(1) Peraturan ini dimaksudkan sebagai dasar hukum dalam pelaksanaan sistem pertanian organik.
(2) Pelaksanaan Sistem Pertanian Organik berpedoman pada SNI Sistem Pangan Organik.
(3) Tujuan ditetapkannya Peraturan ini, sebagai berikut:
a. mengatur pengawasan organik Indonesia;
b. memberikan penjaminan dan perlindungan kepada masyarakat dari peredaran produk organik yang tidak memenuhi persyaratan;
c. memberikan kepastian usaha bagi produsen produk organik;
d. membangun sistem produksi pertanian organik yang kredibel dan mampu telusur;
e. memelihara ekosistem sehingga dapat berperan dalam pelestarian lingkungan; dan
f. meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pertanian.
(1) Unit usaha yang memproduksi, mengolah, memasukkan produk organik untuk tujuan pemasaran atau yang memasarkan produk organik harus sesuai dengan penerapan Sistem Pertanian Organik yang ditetapkan dalam Peraturan ini.
(2) Penerapan Sistem Pertanian Organik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat organik.
(3) Unit usaha yang telah memiliki sertifikat organik harus mencantumkan logo Organik Indonesia.
BAB II
BUDIDAYA PERTANIAN ORGANIK
(1) Produk asal tanaman yang tidak dibudidayakan yang dapat dimakan, tumbuh atau hidup alami di kawasan hutan dan pertanian, dapat dianggap menerapkan Sistem Budidaya Organik apabila:
a. produk berasal dari lahan yang jelas batasnya sehingga dapat dilakukan tindakan sertifikasi/inspeksi;
b. lahan sebagaimana dimaksud pada huruf a tidak mendapatkan perlakuan dengan bahan yang dilarang sebagai penyubur tanah dan bahan yang dilarang penggunaanya dalam pembuatan pestisida selama 3 (tiga) tahun sebelum pemanenan;
c. bahan yang dilarang sebagaimana dimaksud pada huruf b sebagaimana tercantum dalam Lampiran III dan IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini;
d. pemanenan tidak mengganggu stabilitas habitat alami atau pemeliharaan spesies didalam lahan koleksi;
e. produk berasal dari unit usaha pemanenan atau pengumpulan produk yang jelas identitasnya dan mengenal benar lahan asal produk.
(2) Pengumpulan/pemanenan produk asal tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin dari pemerintah.
BAB III
SARANA PRODUKSI
Pasal 7
(1) Pembuatan pupuk dan pestisida sebagai sarana produksi untuk Sistem Pertanian Organik dilakukan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III dan IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini.
(2) Bahan baru dalam pembuatan pestisida yang akan digunakan sebagai pengendalian organisme pengganggu tanaman harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. sangat diperlukan untuk pengendalian organisme penganggu atau penyakit khusus yang disebabkan oleh faktor biologi, fisik, atau pemuliaan tanaman alternatif dan/atau tidak dilaksanakannya manajemen yang efektif;
b. penggunaanya harus memperhitungkan dampak potensial yang dapat menganggu lingkungan, ekologi dan kesehatan konsumen;
c. berasal dari tanaman, hewan, mikroorganisme atau bahan mineral yang dapat melewati proses fisik (mekanik, pemanasan), enzimatis, dan mikrobiologi (kompos, proses pencernaan);
d. jika pada kondisi tertentu bahan yang digunakan dalam proses penangkapan atau pelepasan seperti feromon (pheromones) maka dipertimbangkan untuk ditambahkan dalam daftar bahan yang diperbolehkan;
e. jika bahan sebagaimana dimaksud pada huruf d tidak tersedia secara alami dalam jumlah yang mencukupi, penggunaan bahan tersebut tidak boleh meninggalkan residu pada produk;
f. penggunaan bahan dibatasi pada kondisi, wilayah dan komoditi tertentu.
(3) Penggunaan bahan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan evaluasi dengan melibatkan pemangku kepentingan.
Pasal 8
Sarana produksi yang diproduksi untuk diedarkan dan dipakai untuk usaha pertanian organik harus mendapatkan ijin edar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV
SERTIFIKASI
(1) Semua Produk Organik yang beredar di Indonesia baik produksi dalam negeri maupun pemasukan harus mencantumkan logo organik Indonesia.
(2) Produk Organik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah produk yang telah memperoleh sertifikat organik.
(3) Produk Organik yang mengalami proses pengemasan ulang tidak diperbolehkan mencantumkan Logo Organik Indonesia sebelum dilakukan sertifikasi ulang.
Pasal 11
Pencantuman logo sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilakukan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini.
BAB VI
PRODUK ORGANIK ASAL PEMASUKAN
(1) LSO sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) harus memperoleh pengakuan dari KAN.
(2) Untuk memperoleh pengakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan melalui:
a. akreditasi KAN;
b. perjanjian kerjasama antar Badan Akreditasi; atau
c. perjanjian kerjasama regional maupun internasional.
BAB VII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 14
(1) Pembinaan terhadap penerapan Sistem Pertanian Organik dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan daerah.
(2) Menteri, gubernur, bupati/walikota melakukan pembinaan terhadap penerapan Sistem Pertanian Organik.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka memberikan penjaminan dan perlindungan kepada masyarakat dari peredaran Produk Organik yang tidak memenuhi persyaratan.
(4) Pembinaan Sistem Pertanian Organik dapat melibatkan partisipasi dari pihak lain yang kompeten, berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan Instansi terkait lingkup pertanian.
Unit usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan ini akan dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Pertanian ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 29 Mei 2013
MENTERI PERTANIAN
REPUBLIK INDONESIA,
SUSWONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 3 Juni 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
AMIR SYAMSUDIN
Lampiran: bn770-2013