a. situasi penyakit di negara asal bebas dari PHMU sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13;
b. karkas, daging, dan/atau jeroan ruminansia dan babi berasal dari ternak yang lahir dan dipelihara di negara atau zona asal sekurang-kurangnya selama 4 (empat) bulan dan karkas unggas berasal dari ternak yang lahir dan dipelihara di negara asal sekurang-kurangnya selama 1 (satu) bulan;
c. karkas, daging, dan/atau jeroan berasal dari ternak yang dipotong di unit usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan telah lulus pemeriksaan ante-mortem dan post-mortem, serta diperoses menurut persyaratan higine-sanitasi sehingga aman dan layak untuk dikonsumsi manusia;
d. masa penyimpanan karkas, daging, dan/atau jeroan sejak waktu pemotongan ternak hingga batas waktu tiba di wilayah negara Republik Indonesia tidak lebih dari 6 (enam) bulan pada temperatur minus 180C sampai dengan minus 220C untuk jenis beku (frozen) dan temperatur 00C sampai dengan 40C untuk jenis segar dingin (chilled), sedangkan masa penyimpanan MDM tidak lebih dari 3 (tiga) bulan pada temperatur minus 180C sejak waktu pemotongan ternak hingga batas waktu tiba di wilayah negara Republik Indonesia.
(1) MDM sebagaimana dmaksud dalam Pasal 20 huruf d dapat dimasukkan hanya untuk industri pengolahan pangan asal hewan.
(2) MDM sebagaimana dmaksud pada ayat (1) memiliki kandungan protein tidak kurang dari 12%, Ca tidak lebih dari 0,75%, lemak tidak lebih dari 30%, dan logam berat di bawah Batas Maksimal Residu (BMR) yang ditetapkan dalam SNI.
Bagian Keempat
Persyaratan Kemasan, Label, dan Pengangkutan
(1) Karkas, daging, dan/atau jeroan yang akan dimasukkan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia sebelum dimuat ke dalam alat angkut harus dilakukan tindakan karantina hewan di negara asal.
(2) Pengangkutan karkas, daging, dan/atau jeroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara langsung dari negara asal ke tempat pemasukan di wilayah negara Republik Indonesia.
(3) Pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan dengan cara transit atau melalui negara lain dapat dilakukan setelah memenuhi pertimbangan teknis dan disetujui oleh Direktur Jenderal Peternakan.
(4) Setibanya di tempat pemasukan di wilayah negara Republik Indonesia karkas, daging, dan/atau jeroan dikenakan tindakan karantina hewan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 24(1) Karkas, daging, dan/atau jeroan yang diangkut dengan kontainer, disegel oleh Dokter Hewan yang berwenang di negara asal dan hanya boleh dibuka oleh Petugas Karantina Hewan di tempat pemasukan.
(2) Karkas, daging, dan/atau jeroan yang mempunyai Sertifikat Halal harus terpisah dari wadah atau kontainer karkas, daging, dan/atau jeroan yang tidak mempunyai Sertifikat Halal.
Pasal 25Pemasukan daging dari luar negeri untuk keperluan pakan hewan harus:
a. diberi zat pewarna;
b. diberi tanda yang berbunyi tidak layak dikonsumsi manusia pada kemasannya;
c. diangkut dalam wadah yang terpisah dengan daging untuk konsumsi manusia.
BAB IV
TATA CARA PEMASUKAN KARKAS, DAGING, DAN/ATAU JEROAN
Pasal 26(1) Setiap orang atau badan hukum yang akan memasukkan karkas, daging, dan/atau jeroan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia wajib menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Peternakan melalui Kepala Pusat Perizinan dan Investasi dengan tembusan kepada Kepala Badan Karantina Pertanian.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai persyaratan sebagimana dimaksud dalam Pasal 7 dan mencantumkan:
a. nama Perusahaan;
b. alamat Perusahaan;
c. NKV unit usaha pemohon;
d. Instalasi karantina untuk tempat pemeriksaan di pelabuhan/bandara/daerah tujuan/pemasukan;
e. negara asal;
f. nomor unit usaha
(establishment number) di negara asal;
g. tujuan daerah pemasukan;
h. pelabuhan pemasukan;
i. jenis, kuantitas dan peruntukkan;
j. melampirkan data perusahaan dan data teknis yang dipersyaratkan.
(1) Kepala Pusat Perizinan dan Investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari kerja harus sudah selesai memeriksa kelengkapan dokumen persyaratan dan segera memberikan jawaban ditunda, ditolak, atau diterima.
Pasal 27(1) Permohonan ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) apabila masih ada kekurangan kelengkapan dokumen persyaratan akan diberitahukan kepada pemohon secara tertulis.
(2) Pemohon dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja terhitung sejak menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah melengkapi kekurangan persyaratan.
(3) Apabila dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemohon belum melengkapi kekurangan persyaratan, permohonan dianggap ditarik kembali.
Pasal 28(1) Permohonan ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) apabila persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) tidak benar.
(2) Penolakan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada pemohon secara tertulis dengan disertai alasan penolakannya.
Pasal 29(1) Permohonan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) oleh Kepala Pusat Perizinan dan Investasi disampaikan kepada Direktur Jenderal Peternakan untuk dimohonkan Persetujuan Pemasukan.
(2) Direktur Jenderal Peternakan setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) segera memintakan pertimbangan teknis kepada Tim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 terhadap dipenuhinya persyaratan kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner di negara asal.
(3) Pertimbangan teknis dari Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 15 dengan disesuaikan menurut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan situasi penyakit berdasarkan informasi dari OIE/WOAH pada saat dilaksanakannya penilaian.
(4) Pertimbangan teknis dari Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja harus sudah disampaikan kepada Direktur Jenderal Peternakan.
Pasal 30(1) Tim dalam memberikan pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 wajib mempertimbangkan rekomendasi teknis dari Kepala Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan provinsi.
(2) Rekomendasi teknis dari Kepala Dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan untuk keperluan sosial, diplomatik, penelitian atau keperluan sendiri yang tidak melebihi 10 (sepuluh) kilogram dengan ketentuan tetap memperhatikan persyaratan negara asal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 15 yang disertai dengan sertifikat kesehatan/sanitasi (health/sanitary certificate) dari negara asal.
(3) Rekomendasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi dipenuhinya persyaratan sebagai pelaku pemasukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan berdasarkan hasil kajian Dinas provinsi yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan dalam hal ketersediaan dan permintaan karkas, daging, dan/atau jeroan di tingkat provinsi.
Pasal 31(1) Direktur Jenderal Peternakan berdasarkan pertimbangan teknis dari Tim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 paling lambat dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja harus telah memberikan jawaban penolakan atau persetujuan.
(2) Penolakan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh Direktur Jenderal Peternakan diberikan secara tertulis dengan disertai alasan yang disampaikan kepada pemohon melalui Kepala Pusat Perizinan dan Investasi.
(3) Permohonan yang disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan diterbitkan Persetujuan Pemasukan dalam bentuk Keputusan Menteri Pertanian yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Peternakan atas nama Menteri dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Badan Karantina Pertanian, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan, Kepala Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan provinsi, dan Kepala Balai Besar/Balai/Stasiun Karantina Hewan tempat pemasukan.
(4) Persetujuan Pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada pemohon melalui Kepala Pusat Perizinan dan Investasi.
Pasal 32(1) Perorangan atau badan hukum yang telah memperoleh Persetujuan Pemasukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (4) dapat memasukkan karkas, daging, dan/atau jeroan ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.
(2) Persetujuan Pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari kalender.
(3) Apabila terjadi wabah penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11 Pasal 12, dan Pasal 13 di negara asal, Persetujuan Pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan tidak berlaku.
(4) Perorangan atau badan hukum yang melakukan pemasukan karkas, daging, dan/atu jeroan wajib memberikan laporan realisasi pemasukan kepada Direktur Jenderal Peternakan dengan tembusan disampaikan Kepala Badan Karantina Pertanian dan Kepala Pusat Perizinan dan Investasi paling lambat 7 (tujuh) hari kalender setelah habis masa berlaku Persetujuan Pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
BAB V
TINDAKAN KARANTINA HEWAN
Pasal 33(1) Setiap rencana pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan harus dilaporkan oleh pemilik atau kuasanya kepada petugas karantina hewan di tempat pemasukan yang telah ditetapkan dalam Persetujuan Pemasukan dengan cara mengisi formulir permohonan pemeriksaan karantina hewan dan melampirkan Persetujuan Pemasukan dimaksud.
(2) Laporan pemasukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat dalam jangka waktu 1 (satu) hari kerja sebelum alat angkut tiba di tempat pemasukan.
(3) Pada saat alat angkut tiba di tempat pemasukan, pemilik atau kuasanya wajib menyerahkan karkas, daging, dan/atau jeroan beserta dokumen yang dipersyaratkan kepada petugas karantina hewan untuk dilakukan tindakan karantina hewan.
(4) Dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
a. Persetujuan Pemasukan;
b. sertifikat sanitasi;
c. sertifikat halal bagi yang dipersyaratkan;
d. surat penetapan instalasi karantina hewan;
e. izin transit dan sertifikat kesehatan dari negara transit apabila ada; dan
f. surat keterangan tentang catatan suhu selama perjalanan, surat muatan kapal laut/kapal udara (bill of loading/airway bill) dan cargo manifest dari nahkoda/pilot.
Pasal 34(1) Tindakan karantina hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) dapat berupa pemeriksaan, perlakuan, penahanan, penolakan, pemusnahan, dan/atau pembebasan.
(2) Perlakuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk membebaskan hama penyakit hewan karantina Golongan II.
Pasal 35(1) Tindakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) meliputi pemeriksaan dokumen persyaratan dan pemeriksaan kesehatan/sanitasinya oleh dokter hewan karantina di atas alat angkut sebelum diturunkan atau sebelum melewati tempat pemasukan.
(2) Tindakan pemeriksaan dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kelengkapan, keabsahan dokumen, dan kesesuaian/kecocokan antara dokumen dengan kemasan, label, jumlah, dan jenis.
(3) Tindakan pemeriksaan kesehatan/sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pemeriksaan kemurnian atau keutuhan secara organoleptik dan/atau pemeriksaan laboratorium sesuai dengan teknik dan metode pemeriksaan.
(4) Apabila pemeriksaan kemurnian atau keutuhan secara organoleptik dan/atau pemeriksaan laboratorium sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dilakukan di atas alat angkut atau tempat pemasukan, maka dilakukan pemeriksaan lanjutan di instalasi karantina hewan yang telah ditetapkan.
Pasal 36(1) Tindakan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4) berupa pemeriksaan kemurnian atau keutuhan secara organoleptik dan/atau pemeriksaan laboratorium sesuai dengan teknik dan metode pemeriksaan.
(2) Pengangkutan karkas, daging, dan/atau jeroan dari tempat pemasukan ke instalasi karantina hewan harus dalam pengawasan petugas karantina hewan.
(3) Setibanya di instalasi karantina hewan, dilakukan:
a. pembukaan segel;
b. pemeriksaan keutuhan kemasan;
c. pemeriksaan kesesuaian jenis dan jumlah;
d. pemeriksaan organoleptik secara acak (random sampling); dan
e. pengambilan sampel untuk pemeriksaan laboratorium, bila diperlukan.
Pasal 37(1) Apabila pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan tidak dilengkapi dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dilakukan tindakan penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1).
(2) Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila:
a. karkas, daging, dan/atau jeroan bukan berasal dari negara yang pemasukannya dilarang;
b. pada pemeriksaan di atas alat angkut tidak diketemukan adanya gejala HPHK Golongan I dan risiko penularan HPHK Golongan II;
c. pemilik atau kuasanya menjamin dapat menunjukan sertifikat kesehatan/sanitasi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja, dan dokumen lain yang dipersyaratkan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja.
(3) Setelah pemilik atau kuasanya dapat memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), maka dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan sebagimana dimaksud dalam Pasal 35 (4).
Pasal 38(1) Penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 (1), dilakukan apabila:
a. setelah dilakukan pemeriksaan di atas alat angkut atau tempat pemasukan tertular HPHK, berasal dari negara yang dilarang pemasukannya, busuk, atau rusak atau tidak layak dikonsumsi;
b. keseluruhan dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf c tidak terpenuhi.
(2) Setelah dilakukan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka karkas, daging, dan/atau jerohan segera di bawa ke luar dari wilayah negara Republik Indonesia dalam batas waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja yang dituangkan dalam berita acara penolakan.
(3) Dalam hal pemilik atau kuasanya tidak dapat menyediakan alat angkut dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang paling lama 7 (tujuh) hari kerja dengan tetap mempertimbangkan tingkat risiko masuk dan menyebarnya hama penyakit hewan karantina.
(4) Dalam hal dilakukan tindakan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemilik atau kuasanya tidak berhak menuntut ganti rugi apapun serta wajib menanggung segala biaya penolakan.
Pasal 39(1) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), dilakukan apabila:
a. setelah karkas, daging, dan/atau jeroan diturunkan dari alat angkut dan dilakukan pemeriksaan, tertular hama penyakit hewan karantina golongan I, busuk, rusak, tidak layak dikonsumsi atau berasal dari negara yang dilarang pemasukannya;
b. karkas, daging, dan/atau jeroan yang ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) tidak segera dibawa ke luar dari wilayah negara Republik Indonesia oleh pemilik atau kuasanya; atau
c. setelah karkas, daging, dan/atau jeroan diturunkan dari alat angkut dan diberi perlakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) tidak dapat disucihamakan dari hama penyakit hewan karantina Golongan II.
(2) Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam tindakan pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
a. menghadirkan saksi dari instansi terkait di tempat pemasukan;
b. mengundang pemilik atau kuasa pemilik kaskas, daging, dan/atau jeroan yang akan dimusnahkan;
c. mempersiapkan Berita Acara Pemusnahan;
d. mempersiapkan tempat dan peralatan pemusnahan dengan tatacara dan metode pemusnahan yang telah ditetapkan;
e. pemusnahan dilakukan di bawah pengawasan dokter hewan karantina dan disaksikan oleh pemilik atau kuasanya, petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia, petugas Bea dan Cukai, kejaksaan dan instansi lain yang terkait;
f. Berita Acara Pemusnahan sekurang-kurangnya rangkap 3 (tiga), lembar kesatu untuk pemilik, lembar kedua untuk pejabat yang turut berkepentingan dalam pelaksanaan tindakan pemusnahan, dan lembar ketiga untuk dokter hewan karantina yang bersangkutan.
(3) Dalam hal dilakukan tindakan pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemilik atau kuasanya tidak berhak menuntut ganti rugi apapun serta wajib menanggung segala biaya pemusnahan.
Pasal 40(1) Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dilakukan apabila:
a. setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dan Pasal 36 tidak tertular HPHK, bebas cemaran biologis, kimia, fisik, tidak rusak, tidak busuk, layak dikonsumsi, dan halal dikonsumsi bagi yang dipersyaratkan; atau
b. setelah dilakukan penahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, seluruh persyaratan yang diwajibkan telah dapat dipenuhi dan tidak tertular HPHK, bebas cemaran biologis, kimia, fisik, tidak rusak, tidak busuk, layak dikonsumsi, dan halal dikonsumsi bagi yang dipersyaratkan.
(2) Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah pemilik atau kuasanya menyelesaikan kewajiban menyetor jasa karantina sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB VI
PENGAWASAN PEREDARAN
Pasal 41(1) Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan provinsi dan kabupaten/kota harus meregistrasi pelaku usaha di bidang pemasukan (importir), pengedaran (distributor), penjajaan/pengecer karkas, daging, dan/atau jeroan di satuan administrasi pangkal masing-masing.
(2) Pengawasan terhadap peredaran karkas, daging, dan/atau jeroan asal luar negeri yang telah dibebaskan dari tindakan karantina dilakukan oleh petugas Pengawas Kesehatan Masyarakat Veteriner yang ditunjuk oleh Kepala Dinas yang membidangi fungsí peternakan dan kesehatan hewan provinsi dan kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan secara berkala paling kurang 6 (enam) bulan sekali atau sewaktu-waktu apabila diketahui adanya penyimpangan terhadap dipenuhinya persyaratan teknis kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner.
(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pemeriksaan fisik karkas, daging, dan/atau jeroan, tempat penyimpanan, tempat penjajaan, alat angkut, serta kelengkapan dokumen.
(5) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilanjutkan dengan pemeriksaan laboratorium sebagai pemenuhan keamanan, kesehatan, keutuhan, dan kehalalan karkas, daging, dan/atau jeroan yang beredar.
(6) Pemeriksaan terhadap tempat penyimpanan, tempat penjajaan dan alat angkut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi pemeriksaan fisik, higiene-sanitasi, dan persyaratan teknis kesehatan masyarakat veteriner.
(7) Pemeriksaan tempat penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
a. suhu untuk daging segar dingin (chilled) harus berkisar antara 0 sampai dengan 4OC, dan untuk daging beku antara minus 18OC sampai dengan minus 22 OC;
b. masa penyimpanan daging beku (frozen) dalam peredaran tidak lebih dari 8 (delapan) bulan dengan suhu internal paling kurang minus 18OC;
c. masa penyimpanan jeroan beku (frozen) dalam peredaran tidak lebih dari 6 (enam) bulan dengan suhu internal paling kurang minus 18OC;
d. penyimpanan, penjajaan, dan pengangkutan karkas, daging, dan jeroan asal luar negeri yang bersertifikat halal harus terpisah dengan yang tidak bersertifikat halal.
(8) Kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Untuk pelaku usaha di bidang pemasukan (importir) karkas, daging, dan/atau jeroan paling kurang memiliki Surat Persetujuan Pemasukan (SPP) dari Direktorat Jenderal Peternakan, surat pelepasan dari karantina hewan, Health/Sanitary Certificate dari negara asal, Halal Certificate dari Badan Islam (Islamic Body) di negara asal yang telah disetujui oleh MUI, dan Invoice pembelian dari pelaku usaha di negara asal b. Untuk pelaku usaha di bidang peredaran (distributor) karkas, daging, dan/atau jeroan paling kurang memiliki fotokopi SPP dari Direktorat Jenderal Peternakan, fotokopi surat pelepasan dari karantina hewan, fotokopi Health/Sanitary Certificate dari negara asal, fotokopi Halal Certificate dari Badan Islam (Islamic Body) di negara asal yang telah disetujui oleh MUI, serta bukti pembelian dari pelaku pemasukan (importir) karkas, daging, dan/atau jeroan.
c. Untuk pelaku usaha di bidang pengecer karkas, daging, dan/atau jeroan paling kurang memiliki fotokopi SPP dari Direktorat Jenderal Peternakan, fotokopi surat pelepasan dari karantina hewan, fotokopi Health/Sanitary Certificate dari negara asal, fotokopi Halal Certificate dari Badan Islam (Islamic Body) di negara asal yang telah disetujui oleh MUI, serta bukti pembelian dari pelaku pengedaran (distributor) karkas, daging, dan/atau jeroan.
Pasal 42(1) Petugas pengawas kesehatan masyarakat veteriner yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) melakukan pengawasan peredaran karkas, daging, dan/atau jeroan, melaporkan hasil pengawasannya secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) kepada Kepala Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan provinsi dan kabupaten/kota.
(2) Kepala Dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaporkan hasil pengawasan peredaran karkas, daging, dan/atau jeroan asal luar negeri di wilayahnya kepada Direktur Jenderal Peternakan.
Pasal 43(1) Setiap orang atau badan hukum yang melakukan kegiatan penyimpanan, pengangkutan, peredaran dan/atau penjajaan karkas, daging, dan/atau jeroan asal luar negeri baik importir, distributor, maupun pengecer wajib menjaga tempat usahanya agar tetap dipenuhinya persyaratan higiene-sanitasi dan ketenteraman bathin masyarakat.
(2) Setiap orang atau badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus telah melaporkan fasilitas tempat penyimpanan, dan/atau tempat penjajaan dan/atau alat angkut yang dipergunakan kepada Kepala Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di kabupaten/kota setempat.
(3) Setiap orang atau badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang akan melakukan peredaran antar daerah/wilayah harus telah mendapatkan rekomendasi dari Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di daerah penerima.
Pasal 44Karkas, daging, dan jeroan yang diedarkan di dalam daerah/wilayah dan/atau antar daerah/wilayah paling kurang harus disertai dengan kelengkapan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (8)
Pasal 45Dalam rangka meningkatkan peran serta masyarakat dan perlindungan konsumen dari karkas, daging, dan/atau jeroan yang tidak memenuhi persyaratan higiene-sanitasi dan ketenteraman bathin masyarakat, maka pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dapat melibatkan partisipasi lembaga Majelis Ulama Indonesia (MUI), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Asosiasi, dan lembaga masyarakat terkait lainnya dengan memperhatikan ketentuan dalam Peraturan ini.
Pasal 46Apabila di dalam wilayah kabupaten/kota tidak ada atau belum dibentuk dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan, maka pelaksanaan pengawasan peredaran karkas, daging, dan/atau jeroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dan Pasal 42 ayat (2) dilakukan oleh dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan provinsi.
BAB VII
KETENTUAN SANKSI
Pasal 47(1) Apabila dari hasil pengawasan yang dilakukan oleh petugas pengawas kesehatan masyarakat veteriner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 terbukti ada pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan ini, Direktur Jenderal Peternakan, Gubernur, Bupati/Walikota berwenang mengambil tindakan administratif.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. larangan melakukan pemasukan dan/atau mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah menarik karkas, daging, dan jeroan dari peredaran;
c. penghentian peredaran untuk sementara waktu;
d. pemusnahan karkas, daging, dan jeroan apabila terbukti tidak sesuai dengan persyaratan administrasi dan persyaratan teknis veteriner yang ditetapkan;
e. rekomendasi pencabutan izin usaha sebagai importir;
f. pencabutan Keputusan persetujuan pemasukan dari Direktur Jenderal Peternakan atas nama Menteri; atau
g. pencabutan NKV.
(1) Pengenaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan tingkat risiko yang diakibatkan oleh pelanggaran yang dilakukan.
(2) Pelaksanaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, b, c dan f dilakukan oleh Direktur Jenderal Peternakan.
(3) Pelaksanaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan e, dilakukan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya.
(4) Pelaksanaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g dilakukan oleh Gubernur.
Pasal 48Selain dikenakan tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2), perorangan atau badan hukum yang melanggar ketentuan dalam Peraturan ini dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karatina Hewan, Ikan dan Tumbuhan; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan; dan/atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 49Dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan di bidang Pengawasan Obat dan Makanan, ketentuan ini berlaku juga untuk daging olahan yang mempunyai risiko terhadap penyebaran penyakit hewan menular (zoonosis), lingkungan dan sumber daya hayati lainnya.
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 50Persetujuan Pemasukan karkas, daging, dan/atau jeroan yang sudah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan ini dinyatakan masih tetap berlaku sampai habis masa berlakunya selanjutnya menyesuaikan dengan Peraturan ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 51Dengan ditetapkannya Peraturan ini, maka:
1. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 64/Permentan/OT.140/12/2006 tentang Pemasukan dan Pengawasan Peredaran Karkas, Daging, dan Jeroan Dari Luar Negeri, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 27/Permentan/OT.140/3/2007 tentang Perubahan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 64/Permentan/OT.140/12/2006 dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61/Permentan/OT.140/8/2007 tentang Perubahan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 64/Permentan/OT.140/12/2006 juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 27/Permentan/OT.140/3/2007, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
2. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 482/Kpts/PD.620/8/2006 tentang Pemasukan Ternak Ruminansia dan Produknya Dari Negara Atau Bagian Dari Negara (Zona) Terjangkit Penyakit Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia dinyatakan tidak berlaku sepanjang mengenai pengaturan karkas, daging, dan/atau jeroan.
Pasal 52Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan Penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 April 2009
MENTERI PERTANIAN,
ANTON APRIYANTONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Mei 2009
MENTERI HUKUM DAN HAM
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA