(1) Pengelolaan di luar habitat jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Pemerintah dapat bekerjasama dengan masyarakat untuk melaksanakan kegiatan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
(1) Jenis tumbuhan dan satwa hasil pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19 dapat dilepaskan kembali ke habitatnya dengan syarat:
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelepasan kembali jenis tumbuhan dan satwa ke habitatnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.
BAB V
LEMBAGA KONSERVASI
(1) Dalam rangka menjalankan fungsinya, Lembaga Konservasi dapat memperoleh tumbuhan dan satwa baik yang dilindungi maupun tidak dilindungi melalui:
a. pengambilan atau penangkapan dari alam;
b. hasil sitaan;
c. tukar menukar;
d. pembelian, untuk jenis-jenis yang tidak dilindungi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh tumbuhan dan satwa untuk Lembaga Konservasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pasal 24(1) Dalam rangka pengembangbiakan dan penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa, Lembaga Konservasi dapat melakukan tukar menukar tumbuhan atau satwa yang dilindungi dengan lembaga sejenis di luar negeri.
(2) Tukar menukar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan dengan jenis-jenis yang nilai konservasinya dan jumlahnya seimbang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tukar menukar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
BAB VI
PENGIRIMAN DAN PENGANGKUTAN TUMBUHAN
DAN SATWA YANG DILINDUNGI
Pasal 25(1) Pengiriman dan pengangkutan tumbuhan dan satwa dari jenis yang dilindungi dari dan ke suatu tempat di wilayah Republik Indonesia atau dari dan ke luar wilayah Republik Indonesia dilakukan atas dasar ijin Menteri.
(2) Pengiriman atau pengangkutan tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus:
a. dilengkapi dengan sertifikat kesehatan tumbuhan dan satwa dari instansi yang berwenang;
b. dilakukan sesuai dengan persyaratan teknis yang berlaku.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengiriman atau pengangkutan jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri.
BAB VII
SATWA YANG MEMBAHAYAKAN KEHIDUPAN MANUSIA
Pasal 26(1) Satwa yang karena sebab ke luar dari habitatnya dan membahayakan kehidupan manusia, harus digiring atau ditangkap dalam keadaan hidup untuk dikembalikan ke habitatnya atau apabila tidak memungkinkan untuk dilepaskan kembali ke habitatnya, satwa dimaksud dikirim ke Lembaga Konservasi untuk dipelihara.
(2) Apabila cara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dilaksanakan, maka satwa yang mengancam jiwa manusia secara langsung dapat dibunuh.
(3) Penangkapan atau pembunuhan satwa yang dilindungi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh petugas yang berwenang.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai petugas dan perlakuan terhadap satwa yang membahayakan kehidupan manusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur oleh Menteri.
BAB VIII
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 27(1) Dalam rangka pengawetan tumbuhan dan satwa, dilakukan melalui pengawasan dan pengendalian.
(2) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh aparat penegak hukum yang berwenang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan melalui tindakan:
a. preventif;
b. represif;
(4) Tindakan preventif sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a meliputi:
a. penyuluhan;
b. pelatihan penegakan hukum bagi aparat-aparat penegak hukum.
c. penerbitan buku-buku manual identifikasi tumbuhan dan satwa yang dilindungi dan yang tidak dilindungi.
(5) Tindakan represif sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf b meliputi tindakan penegakan hukum terhadap dugaan adanya tindakan hukum terhadap usaha pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 28Dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, maka segala peraturan pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dicabut atau diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 29Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 27 Januari 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 27 Januari 1999
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
AKBAR TANJUNG
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI
Pasal 1
Angka 1
Cukup jelas
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Kemampuan suatu populasi untuk berkembang bergantung pada keseimbangan antara kemampuan reproduksi dan kondisi-kondisi alam yang mempengaruhinya, Pada kondisi lingkungan yang paling mendukung, keseimbangan populasi akan tercapai pada saat daya dukung habitatnya terpenuhi.
Populasi suatu jenis dapat terbagi-bagi ke dalam kelompok-kelompok yang dapat disebut sebagai sub populasi yang mempunyai keseimbangan tersendiri dengan habitat dan lingkungannya.
Angka 8
Cukup jelas
Pasal 2
Jenis-jenis tumbuhan dan satwa tertentu karena faktor-faktor biologis, ekologis dan geografis dari jenis tersebut maupun faktor-faktor yang disebabkan oleh tindakan manusia telah mengalami keadaan di mana keberlangsungan kehidupannya terancam dan dapat punah dalam waktu dekat apabila tidak ada tindakan pengawetan.
Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa untuk mencegah atau menghindari terjadinya kepunahan dari suatu jenis tumbuhan atau satwa. Kecuali itu, keberadaan jenis-jenis tumbuhan dan satwa harus tetap terjaga kemurnian jenisnya serta tetap terjaga keanekaragaman genetik tanpa merubah sifat-sifat alami jenis tumbuhan dan satwa.
Dengan mengawetkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa, maka populasi jenis tumbuhan dan satwa dapat meningkat dan mencapai tingkat yang secara dinamik mantap. Karena suatu jenis tumbuhan maupun satwa merupakan bagian dari ekosistem, maka kemantapan populasi jenis tersebut dapat menjamin keseimbangan dan kemantapan ekosistem.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam hal Menteri memiliki data dan informasi ilmiah yang cukup bahwa suatu jenis tumbuhan atau satwa telah memenuhi kriteria untuk dilindungi, atau Menteri menerima usulan dari instansi pemerintah lain atau Lembaga Swadaya Masyarakat untuk melindungi suatu jenis tumbuhan atau satwa dengan informasi ilmiah yang cukup, maka Menteri dapat menetapkan jenis tersebut untuk dilindungi. Dalam hal usulan melindungi suatu jenis tumbuhan atau satwa datang dari LIPI, maka Menteri langsung menetapkan jenis yang diusulkan menjadi dilindungi.
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Suatu jenis dikatakan mempunyai populasi yang kecil apabila dicirikan oleh paling tidak salah satu dari hal-hal berikut:
a. berdasarkan observasi, dugaan maupun proyeksi terdapat penurunan secara tajam pada jumlah individu dan luas serta kualitas habitat;
b. setiap sub populasi jumlahnya kecil;
c. mayoritas induvidu dalam satu atau lebih fase sejarah hidupnya pernah terkonsentrasi hanya pada satu sub-populasi saja;
d. dalam waku yang pendek pernah mengalami fluktuasi yang tajam pada jumlah individu;
e. karena sifat biologis dan tingkah laku jenis tersebut seperti migrasi, jenis tersebut rentan terhadap bahaya kepunahan.
Huruf b
Adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam dapat diketahui berdasarkan:
Pasal 9
Ayat (1)
Untuk menetapkan suatu jenis tumbuhan dan satwa sebagai jenis yang dilindungi harus didasarkan pada informasi yang memadai tentang populasi, kondisi-kondisi biologis dan ekologis jenis yang bersangkutan termasuk habitat dan lingkungannya. Informasi yang paling akurat didapatkan melalui kegiatan inventarisasi. Namun demikian inventarisasi sering membutuhkan waktu, biaya dan tenaga yang sangat besar, sehingga sambil menunggu inventarisasi yang lebih rinci, penetapan jenis tumbuhan atau satwa sebagai jenis yang dilindungi dapat didasarkan dari hasil identifikasi yang menggambarkan keadaan populasi jenis tersebut secara garis besar dan dihubungkan kriteria yang telah ditetapkan.
Identifikasi diperlukan untuk mengetahui gambaran secara umum (kualitatif) status populasi suatu jenis tumbuhan dan satwa. Dari identifikasi sudah dapat diketahui bahwa suatu jenis tumbuhan atau satwa dapat digolongkan menjadi jenis yang dilindungi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 10
Ayat (1)
Inventarisasi merupakan kegiatan untuk mengetahui kondisi populasi jenis tumbuhan dan satwa termasuk habitatnya.
Secara rinci informasi tentang kondisi populasi yang penting diperoleh melalui kegiatan inventarisasi di antaranya dalam rangka perumusan kebijaksanaan antara lain berupa;
a. data populasi termasuk sttus biologisnya;
b. peta penyebaran jenis beserta habitatnya dengan skala yang cukup rinci;
c. keadaan habitat.
Ayat (2)
Idealnya jumlah individu dari suatu populasi perlu diketahui, namun hal tersebut kecuali sulit juga memerlukan biaya yang tinggi sehingga dengan inventarisasi dapat dilakukan pendugaan-pendugaan tentang keadaan populasi suatu jenis dengan metode survei serta teknik-teknik lain yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Hasil inventarisasi harus didokumentasikan secara baik dengan menggunakan teknologi pengolahan data yang tersedia.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Dalam rangka perumusan kebijaksanaan pengawetan, jenis tumbuhan dan satwa harus dilakukan pemantauan terhadap dinamika populasi.
Ayat (2)
Pemantauan secara berkala harus dilakukan, terutama terhadap jenis-jenis yang dilindungi dan jenis-jenis yang diperdagangkan dan mengalami tekanan perburuan atau yang mengalami tekanan terhadap habitatnya. Metode pemantauan terhadap populasi tumbuhan dan satwa, seperti survei harus standar dan secara ilmiah dapat diertanggungjawabkan, serta dapat dengan mudah dilaksanakan oleh petugs lapangan. Dalam menentukan metode yang standar, Menteri perlu bekerjasama dan berkonsultasi dengan LIPI atau lembaga-lembaga lain, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat. Hasil pemantauan harus didokumentasikan secara baik dengan menggunakan teknologi pengelolaan data yang tersedia.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Penjarangan dilakukan apabila populasi telah melampaui daya dukung habitat dan dapat dilakukan hanya jika jenis yang bersangkutan tidak dilindungi. Atau apabila jenis yang bersangkutan dilindungi, daya dukung habitatnya tidak dapat ditingkatkan atau tidak ada habitat lain yang dapat menampungnya apabila dilakukan relokasi.
Penjarangan sedapat mungkin dilakukan dengan cara menangkap hidup-hidup, atau melalui kegiatan perburuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai perburuan satwa atau dalam Peraturan Pemerintah mengenai pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.
Huruf e
Penambahan tumbuhan atau satwa asli dimaksudkan untuk menambah atau merehabilitasi populasi dan atau habitat yang rusak. Yang dimaksud dengan jenis asli yaitu jenis yang pernah hidup di daerah yang akan direhabilitasi atau daerah yang akan direhabilitasi merupakan daerah penyebaran jenis dimaksud. Pemasukan jenis-jenis asing harus dihindarkan.
Huruf f
Jenis tumbuhan dan satwa pengganggu terdiri dari golongan;
a. jenis asli;
b. jenis asing (exotic).
Gangguan dari jenis-jenis asli terjadi karena adanya persaingan alami antar jenis di mana salah satu jenis mengungguli dan cenderung memusnahkan habitat ekosistem yang tidak berada pada tingkat keseimbangan.
Pengendalian gangguan dari jenis asli dilakukan dengan pembinaan populasi seperti penjarangan terhadap jenis pengganggu dan pembinaan habitat.
Jenis-jenis asing (exotic) adalah jenis-jenis yang dalam sejarahnya tidak pernah hidup di kawasan geografi yang bersangkutan secara alami. Jenis-jenis asing tersebut berada di suatu daerah tertentu karena dibawa oleh manusia, sehingga jenis-jenis yang demikian harus dimusnahkah.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penyelamatan merupakan pertolongan terhadap populasi jenis tumbuhan atau satwa yang habitatnya telah menjadi sempit dan terisolasi atau rusak karena adanya bencana alam atau karena kegiatan manusia sehingga populasi atau sub populasi jenis yang bersangkutan menjadi terancam bahaya kepunahan lokal apabila tetap berada di habitatnya.
Kepunahan lokal adalah hilanggnya suatu sub populasi dari wilayah habitat tertentu karena habitatnya menjadi sangat sempit, terfragmentasi (terpotong-potong) atau terisolasi dari populasi aslinya, atau habitatnya rusak dan memerlukan waktu lama untuk dipulihkan. Dalam keadaan demikian, sub-populasi tersebut menjadi terancam punah sehingga harus diselamatkan melalui kegiatan relokasi atau translokasi yaitu pemindahan ke wilayah habitat lain yang lebih memadai.
Ayat (2)
Pemindahan ke lokasi lain (translokasi) merupakan kegiatan memindahkan seluruh sub-populasi yang terancam ke dalam habitatnya yang lain yang dapat mendukung sub-populasi. Pemindahan dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan seperti penggiringan, pengangkutan atau cara-cara lain yang aman bagi tumbuhan atau satwa dan bagi manusia.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa dalam rangka pengawetan adalah pengkajian, penelitian dan pengembangan yang harus menunjang terjaganya keanekaragaman genetik, keanekaragaman jenis dan keanekaragaman ekosistem. Sedangkan untuk kepentingan pemanfaatan, pengkajian, penelitian dan pengembangan diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pengkajian, penelitian dan pengembangan pada dasarnya dapat dilakukan oleh ilmuwan baik yang mewakili instansi maupun perorangan sesuai dengan bidang ilmu yang dimilikinya. Namun demikian dalam rangka perumusan kebijaksanaan pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, pengkajian, penelitian dan pengembangan harus tetap menjadi tanggungjawab Pemerintah.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Pemeliharaan jenis-jenis tumbuhan dan satwa bertujuan untuk menyelamatkan dan memelihara sumber daya genetik di luar habitatnya dalam rangka mendukung konservasi jenis tumbuhan dan satwa di dalam habitatnya.
Pemeliharaan individu-individu tumbuhan atau satwa dilakukan karena individu tersebut karena suatu sebab tidak dapat dikembalikan ke habitatnya sehingga lebih baik dipelihara sebagai cadangan atau sumber plasma nuftah dalam rangka pengembangbiakan di luar habitatnya.
Pemeliharaan jenis tumbuhan dan satwa dapat berbentuk;
a. memelihara tumbuhan atau satwa dalam keadaan hidup;
b. menyimpan semen beku;
c. menyimpan biji atau benih di dalam penyimpanan kering dan dingin.
Ayat (2)
Lembaga Konservasi merupakan tempat yang paling ideal untuk memelihara jenis-jenis tumbuhan dan satwa dalam rangka pengawetan sumber daya genetik di luar habitatnya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pengembangbiakan adalah usaha memperbanyak individu secara buatan baik di dalam maupun di luar habitanya melalui cara-cara sebagai berikut:
a. Untuk tumbuhan, memperbanyak individu dilakukan dengan cara menumbuhkan material untuk tumbuh dari tumbuhan seperti biji, stek (potongan), pemencaran dari satu rumpun, kultur jaringan tumbuhan dan spora dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya. Kemurnian jenis akan terjaga apabila tidak terjadi pembiakan silang antar jenis (species maupun sub-species).
b. Untuk satwa, memperbanyak individu dilakukan dengan cara mengawinkan secara alami maupun buatan (inseminasi buatan) apabila cara reproduksinya adalah kawin dan dengan cara lain apabila cara reproduksinya adalah tidak kawin baik di dalam maupun di luar habitatnya. Pengembangbiakan satwa dengan campur tangan manusia harus memperhatikan etika yang berlaku.
Ayat (2)
Dalam rangka pengawetan jenis tumbuhan dan satwa ini, pengembangbiakan harus ditujukan untuk dikembalikan lagi ke habitat alamnya sebagai upaya meningkatakan populasi di alam. Oleh karena itu dalam pengembangbiakan satwa yang cara reproduksinya kawin harus dihindari perkawinan antar kerabat (in breeding) dan perkawinan silang antar jenis atau antar anak jenis agar dihasilkan individu-individu yang secara genetik sehat dari jenis yang murni.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 17
Ayat (1)
Pengkajian, penelitian dan pengembangan jenis tumbuhan dan satwa yang dilakukan di luar habitatnya adalah dalam rangka pengawetan dan merupakan penelitian dan pengembangan yang mendukung konservasi in situ dengan tujuan terjaganya keanekaragaman jenis dan keanekaragaman ekosistem.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Tidak semua satwa yang berada di luar habitat aslinya dapat langsung dikembalikan ke habitat alamnya. Hal ini karena individu satwa tersebut telah lama berada di lingkungan manusia yang membuat adanya ketergantungan terhadap manusia, sehingga apabila langsung dilepaskan ke habitat alamnya akan mengalami kematian, menularkan penyakit kepada populasi asli di habitat alam, atau menurunkan mutu genetik (degenerasi) populasi asli di habitat alam. Oleh sebab itu, untuk mengadaptasikan dan mengkondisikan serta memilih satwa yang akan dilepaskan kembali ke habitat alamnya perlu dilakukan rehabilitasi agar mempunyai keadaan dan tingkah laku seperti populasi asli yang berada di alam.
Rehabilitasi satwa dilakukan agar satwa yang telah lama berada di lingkungan manusia mempunyai ketahanan hidup yang tinggi untuk dilepaskan kembali ke alam serta tidak mengganggu populasi asli yang telah mendiami habitat tersebut melalui penyebaran penyakit dan populasi genetik.
Ayat (2)
Rehabilitasi satwa meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. mengamati kesehatan satwa;
b. melakukan pengobatan dan pemberian vitamin dan makanan tambahan;
c. melatih dan mengadaptasikan dengan lingkungan habita alamnya satwa-satwa yang terpilih untuk dilepaskan ke habitatnya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Ayat (1)
Tumbuhan dan satwa yang secara tidak sah berada di luar habitatnya di bawah penguasaan seseorang harus diselamatkan untuk dikembalikan ke habitatnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan melepaskan kembali ke habitatnya adalah kegiatan mengembalikan ke habitat alamnya satwa hasil pengembangbiakan, penyelamatan, rehabilitasi atau hasil sitaan agar dapat berkembang biak secara alami dengan memperhatikan daerah sebaran asli jenis yang bersangkutan, populasi yang telah mendiami habitat tujuan, daya dukung habitat tujuan dan lingkungannya.
Dalam melepaskan kembali satwa ke habitat alamnya harus diperhatikan daya dukung habitat yaitu kemampuan habitat untuk menjamin lestarinya jenis yang akan dilepaskan. Termasuk dalam komponen daya dukung habitat adalah kecukupan pakan secara alami dan ruang perlindungan. Habitat yang dipilih untuk pelepasan kembali harus merupakan tipe habitat yang menurut sejarahnya diketahui merupakan sebaran asli jenis yang akan dilepaskan. Sebaran asli adalah suatu wilayah di mana suatu jenis diketahui pernah ada.
Dalam melepaskan kembali satwa ke habitat alamnya harus juga diperhatikan populasi penghuni yang telah ada baik dari jenis yang sama maupun dari jenis lain, sehingga dapat dinilai kemungkinan-kemungkinan adanya persaingan, predasi, simbiose dan parasitisme.
Secara fisik sehat berarti secara visual terlihat sehat, kuat dan aktif serta diketahui bebas penyakit.
Sedangkan keragaman genetik yang tinggi berarti bukan merupakan hasil pengembangbiakan di mana terjadi kawin antar kerabat (in breeding) dan sedapat mungkin merupakan keturunan terdekat dengan induk yang berasal dari tangkapan alam. Satwa hasil tangkapan dari alam dapat dipastikan mempunyai keragaman genetik yang tinggi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Surat izin pengangkutan muatan antara lain:
a. Nomor surat dan tanggal surat;
b. Jenis dan jumlah tumbuhan dan atau satwa;
c. Asal-usul satwa;
d. Tempat tujuan;
e. Masa berlaku surat izin;
f. Pelabuhan atau terminal pemberangkatan;
g. Pelabuhan atau terminal tujuan;
h. Ketentuan lain.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Ketentuan teknis pembuatan kandang satwa serta cara-cara pengangkutan mengikuti ketentuan-ketentuan dengan standar internasional.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan membahayakan kehidupan manusia adalah dapat mengancam kehidupan manusia yang hidup secara normal di tempat pemukiman atau lingkungan pemukiman sehingga keberadaan satwa di tempat itu sangat membahayakan dan dapat mengancam jiwa manusia warga masyarakat dalam pemukiman tersebut. Satwa yang membahayakan kehidupan manusia tersebut dapat terjadi karena habitatnya berdampingan dengan pemukiman manusia atau habitat satwa tersebut telah menjadi sempit dan atau karena terisolasi oleh kegiatan manusia sehingga dalam penjelajahan sehari-hari ke luar dari habitatnya sudah tua atau kalah bersaing dan terusir dari kelompoknya sehingga ke luar dari habitatnya menuju pemukiman manusia.
Satwa yang berpenyakit dan karena penyakit tersebut membahayakan satwa tersebut dapat dimusnahkan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan mengancam secara langsung apabila satwa tersebut karena langsung diduga akan mencederai atau membunuh manusia atau menularkan penyakit yang manusia dan tidak ada cara lain yang lebih efektif untuk menghindarinya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan aparat penegak hukum yang berwenang adalah polisi Republik Indonenesia, jagawna, Petugas Bea Cukai, Petugas Karantina dn Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Cukup jelas