
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI
PENJELASAN
A T A S
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 35 TAHUN 1999
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1970
TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMANI. UMUM
Ketetapan MPR-Rl No. X/MPR/1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara khususnya BAB IV C Hukum menegaskan perlunya reformasi di bidang hukum untuk mendukung penanggulangan krisis di bidang hukum. Salah satu agenda yang harus dijalankan adalah pemisahan yang tegas antar fungsi-fungsi yudikatif dari eksekutif.
Pemisahan ini dilaksanakan dengan mengalihkan organisasi, administrasi, dan finansial badan-badan peradilan yang semula berada di bawah departemen-departemen menjadi berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
Hal ini karena pembinaan lembaga peradilan yang selama ini dilakukan oleh eksekutif dianggap memberi peluang bagi penguasa melakukan intervensi ke dalam proses peradilan serta berkembangnya kolusi dan praktek-praktek negatif pada proses peradilan. Dalam rangka mencapai kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan perubahan berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan organisasi, administrasi, dan finansial badan-badan peradilan. Peraturan perundang-undangan yang perlu diubah terlebih dahulu adalah Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Perubahan mengenai penataan kembali bidang-bidang organisasi, administrasi, dan keuangan dilaksanakan secara bertahap dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun. Untuk meningkatkan checks and balances terhadap lembaga peradilan antaralain perlu diusahakan agar putusan-putusan pengadilan dapat diketahui secara terbuka dan transparan oleh masyarakat dan dibentuk Dewan Kehormatan Hakim yang berwenang mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi, dan mutasi hakim serta menyusun kode etik
(code of conduct) bagi para hakim.
Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman meliputi:
a. pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari badan-badan peradilan yang semula berada di bawah kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan menjadi berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung;
b. pengalihan kewenangan dari Menteri Pertahanan Keamanan dan Menteri Kehakiman kepada Ketua Mahkamah Agung dalam menentukan badan peradilan yang berwenang memeriksa perkara koneksitas;
c. penambahan ketentuan mengenai:
1) penegasan jangka waktu yang berkaitan dengan pelaksanaan pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dari badan-badan peradilan yang dilakukan secara bertahap dan dalam waktu paling lama 5 (lima) tahun, namun untuk Peradilan Agama tidak ditentukan waktunya;
2) penegasan mengenai peraturan perundang-undangan yang masih tetap berlaku sebagai akibat perubahan Pasal 11 dan Pasal 22.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kekuasaan lingkungan peradilan masing-masing", misalnya:
a. bagi Peradilan Militer antara lain mengenai pembinaan administrasi keprajuritan hakim militer disesuaikan dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan ketentuan yang mengatur mengenai Kekuasaan Pengadilan Militer Pertempuran yang memeriksa dan memutus perkara pidana untuk tingkat pertama dan terakhir;
b. bagi Peradilan Agama adalah dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shadaqah.
Angka 2
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Selama belum dilakukan pengalihan, maka organisasi, administrasi, dan finansial bagi Peradilan Agama masih tetap berada di bawah kekuasaan Departemen Agama.
Ayat (3)
Cukup jelas
Angka 3
Kewenangan Pengadilan Umum untuk mengadili perkara-perkara yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia atau Polisi Republik Indonesia bersama-sama dengan orang sipil pada hakekatnya merupakan suatu kekecualian atau penyimpangan dari ketentuan, bahwa seorang semestinya diadili di sidang pengadilan masing-masing.
Hal tsb merupakan kekecualian, maka kewenangan Pengadilan Umum tsb terbatas pada bentuk-bentuk penyertaan dalam suatu delik, seperti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.
Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk menetapkan Pengadilan Militer sebagai pengadilan yang berwenang mengadili perkara koneksitas tsb.
Penyertaan pada suatu delik militer yang murni oleh orang sipil dan perkara penyertaan, di mana unsur militer melebihi unsur sipil misalnya, dapat dijadikan landasan untuk menetapkan pengadilan lain daripada Pengadilan Umum, ialah Pengadilan Militer untuk mengadili perkara-perkara demikian. Jika dalam hal perkara diadili oleh Pengadilan Militer, maka susunan hakim adalah dari Pengadilan Militer dan Pengadilan Umum. Dalam hal ini kepentingan justiciabel tetap mendapat perhatian sepenuhnya, yaitu dalam susunan hakim yang bersidang. Dalam waktu perang di mana berlaku hukum eksepsional ataupun hukum luar biasa, meskipun tindak pidana itu dilakukan bersama-sama dengan seorang sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia atau Polisi Republik Indonesia tidak ditarik dari pengadilannya.
Angka 4
Cukup jelas