Teks tidak dalam format asli.
Kembali


TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI

No. 3698(Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 67)

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1997
TENTANG
NARKOTIKA

UMUM

Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, tertib dan damai berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera tersebut perlu peningkatan secara terus menerus usaha-usaha di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan termasuk ketersediaan narkotika sebagai obat, di samping untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Meskipun narkotika sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda, bahkan dapat menimbulkan bahaya yang besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional.
Peningkatan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sangat diperlukan, karena kejahatan narkotika pada umumnya tidak dilakukan oleh perorangan secara berdiri sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama bahkan dilakukan oleh sindikat yang teroganisasi secara mantap, rapih, dan sangat rahasia.
Di samping itu, kejahatan narkotika yang bersifat transnasional dilakukan dengan menggunakan modus operandi dan teknologi canggih, termasuk pengamanan hasil-hasil kejahatan narkotika. Perkembangan kualitas kejahatan narkotika tersebut sudah menjadi ancaman yang sangat serius bagi kehidupan umat manusia.
Untuk lebih meningkatkan pengendalian dan pengawasan serta meningkatkan upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, diperlukan pengaturan dalam bentuk undang-undang baru yang berazaskan keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, manfaat, keseimbangan, keserasian, keselarasan dalam perikemanusiaan, hukum, serta ilmu pengetahuan dan teknologi, dan dengan mengingat ketentuan baru dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika Tahun 1988 yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika. Dengan demikian, undang-undang narkotika yang baru diharapkan lebih efektif mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, termasuk untuk menghindarkan wilayah Negara Republik Indonesia dijadikan ajang transito maupun sasaran peredaran gelap narkotika.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, dipandang perlu memperbaharui Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika dengan membentuk undang-undang baru.
Undang-undang baru tentang Narkotika mempunyai cakupan yang lebih luas baik dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun ancaman pidana yang diperberat. Cakupan yang lebih luas tersebut, selain didasarkan pada faktor-faktor di atas juga karena perkembangan kebutuhan dan kenyataan bahwa nilai dan norma dalam ketentuan yang berlaku tidak memadai lagi sebahai sarana efektif dan mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. beberapa materi baru antara lain mencakup pengaturan mengenai penggolongan narkotika, pengadaan narkotika, label dan publikasi, peran serta masyarakat, pemusnahan narkotika sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, perpanjangan jangka waktu penangkapan, penyadapan telepon, teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan pembelian terselubung jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika. Dalam rangka memberi efek psikologis kepada masyarakat agar tidak melakukan tindak pidana narkotika, perlu ditetapkan ancaman pidana yang lebih berat, minimum dan maksimun, mengingat tingkat bahaya yang ditimbulkan akibat penyalahgunaan dan peredaran narkotika sangat mengancam ketahanan keamanan nasional.
Untuk lebih menjamin efektifitas pelaksanaan pengendalian dan pengawasan serta pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, perlu diadakan sebuah badan koordinasi tingkat nasional di bidang narkotika dengan tetap memperhatikan secara sungguh-sungguh berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait antara laib Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana, Kesehatan, Kepabeanan, Psikotropika dan Pertahanan Keamanan.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud:
a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan;
b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan olmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi yang mengakibatkan ketergantungan;
c. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu serta mempunyai potensi ringan yang mengakibatkan ketergantungan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 3
Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan" adalah penggunaan narkotika terutama untuk kepentingan pengobatan termasuk juga digunakan untuk kepentingan rehabilitasi.

Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5
Yang dimaksud dengan "untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan", termasuk untuk kepentingan pendidikan, pelatihan, keterampilan dan penelitian dan pengembangan.
Dalam rangka penelitian, narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan medis yang sangat terbatas dan dilaksanakan oleh orang yang diberi wewenang khusus untuk itu oleh Menteri Kesehatan.

Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Kebutuhan narkotika setiap tahun selain untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan juga termasuk untuk keperluan pendidik, pelatihan dan keterampilan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah yang tugas dan fungsinya melakukan pengawasan, penyidikan dan pemberantasan peredaran gelap narkotika.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan narkotika dari sumber lain adalah narkotika yang dikuasai oleh pemerintah yang diperoleh antara lain dari bantuan atau berdasarkan kerja sama dengan pemerintah atau lembaga asing dan yang diperoleh dari hasil penyitaan dan perampasan sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini.
Ayat (2)
Narkotika yang diperoleh dari sumber lain dipergunakan terutama untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, termasuk juga keperluan pendidikan, pelatihan dan keterampilan yang dilaksanakan oleh instansi Pemerintah yang tugas dan fungsinya melakukan pengawasan, penyidikan, dan pemberantasan peredaran gelap narkotika.

Pasal 8
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini membuka kemungkinan untuk memberikan izin kepada lebih dari satu pabrik obat yang berhak memproduksi obat narkotika, tetapi dilakukan sangat selektif dengan maksud agar pengendalian dan pengawasan narkotika dapat lebih mudah dilakukan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pengendalian tersendiri adalah pengendalian yang dilakukan secara terpisah dengan pengendalian yang lain yakni dikaitkan dengan rencana kebutuhan tahunan narkotika, baik kebutuhan dalam wujud bahan baku narkotika maupun dalam wujud obat sebagai hasil akhir proses produksi.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan produksi termasuk kultivasi (pembudidayaan) tanaman yang mengandung narkotika.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 10
Ayat (1)
Dalam pengertian lembaga ilmu pengetahuan termasuk juga Pemerintah yang karena tugas dan fungsinya berwewenang melakukan pengawasan, penyidikan dan pemberantasan peredaran gelap narkotika.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan balai pengobatan adalah balai pengobatan yang dipimpin oleh dokter.
Yang dimaksud dengan lembaga ilmu pengetahuan termasuk lembaga pendidikan, pelatihan, keterampilan, penelitian dan pengembangan baik yang diselenggarakan Pemerintah maupun swasta.
Ayat (2)
Kewajiban dokter yang melakukan praktek pribadi untuk membuat laporan yang berbentuk catatan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan narkotika yang sudah melekat pada rekam medis dan disimpan sesuai dengan ketentuan masa simpan resep selama 3 (tiga) tahun.
Dokter yang melakukan praktek pada sarana kesehatan yang memberi pelayanan medis, wajib membuat laporan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan narkotika, dan disimpan sesuai dengan ketentuan masa simpan resep selama 3 (tiga) tahun.
Catatan mengenai narkotika di badan usaha sebagaimana diatur dalam ayat ini disimpan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dokumen pelaporan mengenai narkotika yang berada di bawah kewenangan Departemen Kesehatan, disimpan sesuai dengan ketentuan sekurang-kurangnya dalam waktu 3 (tiga) tahun.
Maksud adanya kewajiban untuk membuat, menyimpan, dan menyampaikan laporan adalah agar Pemerintah setiapp waktu dapat mengetahui tentang persediaan narkotika yang ada dalam peredaran dan sekaligus sebagai bahan dalam penyusunan rencana kebutuhan tahunan narkotika.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan pelanggaran termasuk juga segala bentuk penyimpanan terhadap ketentuan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan pencabutan izin adalah izin yang berkaitan dengan kewenangan untuk mengelola narkotika.

Pasal 12
Pemberian izin untuk mengimpor narkotika oleh Menteri Kesehatan didasarkan pada prinsip kehati-hatian dan dilakukan sangat selektif. Oleh karena itu izin tersebut diberikan hanya kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara. Dengan demikian narkotika yang masuk ke Indonesia hanya melalui satu pintu sehingga memudahkan pengawasan dan pengendaliannya.
Namun demikian, dalam keadaan tertentu dengan memperhatikan ketersediaan narkotika, keadaan perusahaan pedagang besar farmasi milik megara dan hal-hal lain yang dinilai penting, secara selektif Menteri Kesehatan dapat memberi izin kepada perusahaan pedagang besar farmasi milik swasta untuk melakukan impor narkotika.
Lembaga ilmu pengetahuan yang menerima narkotika dari luar negeri atas dasar kerjasama dengan lembagaa asing hanya dapat dilakukan melalui importir yang memiliki izin, hanya digunakan untuk kepentingan sendiri dan dilarang mengedarkannya.

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Cukup jelas

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16
Cukup jelas

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Pelaksanaan impor atau ekspor narkotika tetap tunduk pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.
Yang dimaksud dengan kawasan pabean tertentu yang dibuka untuk perdagangan luar negeri adalah kawasan di pelabuhan laut dan udara internasional tertentu yang ditetapkan sebagai pintu impor dan ekspor narkotika agar lalu lintas narkotika mudah diawasi.

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Pasal ini berintikan jaminan bahwa masuknya narkotika baik melalui laut maupun udara wajib ditempuh prosedur kepabeanan yang ditentukan, demi pengamanan lalu lintas narkotika di Wilayah Negara Republik Indonesia.
Yang dimaksud dengan penanggungjawab pengangkut adalah kapten penerbang atau nahkoda.

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Penentuan batas waktu menyampaikan laporan dimaksudkan untuk kepastian hukum dan memperketat pengawasan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup jelas

Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan jenis adalah sediaan dalam bentuk gram atau basa.
Yang dimaksud dengan bentuk adalah sediaan dalam bentuk bahan baku atau obat jadi seperti tanaman, serbuk, tablet, suntikan, kapsul, cairan.
Yang dimaksud dengan jumlah adalah angka yang menunjuk banyaknya narkotika yang terdiri dari jumlah satuan berat dalam kilogram, isi dalam militer.

Pasal 27
Pada dasarnya dalam transito narkotika dilarang mengubah arah negara tujuan. Namun apabila dalam keadaan tertentu misalnya terjadi keadaan memaksa (force majeur) sehingga harus dilakukan perubahan negara tujuan maka perubahan tersebut harus memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal ini.
Selama menunggu pemenuhan persyaratan yang diperlukan, narkotika tetap disimpan di kawasan pabean dan tanggung jawab pengawasannya berada di bawah Pejabat Bea dan Cukai.

Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31
Batas waktu 7 (tujuh) hari kerja dibuktikan dengan stempel pos tercatat, atau tanda terima jika laporan diserahkan secara langsung. Dengan adanya pembatasan waktu kewajiban menyampaikan laporan, maka importir harus segera memeriksa jenis, mutu, dan jumlah atau bobot narkotika yang diterimanya sesuai dengan Surat Persetujuan impor yang dimiliki.

Pasal 32
Cukup jelas

Pasal 33
Cukup jelas

Pasal 34
Yang dimaksud dengan wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah adalah bahwa setiap peredaran narkotika termasuk pemindahan narkotika ke luar kawasan pabean ke gudang importir, wajib disertai dengan dokumen yang dibuat oleh importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter atau apotek.
Dokumen tersebut berupa Surat Persetujuan Impor/Ekspor, faktur, surat angkut, surat penyerahan barang, resep dokter atau salinan resep dokter, yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari narkotika yang bersangkutan.

Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan importir, eksportir, pabrik obat dan pedagang besar farmasi adalah importir, eksportir, pabrik obat, dan pedagang besar farmasi tertentu yang telah memiliki izin khusus untuk menyalurkan narkotika.
Ayat (2)
Izin khusus penyaluran narkotika bagi sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah diperlukan sepanjang surat keputusan pendirian sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tersebut tidak dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan.

Pasal 36
Pentingnya penegasan mengenai penyaluran narkotika dimaksudkan agar tercipta tatanan penyaluran narkorika yang lebih sederhana tapi lebih tegas mekanismenya. Sehingga dengan demikian akan menjadi jelas penyaluran dan perolehan narkotika bagi setiap badan yang dapat terlibat dalam penyaluran sah narkotika.
Rumah sakit yang telah memiliki instansi farmasi memperoleh narkotika dari pabrik obat tertentu atau pedagang besar farmasi tertentu.
Yang dimaksud dengan sarana sediaan farmasi pemerintah tertentu adalah sarana yang mengelola sediaan farmasi dan alat kesehatan milik Pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah dalam rangka pelayanan kesehatan.

Pasal 37
Cukup jelas

Pasal 38
Cukup jelas

Pasal 39
Ayat (1)
Rumah sakit yang belum mempunyai instalasi farmasi hanya dapat memperoleh narkotika dari apotek.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Penyerahan narkotika oleh dokter yang menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek memerlukan surat izin menyimpanan narkotika dari Menteri Kesehatan atau pejabat yang diberi wewenang. Izin tersebut melekat pada surat keputusan penempatan di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 40
Cukup jelas

Pasal 41
Ayat (1)
Pencantuman label dimaksudkan pengenalan sehingga memudahkan pula dalam pengendalian dan pengawasannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 42
Yang dimaksud dengan dipublikasikan adalah yang mempunyai kepentingan ilmiah dan komersial untuk narkotika baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku narkotika, di kalangan terbatas kedokteran dan farmasi.
Penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat mengenai bahaya penyalahgunaan narkotika, tidak termasuk kriteria publikasi.

Pasal 43
Cukup jelas

Pasal 44
Cukup jelas

Pasal 45
Cukup jelas

Pasal 46
Untuk membantu Pemerintah dalam menanggulangi masalah dan bahaya penyalahgunaan narkotika, dalam hal ini khusus untuk pecandu narkotika, maka diperlukan keikutsertaan orang tua/wali, masyarakat, guna meningkatan tangggung jawab pengawasan dan bimbingan terhadap anak-anaknya.
Istilah cukup umur sesuai dengan pengertian yang ada di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Pasal 47
Penggunaan kata memutuskan bagi pecandu narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika mengandung pengertian bahwa putusan hakim tersebut merupakan vonis (hukuman) bagi pecandu narkotika yang bersangkutan.
Sedangkan penggunaan kata menetapkan bagi pecandu narkotika yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika mengandung pengertian bahwa penetapan hakim tersebut bukan merupakan vonis (hukuman) bagi pecandu narkotika yang bersangkutan. Penetapan tersebut dimaksud untuk memberikan suatu penekanan bahwa pecandu narkotik tersebut walaupun tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika, tetapi tetap wajib menjalani pengobatan dan perawatan.
Biaya pengobatan dan atau perawatan bagi pecandu narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika sepenuhnya menjadi beban dan tanggung jawab negara, karena pengobatan dan atau perawatan tersebut merupakan bagian dari masa menjalani hukuman. Sedangkan bagi pecandu narkotika yang tidak terbukti bersalah biaya pengobatan dan/atau perawatan selama dalam status tahanan tetap menjadi beban negara, kecuali tahanan rumah dan tahanan kota.

Pasal 48
Rehabilitasi bagi pecandu narkotika dilakukan dengan maksud untuk memulihkan dan/atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial budaya penderita yang bersangkutan.

Pasal 49
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan rumah sakit adalah rumah sakit yang diselenggarakan baik oleh Pemerintah maupun masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 50
Yang dimaksud dengan bekas pecandu narkotika adalah orang yang telah sembuh dari ketergantungan terhadap narkotika secara fisik dan psikis.

Pasal 51
Cukup jelas

Pasal 52
Cukup jelas

Pasal 53
Kerjasama internasional yang dimaksud termasuk dalam rangka pemberantasan kejahatan narkotika transnasional yang terorganisasi.

Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penanganan masalah narkotika pada dasarnya menjadi tugas dan tanggung jawab berbagai instansi Pemerintah di samping keikutsertaan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun demikian, agar penanganan masalah narkotika dapat dilakukan secara terpadu dan mencapai hasil yang maksimal, perlu dilakukan koordinasi dalam menetapkan kebijaksaan nasional di bidang narkotika.
Pelaksanaan koordinasi ini sama sekali tidak mengurangi dan tanggung jawab instansi Pemerintah tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 55
Cukup jelas

Pasal 56
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengendalian dan pengawasan oleh Menteri Kesehatan dalam ayat ini adalah:
a. melaksanakan pemeriksaan setempat dan/atau pengambilan contoh pada sarana produksi, penyaluran, pengangkutan, penyimpanan, sarana pelayanan kesehatan dan fasilitas rehabilitasi;
b. memeriksa surat dan/atau dokumen yang berkaitan dengan kegiatan di bidang narkotika;
c. melakukan pengamanan terhadap narkotika yang tidak memenuhi standar dan persyarataan;
d. melaksanakan eveluasi terhadap hasil pemeriksaan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Sanksi administratif dilakukan sebagai upaya pencegahan awal meluasnya peredaran dan penggunaan narkotika secara tidak sah.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 57
Cukup jelas

Pasal 58
Dalam pemberian penghargaan harus tetap memperhatikan jaminan keamanan dan perlindungan terhadap yang diberi penghargaan.
Penghargaan diberikan dalam bentuk piagam, tanda jasa, premi, dan/atau bentuk penghargaan lainnya.

Pasal 59
Cukup jelas

Pasal 60
Cukup jelas

Pasal 61
Cukup jelas

Pasal 62
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan keadaan tertentu misalnya, karena kondisi tempat kejadian perkara tindak pidana narkotika tidak memungkinkan untuk menghadirkan pejabat instansi terkait secara lengkap dalam melaksanakan pemusnahan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 63
Cukup jelas

Pasal 64
Apabila ada perkara lain yang oleh undang-undang juga ditentukan untuk didahulukan, maka penentuan prioritas diserahkan kepada pengadilan.
Yang dimaksud dengan penyelesaian secepatnya adalah mulai dari pemerintah, pengambil putusan, sampai dengan pelaksanaan putusan atau eksekusi.

Pasal 65
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi Departemen Kesehatan, Departemen Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan departemen terkait lainnya.
Kewenangan Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil departemen tersebut diberikan oleh Undang-undang ini pada bidang tugasnya masing-masing, yang dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan fungsi koordiansi dengan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 66
Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat (1) ini merupakan pengecualian dari Undang-undang Nomor 6 Tahun 1984 tentang Pos.
Pengecualian ini dimaksudkan untuk mempercepat proses penyidikan, karena barang bukti yang menyangkut narkotika sangat mudah dilenyapkan sehingga akan menyulitkan penyidik.
Ketentuan ayat ini mengatur bahwa surat-surat dan kiriman melalui pos dan alat perhubungan lain, seperti biro jasa pengiriman dan angkutan yang dicurigai atau diduga keras berhubungan langsung dengan tindak pidana narkotika, dapat dibuka untuk diperiksa.
Untuk membuka atau memeriksa barang kiriman, tahapannya tidak hanya dalam proses penyidikan, tetapi juga dalam proses penuntutannya.
Ayat (2)
Ketentuan dalam ayat (2) ini merupakan penambahan kewenangan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan 30 (tiga puluh) hari adalah 30 (tiga puluh) hari kalender.

Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Perpanjangan waktu penangkapan untuk paling lama 48 (empat puluh delapan) jam dimaksudkan untuk pemeriksaan laboratorium, dalam rangka membuktikan kebenaran atas kecurigaan atau dugaan keras adanya narkotika. Bila ternyata tidak terbukti maka tersangka segera dibebaskan.

Pasal 68
Ketentuan dalam Pasal ini merupakan penambahan kewenangan Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Tugas teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan teknik pembelian terselubung hanya dapat dilaksanakan berdasarkan atas perintah tertulis Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat yang ditunjuknya.
Dalam pelaksanaan tugas kewenangan yang dimaksud dalam Pasal ini Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dapat melakukan koordinasi dan melibatkan Penyidik Pegawai Negeri Sipil tertentu.

Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan memberitahukan adalah Penyidik Pejabat Negeri Sipil memberitahukan kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia bahwa telah dilakukan penyitaan narkotika dan barang tersebut berada pada penyidik sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam Undang-undang yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan menyerahkan adalah Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil menyerahkan barang sitaan kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Yang dimaksud dengan dalam waktu selambat-lambatnya 3 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam adalah bahwa:
a. surat pemberitahuan dan tembusannya serta tembusan berita acara penyitaan, sudah diterima pejabat instansi dimaksud yang dibuktikan dengan tanda terima; atau
b. penyerahan barang sitaan, tembusan berita acara penyitaan, dan tembusan berita acara penyerahan barang sitaan, sudah diterima pejabat instansi dimaksud yang dibuktikan dengan tanda terima.
Yang dimaksud dengan 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam adalah 3 (tiga) hari kerja.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Sebagaian barang sitaan yang disisihkan untuk diperiksa atau diteliti di laboratorium harus dalam keadaan disegel dan penyerahannya kepada petugas laboratorium dilakukan dengan pembuatan berita acara. Pemeriksaan di laboratorium dimaksudkan untuk membuktikan kebenaran bahwa barang yang disita tersebut adalah narkotika.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas

Pasal 70
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan hari adalah hari kerja.
Ketetapan mengenai status barang sitaan sudah harus diterima oleh penyidik dan pejabat instansi terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (4) selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja yang dibuktikan dengan tanda terima.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Keputusan Jaksa Agung ditetapkan dengan memperhatikan pertimbangan Menteri Kesehatan.

Pasal 71
Ayat (1)
Tanaman narkotika yang dimaksud dalam ayat ini tidak hanya dikemukakan di ladang, juga yang diketemukan di tempat-tempat lain atau tempat tertentu yang ditanami narkotika, termasuk tanaman narkotika dalam bentuk lainnya yang ditemukan dalam waktu bersamaan di tempat tersebut.
Yang dimaksud dengan sebagian adalah dalam jumlah yang wajar dari tanaman narkotika untuk digunakan sebagai barang bukti dalam penyidikan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan pejabat yang menyaksikan pemusnahan adalah pejabat yang mewakili unsur Kejaksaan dan Departemen Kesehatan.
Dalam hal kondisi tempat tanaman narkotika ditemukan tidak memungkinkan untuk menghadirkan unsur pejabat tersebut, maka pemusnahan disaksikan oleh pihak lain yaitu pejabat atau anggota masyarakat setempat.

Pasal 72
Cukup jelas

Pasal 73
Cukup jelas

Pasal 74
Yang dimaksud dengan seluruh harta bendanya adalah seluruh kekayaan yang dimiliki, baik yang ada dalam penguasaannya maupun yang ada dalam penguasaan pihak lain (istri atau suami, anak dan setiap orang atau badan), yang diperoleh atau diduga, diperoleh dari tindak narkotika yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa.

Pasal 75
Cukup jelas

Pasal 76
Pasal ini bermaksud untuk memberikan perlindungan terhadap keselamatan pelapor yang memberikan keterangan mengenai suatu tindak pidana narkotika, agar nama dan alamat pelapor tidak diketahui oleh tersangka, terdakwa, atau jaringannya, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan di sidang pengadilan.

Pasal 77
Ayat (1)
Dalam menetapkan narkotika yang dirampas untuk negara, hakim memperhatikan ketetapan dalam proses penyidikan tindak pidana narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 dan Pasal 71.
Yang dimaksud dengan hasilnya dalam ayat ini adalah baik yang berupa uang atau benda lain yang diketahui atau diduga keras diperoleh dari tindak pidana narkotika.
Ayat (2)
Kata segara dimusnahkan dalam ayat ini pelaksanaannya selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Penyerahan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan harus diserahkan kepada Menteri Kesehatan atau pejabat yang ditunjuk selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan alat dalam ayat ini tidak termasuk pengertian alat yang potensial dapat digunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika.
Yang dimaksud dengan hari adalah hari kerja.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan pemanfaatan narkotika adalah pemanfaatan alat dan hasil dari tindak pidana narkotika untuk menunjang usaha rehabilitasi medis dan sosial, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.

Pasal 78
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan dilakukan secara terorganisasi adalah tindak pidana narkotika tersebut dilakukan oleh sekelompok orang, secara rapih, tertib, dan rahasia serta mempunyai jaringan nasional dan internaisional.
Ayat (4)
Ketentuan pidana dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) berlaku juga untuk pengurusan korporasi.

Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Lihat penjelasan Pasal 78 ayat (3).
Ayat (4)
Lihat penjelasan Pasal 78 ayat (4).

Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Lihat penjelasan Pasal 78 ayat (3).
Ayat (4)
Lihat penjelasan Pasal 78 ayat (4).

Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Lihat penjelasan Pasal 78 ayat (3).
Ayat (4)
Lihat penjelasan Pasal 78 ayat (4).

Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Lihat penjelasan Pasal 78 ayat (3).
Ayat (4)
Lihat penjelasan Pasal 78 ayat (4).

Pasal 83
Cukup jelas

Pasal 84
Cukup jelas

Pasal 85
Yang dimaksud dengan menggunakan narkotika bagi dirinya sendiri adalah penggunaan narkotika yang dilakukan oleh seseorang tanpa melalui pengawasan dokter. Dan jika orang yang bersangkutan menderita ketergantungan, maka dia harus menjalani rehabilitasi, baik medis maupun sosial, dan pengobatan serta rehabilitasi bagi yang bersangkutan akan diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana.

Pasal 86
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Terhadap orang tua atau wali pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah melaporkan tidak dituntut pidana didasarkan pada pertimbangan bahwa tindakan tersebut mencerminkan itikad baik sebagai wujud peran serta masyarakat.

Pasal 87
Cukup jelas

Pasal 88
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan keluarga dalam ayat ini adalah orang tua dan wali dari pecandu narkotika.

Pasal 89
Yang dimaksud dengan tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 adalah pengurus pabrik obat tidak melaksanakan kewajiban untuk mencantumkan label dan mempblikasikan narkotika di luar media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi.

Pasal 90
Perampasan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini didasarkan pada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 91
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undang yang berlaku adalah Ketentuan dalam Pasal 35 ayat (1) butir 1, 2 dan 6 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Pasal 92
Cukup jelas

Pasal 93
Cukup jelas

Pasal 94
Cukup jelas

Pasal 95
Cukup jelas

Pasal 96
Cukup jelas

Pasal 97
Yang dimaksud dengan kata barang siapa adalah setiap orang baik warga negara Republik Indonesia maupun warga negara asing yang melakukan tindak pidana narkotika di luar wilayah negara Republik Indonesia dan masuk wilayah negara Republik Indonesia.

Pasal 98
Cukup jelas

Pasal 99
Cukup jelas

Pasal 100
Cukup jelas

Pasal 101
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan presekursor adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam memproses pembuatan narkotika.
Alat-alat yang potensial dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika seperti alat-alat untuk membuat atau memproduksi narkotika, alat madat, alat suntik dan alat lainnya yang dipergunakan untuk memasukkan narkotika ke dalam tubuh manusia.
Prekursor dan alat-alat tersebut dinyatakan di bawah pengawasan Pemerintah dimaksud agar barang-barang tersebut dipergunakan sesuai dengan peruntukannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 102
Cukup jelas

Pasal 103
Cukup jelas

Pasal 104
Cukup jelas

LAMPIRAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1997
TENTANG
NARKOTIKA

A. GOLONGAN I 1. Tanaman Papaver Somiferum L dan semua bagian-bagiannya termasuk buah dan jeraminya, kecuali bijinya. 2. Opium mentah, yaitu getah membeku sendiri, diperoleh dari buah tananam Papever Somniferum L yang hanya mengalami pengolahan sekedar untuk pembungkus dan pengangkut tanpa memperhatikan kadar morfinnya. 3. Opium masak terdiri dari : 4. Tanaman koka, tanaman dari semua genus Erythroxylon termasuh buah dan bijinya. 5. Daun koka, daun yang belum atau sudah dikeringkan atau dalam bentuk sebuak dari kelaurga Erythroxylaceae termasuk tanaman genus Erythroxylon yang menghasilkan kokain secara langsung atau melalui perubahan kimia. 6. Kokain mentah, semua hasil-hasil yang diperoleh dari daun koka yang dapat diolah secara langsung untuk mendapatkan kokaina. 7. Kokaina, metil eter-1-bensoil eksgonina. 8. Tanaman ganja, semua tanaman termasuk biji, biah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis. 9. Tetrahydrocannabinol dan semua isomer serta semua bentuk stereo kiminya. 10. Tetra 9 tetrahycannabinol dan semua bentuk stereo kimianya. 11. Asetorfina : 3-0 acetiltetrahidro-7 alfha-(1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina. 12. Acetil-alfa metilfetanil : H-(1-(alpha-metilfenetil)-4-piperidil) asetanilida. 13. Alfa-metilfentanil : N-[1-(alpha-metilfenetil)-4-piperidil]propionalida. 14. Alfa-metilofentanil : H-[1-) 1-metil-2 (2-tienil) etil-4 piperidil] propionalida. 15. Beta-hidroksifentanil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-4-piperidil] propionalida. 16. Beta-hidroksi-3-metil : N-[1-(beta-hidroksifenetil)-3-metil-4-piperidil] propio-nanilida. 17. Desomorfina : dihidrodeosimorfina. 18. Etorfina : tetrahidro-7 alpha-1 (1-hidroksi-1-metilbutil)-6, 14-endoeteno-oripavina. 19. Heroina : diacetilmorfina. 20. Ketobemidona : 4-meta-hidroksifenil-1-metil-4-propionilpiperidina. 21. 2-metilfentanil : N-3 (-metil-1-fenetil-4-piperidil) propionalidina. 22. 3-metiltiofentanil : N-(3-metil-1[2-tienil_ etil]-4 piperidil] propionalidina. 23. MPPP : 1-metil-4-fenil-4-piperidinol propianat (ester). 24. Para-fluorofentanil : 4-fluora-N-(1-fenetil-4-piperidil) propionalidina. 25. PEPAP : 1-fenetil-4-fenil-4-piperidinol asetat (ester). 26. Tiofentanil : N-[1-[2-tienil) etil]-4-piperidil] propionalidina. B. GOLONGAN II 1. Alfasetilmetadol : Alfa-3-asetoksi-6-dimetil amino-4-, 4--difenilheptana. 2. Alfameprodina : Alfa-3-1-etil-1-metil-4-fenil-4-propionoksipiperidina. 3. Alfametadol : Alfa-6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanol. 4. Alfaprodina : Alfa-1, 3-dimetil-4-fenil-4-propionoksipiperidina. 5. Alfentanil : N-[1-[2-(4-etil-4, 5-dihidro-5-okso-1H-tetranol-1-il) etil]-4, (metroksimetil)-4-piperidini)-N-fenilpropanamida. 6. Allilprodina : 3-allil-1-metil-1-metil-4-fenil-4-fenilpiperridina-4)-4-karboksilat etil ester. 7. Anilerdina : asam 1-para-aminofenitil-4-fenilpiperridina)-4-karboksilat etil ester. 8. Asetilmetadol : 3-asetoksi-6-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana. 9. Benzetidin : asam 1-(2-benziniloksietil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester. 10. Benzilforfina : 3-benzilforfina. 11. Betameprodina : beta-3-etil-1-metil-4-fenil-1-propionoksipiperidina. 12. Betametadol : beta-6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanol. 13. Betaprodina : beta-1, 3-dimetil-4-fenil-4-propionoksiperidina. 14. Betasetilmetadol : beta-3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana. 15. Beztramida : -(3-siano-3,3-difinilprofil)-4-(2-okso-3-propionil-1-benzimidazolini)-piperidina. 16. Dekstromoramida : (1)-4-[2-metil-4-okso-3, 3-difenil-4 (1-pirolidinil) butil)-morfilina. 17. Diampromida : N-[2-(metilfenetilamino)-profil propionalida. 18. Dietiliambutena : 3-dietilamino-1, 1-di-(2-tienil)-1-butena. 19. Difenoksilat : asam 1-(3-siano-3, 3-difenilprofil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester. 20. Difenoksin : asam 1-(3-siano-3, 3-difenilpropil)-4-fenilisonipekorik. 21. Dihidromorfina 22. Dimefeptanol : 6-dimetliamino-4, 4-difenil-3-heptanol. 23. Dimenoksadol : 2-dimetilaminoetil-1-etoksi-1, 1-difenilasetat. 24. Dimetiltiambutena : 3-dimetilamino-1, 1-di (2-tienil)-1-butena. 25. Dioksafetil butirat : etil-4-morfolino-2, 2-difenilbutirat. 26. Dipipanona : 4,4-difenil-6-piperidina-3-heptanona. 27. Drotebanol : 3-4-dimetoksi-17-metilmorfina-6 beta, 14-diol. 28. Ekgonia, termasuk dan derivatnya yang setara dengan eksgonina dan kokaina. 29. Etilmetiltiambutena : 3-etilmetilamino-1, 1-di-(2-tienil)-1-butena. 30. Etokseridina : asam 1-(2-hidrosietoksi)-etil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester. 31. Etonitazena : 1-dietilaminoetil-2-para-etoksibenzil-5-nitrobenzimedazo) 1. 32. Furetidina : asam-1-(2-tetrahidrofurfuriloksietil)-4-fenilpiperidina-4-karbosilat etil ester). 33. Hidrokodona : dihidrokokeinona. 34. Hidroksipetidina : asam 4-meta-hidroksifenil-1-metilpiperidina-4-kkarboksilat etil ester). 35. Hidromorfinol : 14-hidroksidihidromorfina. 36. Hidromorfona : dihidromorfina. 37. Isometadona : 6-dietilamino-5-metil-4, 4-difenil-3-heksanona. 38. Fenadoksona : 6-morfolino-4, 4-difenil-3-heptanona. 39. Fenampromida : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-propionalidina. 40. Fenazosina : 2-hidroksi-5, 9-dimetil-2-fenetil-6, 7-benzomorfan. 41. Fenomorfon : 3-hidroksi-N-fenetilmorfinan. 42. Fenoperidina : asam 1-(3-hidroksi-3-fenilpropil)-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester. 43. Fentanil : 1-renetil-4-N-propionalinilinipiperidina. 44. Klonitazena : 2-para-klorbenzil-1-dietilaminoetil-3-nitrobenzimidazol. 45. Kodoksima : dihidrokodeinona-6-kaboksimetiloksima. 46. Levofenasilmorfan : (1)-3-hidroksi-N-fenasilmorfinan. 47. Levomoramida : (-)-4[2-metil-4-okso-3, 3-difenil-4-(1-(pirolidinil)-butil] morfolina. 48. Levometorfan : (-)-3-metoksi-N-metilmorfan. 49. Levorfanol : (-)-3-hidroksi-N-metilmorfinan. 50. Metadona : 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heptanona. 51. Metadona intermediat : 4-siano-2-dimetilamino-4, 4-difenilbutana. 52. Metazosina : 2-hidroksi-2,5,9-trimetil-6, 7-benzomorfan. 53. Metildesorfina : 6-metil-delta-6-6-deoksimorfan. 54. Metildihidromorfina : 6-metildihidromorfina. 55. Metopon : 5-metildihidromorfina. 56. Mirofina : miristilbenzilmorfina. 57. Moramida intermediat : asam (2-metil-3-morfolino-1, 1-difenilpropana karboksilat. 58. Morferidinaa : asam-1 (2-morfolinoetil)-4-feneilpiperidina-4-karboksilat etilester. 59. Morfina-N-oksida. 60. Morfin metobromida dan turunan morfina nitrogen pentafalent lainnya termasuk bagian turunan morfina-N-oksida. 61. Morfina. 62. Nikomorfina : 3,6-dinikotinilmorfina. 63. Norasimetadol : (lk.)-alfa-3-asetoksi-6-dimetilamino-4, 4-difenilheptana. 64. Norlevorfanol : (-)-3-hidroksimorfinan. 65. Normetadona : 6-dimetilamino-4, 4-difenil-3-heksanona. 66. Normofina : dimetilmorfina atau N-demetilatedmorfina. 67. Norpopinona : 4,4-difenil-piperidino-3-heksanona. 68. Oksikodono: 14-hidroksidihidrokodeinona. 69. Oksimorfona : 14-hidrosidihidromorfinona. 70. Opium 71. Petidina intermediat A : 4-soano-1-metil-4-fenilpiperidina. 72. Petidina intermediat B : asam 4-fenilpiperina-4-karboksilat etil ester. 73. Petidina intermediat C : asam 1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat. 74. Petidina : asam 1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat etil ester. 75. Piminodina : asam 4-fenil-1-(3-fenilminipropil)-piperidina-4-karboksilat etil ester. 76. Piritramida : asam 1 (-3 siano-3, 3-difenilpropil-4-(1-piperidino)-piperidina-4-karboksilat amida. 77. Proheptasina : 1,3-dimetil-4-fenil-4-propiooksiazasikloheptana. 78. Properidina : asam 1-metil-4-fenilpiperidina-4-karboksilat isopropil ester. 79. Rasemetorfan : (lk)-3-metoksi-N-metilmorfinan. 80. Rasemoramida : (lk)-4-[2-metil-4-okso-3, 3-difenil-4-(1-pirolidini)-butil-morfolina. 81. Rasemorfan : (lk)-3-dihidroksi-N-metilmorfinan. 82. Sufentanil : N-[4-metoksimetil)-1-[2-(2-tienil)-etil]-4-piperdil] propionanilida. 83. Tebaina 84. Tebakon : asetildihidrokedeinona. 85. Tilidina : (lk)-etil-trans-2-(dimetilamino)-1-fenil-3-sikloheksena-1-karboksilat. 86. Trimeperidina : 12,5-trimetil-4-fenil-4-propioniksipiperidina. 87. Garam-garam dari Narkotika dalam Golongan tersebut di atas. C. GOLONGAN III 1. Asetildihidrokodeina. 2. Dekstropropoksifena : alfa-(+)-4-dimetilamino-1, 2-difenil-3-metil-2-butanol propionat. 3. Dihidrokodeina. 4. Etilmorfina : 3-etil morfina. 5. Kodeina : 3-etil morfina. 6. Nikodikedina : 6-6-nikotinilkodeina. 7. Nikokodina : N-6-demetilkodeina. 8. Norkodeina : N-demetilkodeina. 9. Polkodina : morfoliniletilmorfina. 10. Propiram : N-(1-metil-2-piperidinoetil)-N-2-piridilpropionamoda. 11. Garam-garam dari Narkotika dalam golongan tersebut di atas. 12. Campuran atau sediaan opium dengan bahan lain bukan narkotika. 13. Campuran atau sediaan difenoksin dengan bahan lain bukan narkotika. 14. Campuran atau sediaan difenoksilat dengan bahan lain bukan narkotika.

ke atas

(c)2010 Ditjen PP :: www.djpp.depkumham.go.id || www.djpp.info || Kembali