Teks tidak dalam format asli.
Kembali



TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI

No. 4405POLITIK. PEMERINTAHAN. Pemeritah Pusat. Pemerintah Daerah. Kementerian Negara. Lembaga. Menteri. APBN. Rencana Kerja. (Penjelasan atas Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 74)

PENJELASAN ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2004
TENTANG
RENCANA KERJA PEMERINTAH

I.   Umum
1.  Latar Belakang
  Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Undang- undang Keuangan Negara) mengamanatkan bahwa penyusunan Rancangan Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (RAPBN) berpedoman pada Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Sebagai rencana kerja, program dan kegiatan yang termuat dalam RKP sudah bersifat terukur (measurable) dan dapat dilaksanakan (workable) karena sudah memperhitungkan ketersediaan anggaran. Artinya, sebagai dokumen perencanaan, RKP tidak lagi memuat daftar panjang usulan kegiatan Kementerian Negara/Lembaga yang selama ini lebih dianggap sebagai "daftar keinginan" yang belum tentu dapat dilaksanakan. Inilah karateristik yang mendasar dalam RKP.
  Kebijakan fiskal yang baik dan penerapan sistem perencanaan dan penganggaran dengan perspektif jangka menengah merupakan kunci bagi kepastian pendanaan kegiatan Pemerintah, dalam keadaan dimana dana yang tersedia sangat terbatas sedangkan kebutuhan begitu besar. Alokasi sumber daya secara strategis perlu dibatasi dengan pagu yang realistis agar tekanan pengeluaran/pembelanjaan tidak merongrong pencapaian tujuan-tujuan fiskal. Dengan penetapan pagu indikatif dan pagu sementara pada tahap awal sebelum dimulai penganggaran secara rinci, para pelaku anggaran (Kementerian Negara/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah) harus menentukan kebijakan dan prioritas anggaran, termasuk keputusan mengenai "trade-off" antara keputusan yang telah diambil masa lalu dan yang akan diambil pada masa yang akan datang. Dengan kata lain, akan tercipta proses penganggaran yang lebih strategis dan kredibel.
  Sebagai pedoman penyusunan RAPBN, RKP juga disusun dengan mengikuti pendekatan baru dalam penganggaran sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-undang Keuangan Negara tersebut. Pendekatan baru tersebut mencakup 3 (tiga) hal: penerapan kerangka pengeluaran jangka menengah, penerapan penganggaran terpadu, dan penerapan penganggaran berbasis kinerja.
  RKP dimaksudkan sebagai upaya-upaya Pemerintah secara menyeluruh untuk mewujudkan tujuan bernegara. Untuk itu, RKP tidak hanya memuat kegiatan- kegiatan dalam kerangka investasi Pemerintah dan pelayanan publik, tetapi juga untuk menjalankan fungsi Pemerintah sebagai penentu kebijakan dengan menetapkan kerangka regulasi guna mendorong partisipasi masyarakat.

2.  Lingkungan yang mendukung     Untuk mencapai hasil yang dimaksudkan, sistem penganggaran harus menciptakan lingkungan yang mendukung (enabling environment), dengan karakteristik:
1.   Mengaitkan perencanaan dan penganggaran dengan mengendalikan pengambilan keputusan untuk:
a.  Memastikan perencanaan kebijakan, program dan kegiatan telah mempertimbangkan kendala anggaran;
b.  Memastikan bahwa biaya sesuai dengan hasil yang diharapkan;
c.  Memberikan informasi yang diperlukan untuk mengevaluasi hasil dan mengkaji kembali kebijakan.
2.  Memberikan media/forum bagi alternatif kebijakan berkompetisi satu sama lain, suatu yang sangat penting bagi tumbuhnya dukungan pada tahap pelaksanaan nantinya.
3.  Meningkatkan kapasitas dan kesediaan untuk melakukan penyesuaian prioritas kembali alokasi sumber daya.
    Lingkungan yang mendukung semacam ini memungkinkan sistem penganggaran untuk memfasilitasi review kebijakan dan program, sejalan dengan prioritas- prioritas yang mengalami perubahan, yang pada gilirannya mencerminkan tekanan dari berbagai sumber, yang utama berasal dari perkembangan politik, fluktuasi ketersediaan sumber daya, dan informasi baru mengenai efisiensi dan efektivitas program yang didukung oleh anggaran. Dengan demikian, diharapkan agar perencanaan dapat mendorong alokasi sumber daya secara optimal dalam mencapai tujuan bernegara.
    Undang-undang Keuangan Negara menciptakan lingkungan pendukung dengan menciptakan landasan bagi tatanan kontraktual kinerja antara lembaga-lembaga pusat (central agency) yaitu Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional dengan Kemen-terian Negara/Lembaga teknis. Kesepakatan-kesepakatan ini mencermin-kan platform politik Pemerintah. Undang-undang Keuangan Negara secara eksplisit menguraikan hubungan antara Presiden, Kementerian Keuangan sebagai Chief Financial Officer (CFO), dan Kementerian Negara/Lembaga yang menjalankan fungsi Chief Operational Officer (COO).
    Central agency mengkoordinasikan penyusunan prioritas pembangunan dan prioritas anggaran, menelaah rencana kerja dan anggaran sesuai dengan kewenangan masing-masing, dan menetapkan prosedur perencanaan dan penganggaran. CFO memberikan kepastian pendanaan dalam kerangka keberlanjutan fiskal, dan menetapkan aturan main dan praktek-praktek yang mendukung dan menuntut pemanfaatan sumber daya secara efisien. Sebagai imbalan dari penerapan kerangka peng-anggaran yang disiplin, COO sebagai pengguna anggaran mendapatkan kewenangan yang memadai dalam penyediaan layanan umum. Kemudian, tanggung jawab COO meliputi: merumuskan strategi Kementerian Negara/Lembaga yang jelas, menyusun rencana kerja dan anggaran, menggunakan sumber daya secara efisien dan efektif, melapor-kan kinerja dan penggunaan sumber daya yang tersedia, serta melakukan evaluasi atas hasil kinerja.

3.  Hal-hal Baru Dalam Penyusunan RKP
    Proses penyusunan RKP memiliki 3 (tiga) ciri baru, yaitu :
    Pertama, penegasan cakupan isi proses "top-down" dan "bottom-up". Proses top- down merupakan langkah-langkah penyampaian batasan umum oleh "central agency" kepada Kementerian Negara/Lembaga tentang penyusunan rencana kerja. Batasan umum ini mencakup prioritas pembangunan nasional dan pagu indikatif. Di dalam batasan ini, Kementerian Negara/Lembaga diberi keleluasaan untuk merancang kegiatan-kegiatan pembangunan demi pencapaian sasaran pembangunan nasional yang telah disepakati. Rancangan ini disampaikan kembali ke "central agency" untuk selanjutnya diserasikan secara nasional. Inilah inti proses bottom-up.
    Kedua, sebagai tindak lanjut kebijakan desentralisasi maka kegiatan Pemerintah Pusat di daerah menjadi salah satu perhatian utama. Tujuan yang ingin dicapai adalah agar kegiatan Pemerintah Pusat di daerah terdistribusi secara adil dan dapat menciptakan sinergitas secara nasional. Untuk mencapai tujuan ini maka dalam rangka penyusunan RKP dilaksanakanlah musyawarah perencanaan baik antar Kementerian Negara/Lembaga maupun antara Kementerian Negara/Lembaga dengan Pemerintah Daerah Provinsi.
    Ketiga, proses penyusunan RKP adalah juga proses penyatuan persepsi Kementerian Negara/Lembaga tentang prioritas pembangunan nasional dan konsekuensi rencana anggarannya sebagai persiapan pembahasan rencana kerja dan anggaran Kementerian Negara/Lembaga di Dewan Perwakilan Rakyat.

II. Pasal Demi Pasal

Pasal 1Cukup jelas

Pasal 2
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pendanaan dalam ayat ini adalah pagu indikatif.
Ayat (2)
Bahan masukan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini digunakan sebagai instrumen sinkronisasi antara capaian sasaran pelaksanaan tugas Pemerintah Pusat dan Daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 3
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kebijakan dalam ayat ini adalah kebijakan pelaksanaan pembangunan di lingkungan Kemen-terian Negara/ Lembaga.
Kegiatan dalam ayat ini mencakup pula kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 4
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)Yang dimaksud dengan pendanaan dalam ayat ini adalah pagu indikatif.
Ayat (2)
Bahan masukan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini digunakan sebagai instrumen sinkronisasi antara capaian sasaran pelaksanaan tugas Pemerintah Pusat dan Daerah.

Pasal 6
Cukup jelas

Pasal 7
Cukup jelas

Pasal 8
Cukup jelas

Pasal 9
Cukup jelas

Pasal 10
Cukup jelas

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Cukup jelas

ke atas

(c)2010 Ditjen PP :: www.djpp.depkumham.go.id || www.djpp.info || Kembali