atau bibit yang diedarkan.

Paragraf 2
Pengeluaran benih dan bibit ke luar negeri

Pasal 29
(1) Benih dan/atau bibit tanaman hutan yang dapat dikeluarkan dari Wilayah Republik Indonesia adalah:
a. benih dan/atau bibit tanaman bermutu yang berasal dari sumber benih yang telah bersertifikat dan telah berkembang di Indonesia;
b. benih dan/atau bibit yang bukan merupakan benih dan/atau bibit dengan mutu terbaik; dan/atau
c. benih dan/atau bibit tanaman yang tidak dilindungi oleh peraturan perundang-undangan.
(2) Pengeluaran benih dan/bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila kebutuhan di dalam negeri telah dipenuhi.

Pasal 30
(1) Pengeluaran benih dan/atau bibit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dilakukan setelah mendapat persetujuan Direktur Jenderal.
(2) Permohonan izin diajukan kepada Direktur Jenderal dengan mencantumkan tujuan, jenis, kuantitas, kualitas dan negara tujuan.
(3) Permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan:
a. keterangan asal-usul (certificate of origin) benih atau bibit dari Direktur Jenderal;
b. sertifikat mutu benih atau bibit (certificate of quality) dari Dinas atau Balai; dan
c. sertifikat kesehatan benih atau bibit (certificate of phytosanitary) dari Instansi Karantina Tumbuhan.
(4) Kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan apabila dibutuhkan oleh pihak pemohon dari luar wilayah Republik Indonesia.

Pasal 31
(1) Pedoman tentang prosedur pengeluaran benih dan/atau bibit ke luar wilayah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) tercantum pada Lampiran 3 Peraturan ini.
(2) Pedoman tentang prosedur sertifikasi asal-usul benih atau bibit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) huruf a adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran 4 Peraturan ini.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang izin pengeluaran benih dan/atau bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan sertifikasi asal-usul benih atau bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Direktur Jenderal.

Bagian Ketiga
Penetapan Pengada Benih dan Pengedar Benih dan/atau Bibit Terdaftar

Pasal 32
(1) Pengada benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dan pengedar benih dan/atau bibit sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (2) harus terdaftar melalui proses penetapan pengada benih dan pengedar benih dan/atau bibit terdaftar.
(2) Penetapan pengada benih dan pengedar benih dan/atau bibit terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Dinas Kabupaten/Kota di mana terdapat pusat kegiatan utama dari pengada dan pengedar.

Pasal 33
(1) Penetapan pengada benih terdaftar didasarkan pada kepemilikan sumber benih, sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia.
(2) Penetapan pengedar benih dan/atau bibit terdaftar didasarkan pada kepemilikan sarana dan prasarana serta sumberdaya manusia.
(3) Penetapan Perum Perhutani sebagai pengada dan pengedar benih dan/atau bibit terdaftar dilakukan oleh Direktur Jenderal.
(4) Prosedur penetapan pengada benih dan pengedar benih dan/atau bibit terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) tercantum pada Lampiran 5 Peraturan ini.
(5) Ketentuan lebih lanjut tentang penetapan pengada benih dan pengedar benih dan/atau bibit terdaftar diatur oleh Direktur Jenderal.

Pasal 34
Biaya kegiatan lapangan yang dilakukan dalam rangka penetapan pengada benih dan pengedar benih dan/atau bibit terdaftar ditanggung oleh pemohon.

Bagian Keempat
Tata Usaha Benih dan Bibit

Pasal 35
Tata usaha benih dan bibit tanaman hutan mengatur kewajiban semua pihak yang terkait dalam penyelenggaraan tata usaha pengadaan dan pengedaran benih dan bibit tanaman hutan.

Pasal 36
Tata usaha benih dan bibit tanaman hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 terdiri dari:
a. tata usaha benih;
b. tata usaha bibit.

Pasal 37
Pedoman tentang tata usaha benih dan/atau bibit adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran 6 Peraturan ini.

Bagian kelima
Pengawasan Peredaran Benih dan bibit

Pasal 38
(1) Untuk terjaminnya pelaksanaan tata usaha benih dan bibit perlu diselenggarakan pengawasan peredaran benih dan bibit.
(2) Pengawasan peredaran benih dan bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengawas Benih Tanaman Hutan.

Pasal 39
Pengawas benih tanaman hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) memiliki tugas:
a. melakukan pengawasan terhadap proses pengunduhan atau pengumpulan benih yang berada di wilayahnya;
b. melakukan pengawasan terhadap peredaran benih dan bibit yang diproduksi di wilayahnya dan/atau digunakan di wilayahnya; dan
c. melaporkan hasil pengawasan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dengan tembusan kepada Balai.

Pasal 40
(1) Pengawas benih tanaman hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) adalah pegawai negeri sipil pada Pemerintah Kabupaten/Kota yang memenuhi syarat.
(2) Pengawas benih tanaman hutan diangkat dan diberhentikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.

Pasal 41
(1) Pemerintah Kabupaten/Kota menyampaikan rencana calon pengawas benih tanaman hutan kepada Balai.
(2) Balai memberikan pertimbangan teknis terhadap calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Berdasarkan pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Kabupaten/Kota mengangkat pengawas benih tanaman hutan.

Pasal 42
(1) Pengawas benih tanaman hutan diberhentikan apabila:
a. mengundurkan diri dari penugasan sebagai petugas pengawas benih;
b. diberhentikan dari pegawai negeri sipil;
c. pindah tugas ke Satuan Kerja Perangkat Daerah di luar bidang kehutanan atau instansi lainnya; atau
d. melakukan pelanggaran.
(2) Pemberhentian pengawas benih tanaman hutan diberitahukan kepada Balai.

Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan dan pemberhentian serta pelaksanaan tugas dan tanggung jawab pengawas benih tanaman hutan diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri.

BAB V
SERTIFIKASI

Bagian Kesatu
Sertifikasi Sumber Benih

Pasal 44
Sertifikasi sumber benih dilakukan untuk menjamin kebenaran klasifikasi sumber benih.

Pasal 45
(1) Sertifikat sumber benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 diterbitkan oleh Dinas Kabupaten/Kota, Dinas Provinsi, atau Balai.
(2) Prosedur sertifikasi sumber benih adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran 7 Peraturan ini.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang sertifikasi sumber benih diatur oleh Direktur Jenderal.

Pasal 46
Biaya kegiatan lapangan yang dilakukan dalam rangka sertifikasi sumber benih ditanggung oleh pemohon.

Bagian Kedua
Sertifikasi Mutu Benih dan Bibit

Pasal 47
Setiap benih atau bibit yang beredar harus jelas kualitasnya yang dibuktikan dengan:
a. sertifikat mutu untuk benih atau bibit yang berasal dari sumber benih bersertifikat; atau
b. surat keterangan pengujian untuk benih dan/atau bibit yang tidak berasal dari sumber benih bersertifikat.

Pasal 48
(1) Sertifikat mutu benih atau bibit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf a dan surat keterangan pengujian benih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf b diterbitkan oleh Dinas Kabupaten/Kota, Dinas Provinsi, atau Balai.
(2) Prosedur sertifikasi mutu benih dan bibit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran 8 dan Lampiran 9 Peraturan ini.
(3) Ketentuan lebih lanjut tentang sertifikasi mutu benih dan bibit diatur oleh Direktur Jenderal.

Pasal 49
Biaya kegiatan lapangan yang dilakukan dalam rangka sertifikasi mutu benih dan mutu bibit ditanggung oleh pemohon.

Bagian Ketiga
Pelaksana Sertifikasi

Pasal 50
(1) Dinas Kabupaten/Kota dan Dinas Provinsi Dinas yang melaksanakan sertifikasi harus memenuhi kriteria dan standar pelaksana sertifikasi.
(2) Kriteria dan standar pelaksana sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagaimana tercantum pada Lampiran 10 Peraturan ini.

Pasal 51
(1) Dinas Kabupaten/Kota melakukan sertifikasi terhadap:
a. sumber benih yang berada di wilayahnya; dan
b. mutu benih dan/atau bibit yang diproduksi di wilayahnya.
(2) Dinas Provinsi melakukan sertifikasi di wilayah Kabupaten/Kota terhadap Kabupaten/Kota yang belum memiliki Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 atau tidak memilih urusan perbenihan tanaman hutan.
(3) Balai melakukan sertifikasi di wilayah Provinsi terhadap Provinsi dan Kabupaten/Kota yang belum memiliki Dinas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 atau Kabupaten/Kota tidak memilih urusan perbenihan tanaman hutan.

BAB VI
PUNGUTAN JASA PERBENIHAN TANAMAN HUTAN

Pasal 52
(1) Setiap pemanfaatan jasa atau sarana Pemerintah, Pemerintah Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan perbenihan tanaman hutan dikenakan pungutan jasa perbenihan tanaman hutan.
(2) Pungutan jasa perbenihan tanaman hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan terhadap:
a. penerbitan izin pemasukan benih dari luar negeri;
b. penerbitan izin pengeluaran benih atau bibit ke luar negeri;
c. penerbitan sertifikat asal-usul;
d. penerbitan keputusan menjadi pengada benih atau pengedar benih atau bibit terdaftar;
e. penerbitan sertifikat sumber benih; dan
f. penerbitan sertifikat mutu benih atau mutu bibit.

Pasal 53
(1) Semua penerimaan yang berasal dari pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang harus disetor ke Kas Negara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan besarnya pungutan jasa perbenihan tanaman hutan diatur dengan peraturan tersendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB VII
PEMBINAAN

Pasal 54
Untuk mendukung kemampuan pemerintah daerah dan semua pihak yang terkait dalam penyelenggaraan urusan perbenihan tanaman hutan, Menteri menyelenggarakan pembinaan.

Pasal 55
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dilaksanakan dengan menyelenggarakan:
a. pemberian bimbingan;
b. supervisi;
c. konsultasi;
d. pemantauan dan evaluasi; dan
e. pendidikan dan latihan dan kegiatan pemberdayaan lainnya.

Pasal 56
(1) Pemberian bimbingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf a dilakukan untuk tercapainya kemampuan dalam memahami, menerima dan menjalankan norma, standar, prosedur, dan kriteria pelaksanaan urusan pemerintahan bidang kehutanan sub-bidang perbenihan tanaman hutan.
(2) Dalam menyelenggarakan pemberian bimbingan, Direktur Jenderal menyelenggarakan penyuluhan dan penyebaran pedoman teknis pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria kepada Dinas Provinsi atau Dinas Kabupaten/Kota.

Pasal 57
(1) Supervisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf b dilakukan untuk terwujudnya ketertiban dalam melaksanakan norma, standar, prosedur dan kriteria pelaksanaan urusan pemerintahan bidang kehutanan sub-bidang perbenihan tanaman hutan.
(2) Dalam menyelenggarakan supervisi, Direktur Jenderal memberikan rekomendasi kepada Dinas Provinsi atau Dinas Kabupaten/Kota atas kinerja pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria.

Pasal 58
(1) Konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf c dilakukan untuk membangun kesepakatan tentang kebijakan teknis yang diperlukan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan norma, standar, prosedur dan kriteria pelaksanaan urusan pemerintahan bidang kehutanan sub-bidang perbenihan tanaman hutan.
(2) Dalam menyelenggarakan konsultasi, Direktur Jenderal berkoordinasi dengan Dinas Provinsi atau Dinas Kabupaten/Kota untuk mengendalikan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria.

Pasal 59
(1) Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf d dilakukan untuk mengetahui keterlaksanaan norma, standar, prosedur dan kriteria pelaksanaan urusan pemerintahan bidang kehutanan sub-bidang perbenihan tanaman hutan.
(2) Dalam menyelenggarakan pemantauan dan evaluasi, Direktur Jenderal melaksanakan pengumpulan data dan informasi tentang kemampuan kelembagaan dalam melaksanakan norma, standar, prosedur, dan kriteria; ketertiban aparat dan lembaga dalam melaksanakan norma, standar, prosedur, dan kriteria; dan
efektifitas norma, standar, prosedur, dan kriteria dalam rangka mencapai tujuan urusan perbenihan tanaman hutan.
(3) Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sebagian bahan untuk melaksanakan pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi.

Pasal 60
(1) Pendidikan, pelatihan, dan kegiatan pemberdayaan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 huruf e dilakukan untuk menyediakan sumberdaya manusia yang memiliki kemampuan dalam menyelegarakan urusan perbenihan tanaman hutan.
(2) Dalam menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, dan kegiatan pemberdayaan lainnya, Direktur Jenderal melaksanakan penyusunan rencana pendidikan dan pelatihan, berkoordinasi dengan instansi yang terkait dengan pendidikan dan pelatihan serta pemberdayaan, dan menyediakan pedoman-pedoman teknis yang dibutuhkan.

Pasal 61
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penyelenggaraan pembinaan diatur oleh Direktur Jenderal.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 62
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, penyelenggaraan perbenihan tanaman hutan yang sudah dilaksanakan berdasarkan Peraturan Menteri Nomor P.10/Menhut-II/2007 dianggap sah dan pelaksanaannya disesuaikan dengan Peraturan Menteri ini.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 63
Dengan berlakunya Peraturan Menteri Kehutanan ini maka Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.10/Menhut-II/2007 tentang Perbenihan Tanaman Hutan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal 64
Peraturan Menteri Kehutanan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Menteri Kehutanan ini diundangkan dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di: Jakarta
Pada tanggal: 6 Januari 2009
MENTERI KEHUTANAN,

H. M.S. KABAN
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Januari 2009
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATTA

Lampiran: lihat di pasal-pasal ybs