
BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No. 3, 2007 | DEPARTEMEN AGAMA. Pengawasan. Audit. Evaluasi |
PERATURAN MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 8 TAHUN 2007
TENTANG
PENGAWASAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN AGAMA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,Menimbang: a. bahwa dalam rangka mewujudkan tata kepemerintahan yang baik (good governance) dan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, diperlukan birokrasi pemerintahan yang akuntabel, bersih, dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme;
b. bahwa dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme, perlu dilakukan pengawasan yang profesional dan bertanggung jawab terhadap seluruh satuan organisasi dan satuan kerja di lingkungan Departemen Agama;
c. bahwa untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Agama tentang Pengawasan di lingkungan Departemen Agama;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3851);
2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4609) 4. Peraturan Presiden Nomor 94 Tahun 2006 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 9 tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia;
5. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Keenam Atas Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia;
6. Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan;
7. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1989 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Melekat;
8. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi;
9. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama;
MEMUTUSKAN:Menetapkan: PERATURAN MENTERI AGAMA TENTANG PENGAWASAN DI LINGKUNGAN DEPARTEMEN AGAMA.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:
1. Pengawasan adalah seluruh proses kegiatan penilaian terhadap tugas dan fungsi satuan organisasi atau satuan kerja dengan tujuan untuk memastikan apakah pelaksanaan tugas dan fungsi telah sesuai dengan rencana, kebijakan yang ditetapkan dan peraturan perundang-undangan.
2. Audit atau pemeriksaan adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standar audit, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara.
3. Standar Audit adalah patokan untuk melakukan audit pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta audit operasional yang meliputi standar umum, standar pelaksanaan audit, dan standar pelaporan yang wajib dipedomani oleh auditor.
4. Pengawasan Melekat atau Waskat adalah segala upaya dalam suatu organisasi yang dilakukan oleh pimpinan atau atas langsung satuan organisasi atau satuan kerja terhadap bawahannya dan sistem pengendalian intern untuk mengarahkan seluruh kegiatan agar tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif, efisien, dan ekonomis.
5. Pengawasan Fungsional atau Wasnal adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan secara fungsional, baik intern maupun ekstern pemerintah, terhadap pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan masyarakat agar sesuai dengan rencana dan peraturan perundang-undangan.
6. Pengawasan Masyarakat atau Wasmas adalah pengawasan yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan, disampaikan secara lisan atau tulisan kepada aparatur pemerintah yang berkepentingan, berupa sumbangan pikiran, saran, gagasan atau pengaduan yang bersifat membangun, baik secara langsung maupun melalui mass media.
7. Audit Operasional adalah kegiatan audit yang ditujukan untuk menilai keekonomisan, daya guna dan hasil guna suatu obyek audit.
8. Audit Khusus adalah audit dengan tujuan tertentu yang dilakukan terhadap kegiatan yang menjadi perhatian masyarakat, spesifik pada satuan organisasi atau satuan kerja tertentu di lingkungan Departemen Agama.
9. Audit Investigasi adalah audit secara intensif untuk mencari, menemukan, dan mengumpulkan barang bukti yang dengan barang bukti itu membuat terang dan jelas tentang suatu perbuatan untuk ditingkatkan sifat auditnya dan/atau membuat terang dan jelas tentang pelakunya guna dilakukan tindakan hukum.
10. Montoring dan Evaluasi adalah kegiatan memantau pelaksanaan tugas dan fungsi satuan organisasi atau satuan kerja dan melakukan evaluasi terhadap suatu program atau kegiatan, penyelesaian tindak lanjut hasil pengawasan internal atau eksternal dan pengaduan masyarakat.
11. Satuan Organisasi adalah unit organisasi di mana diselenggarakan kegiatan-kegiatan administrasi yang di dalamnya terdapat pejabat-pejabat yang mengurusi administrasi kepegawaian, keuangan, perlengkapan, dan administrasi umum.
12. Satuan Kerja adalah unit organisasi yang melaksanakan administrasi tertentu dan tidak memenuhi unsur yang menangani urusan kepegawaian, keuangan, perlengkapan, dan administrasi umum.
13. Unit Pelaksana Teknis yang selanjutnya disingkat UPT adalah satuan organisasi yang bersifat mandiri yang melaksanakan tugas teknis operasional, tugas teknis penunjang, dan tugas teknis yang berhubungan dengan pelayanan masyarakat.
BAB II
MAKSUD, TUJUAN, SASARAN,
DAN ARAH PENGAWASAN
Pasal 2Pengawasan dilaksanakan dengan maksud:
a. memperoleh informasi yang akurat terhadap pelaksanaan tugas umum pemerintahan di bidang agama agar berjalan sesuai dengan rencana dan peraturan perundang-undangan secara efektif;
b. memperoleh umpan balik berupa pendapat dan kesimpulan terhadap kebijakan termasuk pengaturan, perencanaan, dan pelaksanaan;
c. melakukan usaha pencegahan terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme serta bentuk penyimpangan lainnya;
d. menilai akuntabilitas kinerja aparatur Departemen Agama.
Pasal 3Pengawasan dilaksanakan dengan tujuan:
a. memberi masukan dan bahan pertimbangan kepada pimpinan Departemen Agama dalam penetapan kebijakan;
b. memberikan saran perbaikan kepada pimpinan satuan organisasi atau satuan kerja agar kinerja organisasi dan pelayanan masyarakat terus dapat ditingkatkan;
c. memberikan saran perbaikan kepada pimpinan satuan organisasi atau satuan kerja agar pengelolaan keuangan dan barang milik negara dilaksanakan dengan tertib, lancar, efektif, efisien, dan ekonomis sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 4Sasaran pengawasan meliputi:
a. kegiatan pelaksanaan tugas dan fungsi, meliputi pemberian bimbingan, pembinaan, perijinan, dan pelayanan masyarakat lainnya serta pelaksanaan program bantuan dan kerja sama;
b. kegiatan aparatur pemerintah di bidang kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan;
c. pengelolaan keuangan, pengelolaan aset atau barang milik negara, dan bantuan kegiatan kepada pihak ketiga, baik yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Non APBN;
d. penertiban pengelolaan barang milik negara.
Pasal 5(1) Kegiatan pengawasan diarahkan kepada kinerja pelayanan publik termasuk perijinan, kinerja penggunaan dana APBN, kinerja optimalisasi penerimaan negara dan investigasi atas kasus yang berindikasi merugikan keuangan negara.
(2) Pelaksanaan audit kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diimbangi dengan audit dengan tujuan tertentu lainnya dengan masalah yang khas ditemukan.
(3) Kegiatan audit laporan keuangan dilakukan untuk mereviu laporan yang diterima dari pimpinan satuan organisasi atau satuan kerja selaku Pengguna Anggaran di lingkungan Departemen Agama.
BAB III
BENTUK DAN JENIS PENGAWASAN
Pasal 6Bentuk pengawasan dapat dibedakan menjadi:
a. pengawasan langsung, dilakukan dengan cara:
1) pengendalian manajemen yang mampu mengarahkan tujuan organisasi dapat dicapai secara efektif, efisien, dan ekonomis, segala sumber daya dimanfaatkan dan dilindungi, data dan laporan dapat dipercaya serta disajikan secara wajar; dan
2) mendatangi dan melakukan audit di tempat obyek yang diawasi, di bidang perencanaan, kepegawaian, keuangan dan barang milik negara, organisasi dan tatalaksana, hukum, bimbingan masyarakat agama, pendidikan agama dan keagamaan, penelitian dan diklat serta investigasi.
b. pengawasan tidak langsung, dilakukan dengan cara:
1) melakukan pengujian dan/atau penilaian atas laporan atau isi dokumen yang menyangkut satuan organisasi/kerja, unit pelaksana teknis penyelenggara program yang diawasi; dan
2) melakukan pengujian kebijakan yang dirumuskan dalam pengaturan bersifat umum dan keputusan yang bersifat kongkrit.
Pasal 7Jenis pengawasan terdiri atas:
1. Pengawasan melekat (Waskat).
2. Pengawasan fungsional (Wasnal).
3. Pengawasan masyarakat (Wasmas).
BAB IV
PRINSIP PENGAWASAN
Pasal 8Perinsip pengawasan meliputi:
a. aspek perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan evaluasi yang dilakukan secara terkoordinasi, integrasi, dan sinkronisasi;
b. mendorong tercapainya kelembagaan yang tangguh, sumber daya yang profesional, dan ketatalaksanaan yang mudah, cepat, dan tepat;
c. penanganan pengaduan atau pengawasan masyarakat sesuai mekanisme dan prosedur yang jelas, transparant tepat sasaran, efektif, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan;
d. memanfaatkan seoptimal mungkin peranan dan hasil pengawasan fungsional dan pengawasan masyarakat yang akan mewujudkan aparatur yang bersih dan akuntabel;
e. mendorong pembentukan suatu sitem yang mampu mencegah terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme serta bentuk penyimpangan lainnya;
f. inventarissai kelemahan, menerapkan standar audit aparat pengawasan, kode etik dan standar kompetensi auditor untuk meningkatkan kinerja organisasi;
g. memantapkan implementasi pakta integritas, kepribadian yang jujur, berani, bijaksana, independen, bertanggung jawab dan obyektif;
h. memberikan saran tindak lanjut terhadap penyelesaian masalah dengan pendekatan hukum, tata kelola pemerintahan yang baik, dan pendekatan agama.
BAB V
PELAKSANA DAN PENANGGUNG JAWAB
Pasal 9(1) Pengawasan dilakukan oleh pejabat atau atasan langsung dan/atau aparat pengawasan fungsional.
(2) Pengawasan oleh pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui koordinasi dengan pimpinan lembaga atau tenaga ahli baik dari dalam maupun dari luar Departemen Agama.
(3) Pelaksanaan pengawasan melalui koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Sekretaris Jenderal dengan cara:
a. penerapan sistem pengendalian manajemen atau sistem pengendalian intern; dan
b. menetapkan kebijakan perencanaan, pelaksanaan program, dan kebijakan lainnya dalam bentuk pengaturan.
(4) Pengawasan terhadap pelaksanaan sistem pengendalian manajemen atau sistem pengendalian intern oleh atasan langsung dilakukan Inspektur Jenderal.
(5) Pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara:
a. meminta keterangan atau penjelasan kepada pimpinan satuan organisasi atau satuan kerja, dan/atau pelaksana program atau kegiatan;
b. mendatangi tempat pelaksanaan pekerjaan baik dengan pemberitahuan terlebih dahulu atau tanpa pemberitahuan;
c. meminta data dan informasi baik internal maupun eksternal Departemen Agama, menguji, menilai, dan melakukan konfirmasi; dan
d. bila diperlukan dalam pengujian dan penilaian sebagaimana dimaksud pada huruf c, dapat dilakukan dengan meminta bantuan kepada pimpinan lembaga atau tenaga ahli, baik dari dalam maupun dari luar Departemen Agama setelah mendapat persetujuan Inspektur Jenderal.
BAB VI
PENGAWASAN MELEKAT
Pasal 10(1) Pengawasan melekat merupakan pengendalian manajemen atau pengendalian intern melalui unsur-unsur:
a. penggarisan struktur organisasi, pembagian tugas dan fungsi beserta uraian pekerjaan yang jelas;
b. perumusan kebijakan pelaksanaan yang dituangkan secara normatif dan menjadi pegangan dalam pelaksanaan oleh bawahan penerima wewenang;
c. rencana kerja yang dapat menggambarkan kegiatan yang dilaksanakan, bentuk hubungan kerja serta sasaran yang akan dicapai;
d. prosedur kerja yang menggambarkan mekanisme kegiatan, bentuk koordinasi berbagai kegiatan sesuai sasaran yang akan dicapai;
e. pencatatan kinerja serta pelaporannya yang merupakan alat bagi atasan untuk mendapatkan informasi yang diperlukan bagi pengambilan keputusan serta penyusunan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas;
f. reviu intern merupakan suatu aktivitas untuk mengevaluasi pelaksanaan kebijakan, program dan kegiatan yang telah ditetapkan yang dilakukan oleh pimpinan bersama-sama dengan staf pimpinan atau dilakukan aparat pengawasan fungsional; dan
g. pembinaan personil merupakan upaya menjaga agar faktor sumber daya manusia yang menjalankan sistem dan prosedur memiliki kemampuan secara profesional dan tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan tujuan dan kepentingan tugasnya.
(2) Petunjuk pelaksanaan pengawasan melekat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Sekretaris Jenderal.
BAB VII
PENGAWASAN FUNGSIONAL
Pasal 11(1) Pengawasan fungsional meliputi:
a. Audit Operasional;
b. Audit Khusus;
c. Audit Investigasi;
d. Monitoring dan Evaluasi.
(2) Audit operasional ditetapkan berdasarkan rencana kerja audit tahunan yang dikoordinasikan dengan Kantor Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dengan ketentuan:
a. pelaksanaan oleh tim audit;
b. lingkup audit meliputi tugas dan fungsi, kepegawaian, keuangan, sarana dan prasarana; dan
c. dalam hal pengawasan operasional terhadap penyelenggaraan urusan haji di Arab Saudi dilakukan dengan ketentuan:
1) dilaksanakan terhadap tugas dan fungsi penyelenggaraan haji; dan
2) dikoordinasikan dengan Departemen Luar Negeri dengan memperhatikan ketentuan diplomatik yang berlaku.
(3) Audit khusus dilaksanakan dengan ketentuan:
a. dilaksanakan oleh tim audit berdasarkan kebijakan Inspektur Jenderal; atau
b. permintaan pimpinan satuan organisasi atau satuan kerja di lingkungan Departemen Agama.
(4) Audit investigasi dilaksanakan dengan ketentuan:
a. dilaksanakan oleh tim audit berdasarkan kebijakan Menteri Agama, Inspektur Jenderal;
b. permintaan pimpinan satuan organisasi atau satuan kerja dan lembaga lain yang berwenang;
c. pengembangan dari audit operasional atau khusus; dan
d. dilaksanakan berdasarkan pengaduan masyarakat atas dugaan terjadi penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang.
(5) Monitoring dan evaluasi dilaksanakan dengan ketentuan:
a. dilaksanakan oleh aparat pengawasan berdasarkan kebijakan Inspektur Jenderal; dan
b. dilaksanakan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh tentang pelaksanaan program dan kegiatan.
(6) Dalam rangka pelaksanaan audit operasional, audit khusus, audit investigasi, monitoring dan evaluasi, ditetapkan petunjuk pelaksanaan lebih lanjut dengan Keputusan Inspektur Jenderal.
Pasal 12(1) Auditor sebelum melaksanakan pengawasan, mempelajari terlebih dahulu dokumen atau dosir pelaksanaan pengawasan periode sebelumnya sesuai dengan obyek pengawasan.
(2) Tahapan pengawasan meliputi empat tahap, yaitu: persiapan, pelaksanaan, pelaporan, dan pengendalian.
(3) Tahapan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dalam petunjuk pelaksanaan pengawasan dengan Keputusan Inspektur Jenderal.
BAB VIII
STANDAR PENGAWASAN
Pasal 13(1) Pelaksanaan pengawasan didasarkan pada standar audit dalam rangka mutu hasil pengawasan yang ditetapkan oleh Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah.
(2) Standar audit merupakan kendali mutu pelaksanaan pengawasan.
(3) Standar audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Inspektur Jenderal.
BAB IX
PENGAWASAN MASYARAKAT
Pasal 14(1) Pengawasan masyarakat dilakukan dengan menindaklanjuti pengaduan yang diterima dari masyarakat meliputi:
a. hambatan maupun penyalahgunaan wewenang, tenaga, uang, dan asset atau barang milik negara;
b. Informasi masyarakat dalam berbagai bentuk pengaduan tertulis atau bentuk lainnya;
c. pengaduan dan/atau informasi sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b, yang diteruskan kepada Inspektorat Jenderal.
(2) Tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk pengkajian dan pengujian kebenaran dan/atau audit oleh Inspektur Jenderal.
(3) Penanganan tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilimpahkan pelaksanaannya kepada pimpinan satuan organisasi atau pimpinan satuan kerja.
(4) Dalam hal dilimpahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pimpinan satuan organisasi atau satuan kerja melaporkan hasilnya kepada Inspektur Jenderal untuk ditindaklanjuti.
(5) Petunjuk pelaksanaan penanganan pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Inspektur Jenderal.
BAB IX
KOORDINASI, PELAPORAN, DAN TINDAK LANJUT PENGAWASAN
Pasal 15(1) Pelaksanaan sistem pengawasan melekat dikoordinasikan oleh Sekretaris Jenderal.
(2) Pelaksanaan pengawasan fungsional dan penanganan pengaduan masyarakat dikoordinasikan oleh Inspektur Jenderal.
(3) Pelaksanaan pengawasan dan laporan hasil pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawasan eksternal, tindak lanjutnya dikoordinasikan oleh Inspektur Jenderal.
Pasal 16(1) Pelaksana pengawasan fungsional menyampaikan laporan pelaksanaan tugas pengawasan secara tertulis kepada Inspektur Jenderal.
(2) Laporan hasil pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat rahasia.
(3) Laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat sebagai berikut:
a. informasi pelaksanaan tugas disampaikan secara tertulis, singkat, dan segera, sebagai informasi pendahuluan; dan
b. laporan hasil pelaksanaan tugas pengawasan dibuat secara lengkap, jelas dan akurat.
(4) Inspektur Jenderal menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada:
a. Pimpinan auditan yang bersangkutan;
b. Atasan langsung auditan; dan/atau
c. Pejabat yang memiliki kewenangan sesuai sifat tindak lanjut yang direkomendasikan.
(5) Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun secara cermat, akurat, dan bertanggung jawab yang berisi:
a. data umum auditan;
b. data dan fakta yang ditemukan di lapangan atau kondisi;
c. analisis; dan
d. rekomendasi (saran tindak lanjut) yang jelas.
(6) Tata cara pembuatan dan penyampaian laporan hasil pelaksanaan tugas pengawasan ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Inspektur Jenderal.
Pasal 17(1) Pimpinan satuan organisasi atau satuan kerja yang diaudit wajib melaksanakan tindak lanjut hasil pengawasan sesuai dengan rekomendasi atau saran tindak lanjut hasil audit.
(2) Tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. tindakan penertiban administrasi sesuai rekomendasi atau saran tindak lanjut dan peraturan perundang-undangan;
b. tindakan administratif di bidang kepegawaian, termasuk penerapan hukuman disiplin sebagaimana dimaksud dalam peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil;
c. tindakan penyempurnaan kebijakan, sistem, dan prosedur di bidang kelembagaan, kepegawaian, keuangan dan barang milik negara, serta ketatalaksanaan;
d. tindakan penyempurnaan peraturan normatif, dapat berupa perubahan, penggantian, dan/atau pencabutan;
e. tindakan tuntutan dan/atau gugatan perdata, antara lain:
1) tuntutan ganti rugi atau penyetoran kembali;
2) tuntutan perbendaharaan;
3) tuntutan perdata berupa pengenaan denda ganti rugi dan/atau bentuk lainnya; dan
4) menindaklanjuti hasil audit investigasi yang berindikasi kerugian negara kepada aparat penegak hukum.
(3) Dalam hal rekomendasi atau saran tindak lanjut yang tidak dapat ditindaklanjuti, pimpinan satuan organisasi atau satuan kerja memberikan jawaban secara tertulis kepada Inspektur Jenderal disertai alasan yang dibenarkan menurut peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal percepatan penyelesaian tindak lanjut hasil pengawasan dapat dibentuk koordinator penyelesaian tindak lanjut hasil pengawasan di lingkungan Departemen Agama dengan Keputusan tersendiri.
BAB XI
KEWAJIBAN DAN SANKSI
Pasal 18(1) Pejabat atau pelaksana yang diaudit wajib memberikan data dan informasi yang diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan audit.
(2) Penolakan atas ketentuan yang dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila terdapat alasan-alasan yang dapat dibenarkan menurut peraturan perundang-undangan (3) Pejabat atau pelaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mempersulit pelaksanaan pengawasan dapat dikenakan sanksi pelanggaran indisipliner sesuai peraturan perundang-undangan.
(4) Aparat pengawasan fungsional dalam melaksanakan tugas pengawasan, wajib menerapkan standar pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
(5) Pelanggaran terhadap ketentuan standar audit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan pelanggaran indisipliner dan dapat dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(6) Pimpinan satuan organisasi atau satuan kerja yang tidak melaksanakan tindak lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan.
(7) Dalam melaksanakan tindak lanjut hasil pengawasan, pimpinan satuan organisasi atau satuan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dapat menunjuk pejabat atau petugas untuk menyiapkan atau melaksanakan tindak lanjut hasil pengawasan.
BAB XII
PENUTUP
Pasal 19Dengan berlakunya Peraturan ini, maka Keputusan Menteri Agama Nomor 101 Tahun 1994 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan di Lingkungan Departemen Agama dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 20Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri Agama ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 April 2007
MENTERI AGAMA REPUBLIK INDONESIA,
MUHAMMAD M. BASYUNI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 April 2007
MENTERI HUKUM DAN HAM REPUBLIK INDONESIA,
HAMID AWALUDIN