Teks tidak dalam format asli.
Kembali


TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI

No. 3676(Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 23)

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 1997
TENTANG
KETENAGANUKLIRAN

UMUM

Pembangunan nasional bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang maju serta adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Dewasa ini di beberapa negara maju pemanfaatan tenaga nuklir di berbagai bidang kehidupan masyarakat, seperti di bidang penelitian, pertanian, kesehatan, industri, dan energi sudah begitu pesat sehingga sebagai salah satu upaya untuk mengisi pembangunan nasional dan terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat serta tercapainya kemampuan penguasaan teknologi nuklir, maka sudah sewajarnya potensi tenaga nuklir yang cukup besar tersebut dikembangkan dan dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun, di samping manfaatnya yang begitu besar tenaga nuklir juga mempunyai potensi bahaya radiasi terhadap pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup apabila dalam pemanfaatan tenaga nuklir, ketentuan-ketentuan tentang keselamatan nuklir tidak diperhatikan dan tidak diawasi dengan sebaik-baiknya.
Selama ini pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia dilaksanakan atas dasar Undang-undang nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom.
Dengan perkembangan zaman dan makin majunya ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pemanfaatan tenaga nuklir, banyak ketentuan dalam undang-undang tersebut yang sudah tidak sesuai lagi, misalnya wewenang pelaksanaan dan pengawasan atas penelitian dan pemanfaatan tenaga nuklir yang diberikan dalam satu badan sehingga fungsi pengawasan tidak optimal. Selain itu, bahan nuklir harus dimiliki dan dikuasai oleh negara, sedangkan jual beli bahan tersebut sudah dilakukan secara internasional sehingga persyaratan yang harus dimiliki oleh negara akan menghambat perkembangan pemanfatan tenaga nuklir. Akan tetapi, persyaratan yang harus dikuasai oleh negera tetap dipertahankan karena walaupun sudah terjadi perdagangan bebas bahan nuklir secara internasional, Pemerintah tetap diminta melakukan pengawasan agar tidak terjadi penyimpangan dari tujuan pemanfaatan bahan nuklir tersebut. Oleh karena itu, dipandang perlu dibuat undang-undang baru tentang ketenaganukliran untuk menggantikan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Tenaga Atom.
Dalam undang-undang ini wewenang pelaksanaan dan pengawasan dipisahkan dalam dua lembaga yang berbeda untuk menghindari tumpang tindih kegiatan pemanfaatan dan pengawasan dan sekaligus mengoptimalkan pengawasan yang ditujukan untuk lebih meningkatkan keselamatan nuklir.
Mengingat ketenaganukliran menyangkut kehidupan dan keselamatan orang banyak, peran masyarakat ditingkatkan dalam bentuk suatu majelis pertimbangan, suatu lembaga nonstruktural dan independen yang beranggotakan para ahli dan tokoh masyarakat, yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan mengenai pemanfaatan tenaga nuklir.
Untuk memperhatikan aspirasi yang berkembang di masyarakat dalam pemanfaatan tenaga nuklir, khususnya apabila membangun pembangkit liktrik tenaga nuklir dan menyediakan tempat limbah lestari, pemerintah sebelum mangambil keputusan perlu membicarakannya terlebih dahulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat Rpublik Indonesia.
Pemanfaatan tenaga nuklir harus memperhatikan Asas Pembangunan Nasional, keselamatan, keamanan, ketenteraman, kesehatan pekerja dan anggota masyarakat, perlindungan terhadap lingkungan hidup, serta pemanfaatan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal itu berarti bahwa pemanfaatan tenaga nuklir bagi kesejahteraan hidup rakyat banyak harus dilakukan dengan upaya-upaya untuk mencegah timbulnya bahaya radiasi terhadap pekerja, masyarakat, dan lingkungan hidup.
Dalam hubungan itu perlu diperhatikan pula peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan Undang-undang tentang Ketenaganukliran ini, antara lain Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1978 tentang Pengesahan Perjanjian mengenai Pencegahan Penyebaran Senjata-senjata Nuklir, Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, Undang-undang Nomor 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, dan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan.
Pengertian tenaga nuklir adalah tenaga dalam bentuk apa pun yang dibebaskan dalam proses transformasi inti, termasuk tenaga yang berasal dari sumber radiasi pengion, misalnya tenaga dalam bentuk sinar-X. Oleh karena itu, undang-undang ini berlaku juga untuk pengaturan pemanfaatan pesawat sinar-X.
Pengertian pemanfaatan tenaga nuklir sangat luas, yaitu mencakup penelitian pengembangan, penambangan, pembuatan, produksi, pengangkutan, penyimpanan, pengalihan, ekspor, impor, penggunaan, dekomisioning, dan pengelolaan limbah radioaktif. Mengingat pemanfaatan tenaga nuklir tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di berbagai bidang, maka kepada masyarakat, industri swasta, atau Pemerintah diberi kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan pemanfaatan tenaga nuklir sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pemanfaatan tenaga nuklir harus mendapat pengawasan yang cermat agar selalu mengikuti segala ketentuan di bidang keselamatan tenaga nuklir sehingga pemanfatan tenaga nuklir tersebut tidak menimbulkan bahaya radiasi terhadap pekerja, masyarakat, dan lingkungan hidup. Adapun pengertian lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, serta keadaan dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang memperngaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Pengawasan tersebut dilaksanakan dengan cara mengeluarkan peraturan, menyelenggarakan perizinan, dan melakukan inspeksi.
Perizinan itu juga berlaku untuk petugas yang mengoperasikan reaktor nuklir dan petugas tertentu yang bekerja di instalasi nuklir lainnya serta di instalasi yang memanfaatkan sumber radiasi tersebut.
Pembinaan dan pengembangan kemampuan sumber daya manusia adalah syarat mutlak dalam rangka mendukung upaya pemanfaatan tenaga nuklir dan pengawasannya sehingga pemanfaatan tenaga nuklir benar-benar meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan tingkat keselamtan yang tinggi. Pembinaan dan pengembangan ini dilakukan juga untuk meningkatkan disiplin dalam mengoperasikan instalasi nuklir dan menumbuhkembangkan budaya keselamatan.
Zat radioaktif adalah setiap zat yang memancarkan radiasi pengion dengan aktivitas jenis lebih besar daripada 70 kBq/kg atau 2 nCi/g (tujuh puluh kilobecquerel per kilogram atau dua nanocurie per gram). Angka 70 kBq/kg (2 nCi/g) tersebut merupakan patokan dasar untuk suatu zat dapat disebut zat radioaktif pada umumnya yang ditetapkan berdasarkan ketentuan dari Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency). Namun, masih terdapat beberapa zat yang walaupun mempunyai aktivitas jenis lebih rendah daripada batas itu dapat dianggap sebagai zat radioaktif karena tidak mungkin ditentukan batas yang sama bagi semua zat mengingat sifat masing-masing zat tersebut berbeda.
Limbah radioaktif, separti limbah-limbah lainnya adalah bahan yang tidak dimanfaatkan lagi dan karena bersifat radioaktif, limbah radioaktif tersebut mengandung potensi bahaya radiasi.
Karena sifatnya itu, pengelolaan limbah radioaktif perlu diatur dan diawasi untuk mencegah timbulnya bahaya radiasi terhadap pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup. Pengelolaan limbah radioaktif tersebut dilakukan oleh Badan Pelaksana yang dalam pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan pihak lain.
Berdasarkan tingkat bahaya yang ditimbulkan, limbah radioaktif diklasifikasikan menjadi limbah radioaktif tingkat rendah, tingkat sedang, dan tingkat tinggi.
Untuk limbah radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang oleh penghasil limbah dikumpulkan, dikelompokkan, atau diolah dan disimpan sementara sebelum dikirim kepada Badan Pelaksana untuk diproses selanjutnya. Karena limbah radioaktif tingkat tinggi mempunyai potensi bahaya radiasi yang tinggi, penyimpanan sementara limbah radioaktif tingkat tinggi dilakukan oleh penghasil limbah dalam waktu sekurang-kurangnya selama masa operasi reaktor nuklir, sedangkan penyimpanan lestarinya menjadi tanggung jawab Badan Pelaksana.
Yang dimaksud dengan pengusahaan dalam undang-undang ini pada umumnya adalah kegiatan usaha yang bersifat komersial. Di dalam pengusahaan ini selain Badan Usaha Milik Negara, pihak lain juga diberi kesempatan. Namun, untuk Badan Pelaksana pengertian wewenang pengusahaan ini adalah bersifat nonkomersial atau nonprofit.
Teknologi keselamatan nuklir dewasa ini telah berkembang sangat maju dan sangat andal serta dapat menekan serendah-rendahnya kementakan terjadinya kecelakaan nuklir sehingga mampu menjamin keselamatan pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup.
Namun, agar peraturan mengenai keselamatan nuklir dihormati dan dipatuhi dengan sebaik-baiknya oleh semua pihak, perlu diadakan pengaturan penggantian kerugian akibat kecelakaan nuklir yang dialami oleh pihak ketiga dan lingkungan.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, pada umumnya pertanggungjawaban didasarkan pada kesalahan. Artinya, pihak yang bertanggung jawab baru mempunyai kewajiban untuk membayar ganti rugi setelah terbukti bahwa kerugian yang terjadi disebabkan oleh kesalahannya. Apabila hal itu diterapkan pada kecelakaan nuklir, pihak yang dirugikan akan mengalami kesulitan dalam membuktikan adanya kesalahan itu sehingga hal tersebut akan menyulitkan pihak ketiga sebagai penderita kerugian. Oleh karena itu, bagi pihak ketiga tersebut perlu diberikan jaminan perlindungan yang lebih pasti dengan satu sistem tanggung jawab mutlak. Pengusaha instalasi nuklir sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul, tanpa adanya pembuktian oleh pihak ktiga tentang ada atau tidaknya kesalahan pada pengusaha instalasi nuklir, kecuali kecelakaan nuklir itu terjadi akibat langsung dari pertikaian atau konflik bersenjata internasional atau non-internasional atau bencana alam dengan tingkat yang luar biasa yang melampaui batas rancangan persyaratan keselamatan yang telah ditetapkan.
Di lain pihak, dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan industri nuklir, jaminan perlindungan perlu juga diberikan kepada pengusaha instalasi nuklir sebagai pihak yang bertanggung jawab, yaitu dalam bentuk batas pertanggungjawaban, baik batas jumlah pembayaran ganti rugi maupun jangka waktu penuntutan.
Dengan mempertimbangkan kepentingan pihak ketiga dan pengusaha instalasi nuklir seperti tersebut, maka dipandang perlu menggunakan satu sistem tersendiri bagi pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Sistem tersebut memberikan perlindungan yang lebih pasti bagi pihak ketiga yang menderita kerugian nuklir, tetapi juga tidak menghambat perkembangan industri nuklir itu sendiri sebagaimana yang telah dikembangkan, baik di negara maju maupun di negara berkembang.
Prinsip yang dianut dalam sistem tersebut adalah:
a. tanggngu jawab mutlak;
b. pengusaha instalasi nuklir bertanggung jawab dengan mengecualikan orang lain;
c. batas pertanggungjawaban dalam jumlah ganti rugi dan waktu;
d. pengusaha instalasi nuklir diwajibkan mempertanggungkan tanggung jawabnya dalam bentuk asuransi atau bentuk jaminan keuangan lainnya.
Ruang lingkup ketentuan pertanggungjawaban kerugian nuklir yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir dalam undang-undang ini dibatasi hanya pada kerugian yang diderita oleh pihak ketiga akibat kecelakaan nuklir yang terjadi di instalasi nuklir tertentu atau selama pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas, yang disebabkan oleh kekritisan bahan bakar nuklir tersebut. Kecelakaan nuklir yang terjadi selama pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas pada dasarnya menjadi tanggung jawab pengusaha instalasi nuklir pengirim, kecuali sebelumnya telah diperjanjikan secara tertulis. Instalasi nuklir yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah:
a. reaktor nuklir;
b. fasilitas yang digunakan untuk pemurnian, konversi, pengayaan, fabrikasi bahan bakar nuklir dan/atau pengelohan ulang bahan bakar nuklir bekas; dan/atau
c. fasilitas yang digunakan untuk menyimpan bahan bakar nuklir dan bahan bakar nuklir bekas.
Kekritisan bahan bakar munklir adalah keadaan yang menunjukkan pada bahan bakar nuklir tersebut terjadi reaksi pembelahan berantai secara spontan. Pada reaksi pembelahan berantai itu dihasilkan neutron baru, tenaga, dan zat radioaktif. Zat radioaktif hasil reaksi pembelahan berantai itulah yang dalam suatu kecelakaan nuklir dapat menimbulkan kerugian nuklir. Reaksi pembelahan berantai dapat terjadi apabila kombinasi massa dan dimensi bahan bakar nuklir memenuhi kondisi tertentu, dalam hal ini massa dan ukurannya tertentu, yang disebut kondisi kritis.
Yang dimaksud dengan kerugian nuklir adalah kerugian yang ditimbulkan oleh radiasi atau gabungan radiasi dengan sifat racun, sifat mudah meledak, atau sifat bahaya lainnya sebagai akibat kecelakaan nuklir yang timbul dari kekritisan bahan bakar nuklir.
Pihak ketiga adalah orang atau badan yang menderita kerugian nuklir, tidak termasuk pengusaha intalasi nuklir, dan pekerja instalasi nuklir yang menurut struktur organisasi berada di bawah pengusaha instalasi nuklir.
Penggantian kerugian nuklir terhadap pihak ketiga dalam undang-undang ini ialah penggantian kerugian yang dialami manusia, seperti kematian, cacat, cedera atau sakit, dan penggantian kerugian atas biaya yang diperlukan sebagai akibat tindakan preventif, misalnya tindakan evakuasi yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang di daerah lokasi instalasi nuklir yang mengalami kecelakaan nuklir. Penggantian kerugian terhadap kerusakan harta benda harus sesuai dengan nilai kerusakan yang diderita ditambah dengan biaya rehabilitasinya. Demikian juga, penggantian kerugian terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan harus sesuai dengan nilai kerugian kerusakan ditambah dengan besarnya biaya untuk melakukan tindakan rehabilitasi lingkungan.
Kerugian yang bukan disebabkan oleh kekritisan bahan bakar nuklir tidak termasuk kategori kerugian nuklir. Pekerja pada instalasi nuklir yang bersangkutan atau yang bekerja pada instalasi lain yang memanfaatkan radiasi berhak mendapatkan penggantian kerugian sesuai dengan ketentuan Undang-undang Jaminan Sosial Tenaga Kerja atau jaminan asuransi kecelakaan kerja lainnya.
Undang-undang ini hanya mengatur hal-hal yang pokok, oleh karena itu ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam peraturan pelaksanaannya.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Ayat (1)
Bahan bakar nuklir bekas adalah bahan bakar nuklir yang telah digunakan sebagai bahan bakar dalam reaktor nuklir. Bahan bakar nuklir bekas tersebut merupakan limbah radiaktif tingkat tinggi.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 3
Ayat (1) dan (2)
Badan Pelaksana yang dimaksud adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Pasal 4
Ayat (1) dan (2)
Bahan Pengawas yang dimaksud adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

Pasal 5
Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir adalah lembaga nonstruktural yang independen dan keanggotaannya terdiri atas para ahli dan tokoh masyarakat, yang dibentuk oleh Pemerintah dan bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah.

Pasal 6
Cukup jelas

Pasal 7
Pembentukan Badan Usaha Milik Negara tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 8
Ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
Pada dasarnya pelaksanaan penelitian dan pengembangan dapat dilakukan, baik oleh Badan Pelaksana maupun pihak lain.
Namun, tanggung jawab di bidang penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir dibebankan kepada Badan Pelaksana.
Penelitian dan pengembangan teknologi nuklir terutama mengenai keselamatan nuklir, termasuk pengolahan limbah bahan bakar nuklir untuk mengurangi dampak negatifnya, perlu diperhatikan untuk mendapatkan terobosan-terobosan teknologi. Terhadap penelitian yang menghasilkan terobosan-terobosan teknologi diberikan penghargaan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkalu.
Yang dimaksud dengan badan lain dalam pasal ini adalah instansi pemerintah atau badan swasta baik nasional maupun asing.

Pasal 9
Ayat (1), dan ayat (2)
Badan Pelaksana diberi wewenang penyelidikan umum, eksplorasi dan eksploitasi bahan galian nuklir yang bersifat nonkomersial. Dalam melaksanakan wewenang ini Badan Pelaksana dapat bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negera, koperasi, badan swasta, atau badan lain. Bentuk kerjasama itu diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
Yang dimaksud dengan badan lain dalam pasal ini adalah instansi pemerintah asing atau badan swasta asing.

Pasal 10
Ayat (1), dan ayat (2)
Karena bahan bakar nuklir merupakan bahan strategis, produksi dan/atau pengadaan bahan baku untuk pembuatan bahan bakar nuklir hanya dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.
Walaupun demikian, Badan Pelaksana dapat bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan/atau badan swasta.

Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Konsultasi itu dilakukan untuk setiap tapak di mana satu atau lebih pembangkit listrik tenaga nuklir akan dibangun. Dalam konsultasi ini Pemerintah harus memperhatikan sungguh-sungguh pendapat dan saran Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan hasil konsultasi tersebut dihormati dan dijadikan pedoman oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Pasal 14
Ayat (1) dan ayat (2)
Pengawasan ini perlu dilakukan mengingat bahwa tenaga nuklir itu selain bermanfaat juga mempunyai bahaya radiasi.
Pengawasan ini dimaksudkan agar bahaya itu tidak terjadi.
Pengawasan dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Mengeluarkan peraturan di bidang keselamatan nuklir agar tujuan pengawasan tercapai.
b. Menyelenggarakan perizinan untuk mengendalikan bahwa pemanfaatan tenaga nuklir akan dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dengan perizinan ini Badan Pengawas dapat mengetahui di mana, oleh siapa, dan bagaimana pemanfaatan tenaga nuklir dilakukan.
c. Melaksanakan inspeksi secara berkala dan sewaktu-waktu untuk mengetahui apakah pemanfaatan tenaga nuklir mengikuti peraturan yang ditetapkan.

Pasal 15
Budaya keselamatan adalah sifat dan sikap dalam organisasi dan individu yang menekankan pentingnya keselamatan. Oleh karena itu, budaya keselamatan mempersyaratkan agar semua kewajiban yang berkaitan dengan keselamatan harus dilaksanakan secara benar, saksama, dan penuh rasa tanggung jawab.
Salah satu tujuan pengawasan adalah untuk mencegah terjadinya perubahan tujuan pemanfaatan bahan nuklir, yaitu perubahan tujuan dari maksud damai ke maksud lain.

Pasal 16
Ayat (1)
Ketentuan keselamantan yang perlu diatur lebih lanjut, antara lain, adalah ketentuan keselamatan kerja terhadap radiasi, ketentuan keselamatan pengangkutan zat radioaktif, ketentuan keselamatan terhadap pertambangan bahan galian nuklir, dan ketentuan keselamatan reaktor.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan hal-hal tertentu pada ayat ini adalah pemanfaatan zat, alat, atau benda yang pancaran radiasi dan aktivitasnya lebih kecil daripada pancaran radiasi dan aktivitas yang seharusnya memiliki izin, antara lain, alat navigasi, jam, kaos lampu petromaks, dan pendeteksi asap.
Ayat (2)
Pengertian pembangunan pada ayat ini termasuk penentuan tapak dan konstruksi instalasi nuklir.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Menteri Keuangan menetapkan besar biaya perizinan atas usul Badan Pengawas. Penerimaan biaya perizinan tersebut merupakan Penerimaan Negera Bukan Pajak dan disetorkan ke Kas Negara.

Pasal 19
Ayat (1)
Kedudukan petugas dalam pengoperasian reaktor nuklir dan pemanfaatan sumber radiasi sangat penting.
Mengingat peranannya dapat menentukan aman atau tidaknya pengoperasian dan pemanfaatan itu, maka untuk mendapatkan izin, petugas tersebut harus menjalani suatu pengujian untuk membuktikan kualifikasinya.
Yang dimaksud dengan petugas tertentu adalah, antara lain, ahli radiografi, operator radiografi, petugas proteksi radiasi, petugas dosimetri, dan petugas perawatan.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Hasil inspeksi yang dilakukan Badan Pengawas diterbitkan secara berkala dan terbuka.

Pasal 21
Pembinaan ini dimaksudkan untuk menimbulkan motivasi dan kesadaran kelamatan dalam pemanfaatan tenaga nuklir.

Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 23
Ayat (1)
Pengelolaan limbah radioktif dilakukan oleh Badan Pelaksana didasarkan atas pertimbangan keselamatan dan kemampuan teknis yang dimiliki oleh Badan Pelaksana serta kemudahan dalam pelaksanaan pengawasan.
Pengelolaan ini dilaksanakan secara nonkomerial.
Ayat (2)
Untuk kegiatan pengelolaan limbah radioktif secara komersial, Badan Pelaksana dapat menunjuk Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan/atau badan swasta sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 24
Ayat (1)
Kewajiban penghasil limbah radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang, dimaksudkan agar limbah radioaktif dikelola di dalam lokasi instansi nuklir sehingga tidak membahayakan pekerja, anggota mesyarakat, dan lingkungan hidup serta memudahkan tindakan pengelolaan selanjutnya oleh Badan Pelaksana.
Penyimpanan sementara dimaksudkan untuk menurunkan tingkat zat radioaktif yang berumur pendek sebelum pengelolaannya diserahkan kepada Badan Pelaksana.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 25
Ayat (1) dan ayat (2)
Penentuan tempat penyimpanan lestari limbah radioaktif tingakt tinggi perlu dibicarakan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk mendapatkan persetujuan karena menyangkut perubahan suatu daerah yang semula dapat dimanfaatkan menjadi suatu daerah yang sama sekali tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Limbah radioaktif yang berasal dari luar negari tidak diidzinkan disimpan di wilayah hukum Republik Indonesia.

Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Menteri Keuangan menetapkan besar biaya penyimpanan atas usul Badan Pelaksana. Penerimaan biaya penyimpanan oleh Badan Pelaksana merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak dan disetorkan ke Kas Negara.

Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 28
Pada prinsipnya dalam hal terjadi kecelakaan nuklir, tanggung jawab hanya dibebankan kepada satu pihak, yaitu pengusaha instalasi nuklir. Dengan demikian, tidak ada pihak lain yang dapat diminta pertanggungjawaban selain pengusaha instalasi nuklir itu.
Dalam sistem tanggung jawab mutlak, untuk menerima ganti rugi, pihak ketiga yang menderita kerugian nuklir tidak dibebani pembuktian ada atau tidaknya kesalahan pengusaha instalasi nuklir. Untuk menghindari ganti rugi jatuh kepada pihak yang tidak berhak, pihak ketiga cukup menunjukkan bukti yang sah bahwa kerugiannya diakibatkan oleh kecelakaan nuklir.

Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengusaha instalasi nuklir bertanggung jawab secara bersama-sama adalah jika salah satu pengusaha instalasi nuklir sudah melaksanakan tanggung jawabnya, pengusaha yang lain dibebaskan.
Pengusaha yang sudah melaksanakan tanggung jawab tersebut memperhitungkan jumlah pertanggungjawaban yang harus dipikul oleh pengusaha lainnya secara proforsional, sesuai dengan jenis instalasi nuklir dan besar kecil potensi bahayanya. Dengan demikian, pertanggungjawaban yang harus dipikul oleh masing-masing tidak melebihi jumlah yang telah ditetapkan dalam Pasal 34.
Ayat (2)
Apabila kerugian nuklir melebihi jumlah pertanggungjawaban pengusaha instalasi nuklir, Pemerintah wajib mengambil langkah-langkah penyelesaiannya.

Pasal 31
Cukup jelas

Pasal 32
Yang dimaksud dengan pertikaian atau konflik bersenjata internasional adalah pertikaian atau konflik bersenjata yang melibatkan negara lain.
Yang dimaksud dengan pertikaian atau konflik bersenjata non-internasional, antara lain, pemberontakan dan gerakan pengacau keamanan.
Bencana alam dengan tingkat yang luar biasa, misalnya, gempa bumi yang termasuk dalam kategori melampaui S1 (seismic category 1) dan S2 (seismic category 2).
S1 dan S2 merupakan penggolongan gempa bumi yang ditetapkan oleh Badan Pengawas. S1 adalah gempa bumi maksimum yang dapat terjadi sekali selama umur operasi instalasi nuklir, sedangkan S2 adalah gempa bumi maksimum yang dapat terjadi pada lokasi instalasi nuklir yang melebihi umur operasi instalasi nuklir. S1 dan S2 ditetentukan berdasarkan gempa bumi maksimum yang pernah terjadi di dalam siklus waktu tertentu pada lokasi instalasi nuklir, misalnya, siklus 50 (lima puluh) tahunan untuk S1 (setara dengan umur operasi instalasi nuklir) dan siklus 1.000 (seribu) tahunan untuk S2. Instalasi nuklir harus didesain untuk dapat bertahan pada kondisi gempa bumi S1 dan S2.

Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Agar tidak mengurangi jumlah ganti rugi yang dibayarkan kepada penderita, bunga biaya perkara tidak boleh diperhitungkan dari uang pertanggungan.
Ayat (4)
Peninjauan kembali jumlah pertanggungjawaban pengusaha instalasi nuklir dimaksudkan untuk menyesuaikan apabila terjadi perubahan nilai mata uang.

Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pengusaha instalasi nuklir adalah pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ketentuan ini memberikan jaminan perlindungan yang lebih pasti terhadap pihak yang dirugikan.

Pasal 37
Ayat (1)
Dibebaskannya Pemerintah dari kewajiban untuk mempertanggungkan pertanggungjawabannya melalui asuransi atau jaminan keuangan lainnya bukan berarti jika terjadi kecelakaan nuklir yang menimpa pihak ketiga, Pemerintah tidak akan memberikan ganti rugi sebab pada dasarnya Pemerintah melindungi rakyat.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 39
Ayat (1)
Penetapan jangka waktu ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 40
Cukup jelas

Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 45
Cukup jelas

Pasal 46
Cukup jelas

Pasal 47
Cukup jelas

Pasal 48
Cukup jelas

ke atas

(c)2010 Ditjen PP :: www.djpp.depkumham.go.id || www.djpp.info || Kembali