Teks tidak dalam format asli.
Kembali

file PDF: [1]


BERITA NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

No.46, 2014
KEMENPERIN. Produk Dalam Negeri. Barang /Jasa. Pemerintah. APBD. Pedoman.


PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 03/M-IND/PER/1/2014
TENTANG
PEDOMAN PENINGKATAN PENGGUNAAN PRODUK DALAM NEGERI
DALAM PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH YANG TIDAK DIBIAYAI DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA/ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kapasitas serta peran optimal produsen barang dan perusahaan jasa dalam negeri dalam menunjang kepentingan nasional, perlu mendorong peningkatan penggunaan produksi dalam negeri;
b.  bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan diktum Kedua Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2009 tentang Penggunaan Produk Dalam Negeri Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, perlu menyusun pedoman peningkatan penggunaan produksi dalam negeri;
c.  bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perindustrian tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang Tidak Dibiayai Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
Mengingat  :  1.  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274);
2.  Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3833);
3.  Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4152);
4.  Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4297);
5.  Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 4959);
6.  Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2011;
7.  Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011;
8.  Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011;
9.  Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012;
10.Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II Periode Tahun 2009 - 2014 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 59/P Tahun 2011;
11.Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 105/M-IND/PER/10/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perindustrian;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan  :  PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN TENTANG PEDOMAN PENINGKATAN PENGGUNAAN PRODUK DALAM NEGERI DALAM PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH YANG TIDAK DIBIAYAI DARI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA/ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Definisi
(1)  Lingkup pengaturan dalam Pedoman Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Yang Tidak Dibiayai Dari APBN/APBD meliputi:
a.  Produk Dalam Negeri;
b.  Pemanfataan Jasa Perusahaan Jasa Dalam Negeri;
c.  Tingkat Komponen Dalam Negeri dan Bobot Manfaat Perusahaan;
d.  Daftar Inventarisasi Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri;
e.  Verifikasi TKDN;
f.  Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan; dan
g.  Sanksi.
(2)  Penggunaan produk dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa pemerintah yang tidak dibiayai dari APBN/APBD berlaku bagi pengadaan barang/jasa yang mempengaruhi keuangan negara, yang meliputi:
a.  Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah;
b.  Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Otoritas Jasa Keuangan;
c.  Badan Layanan Umum (BLU);
d.  Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum;
e.  Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS);
f.  Badan usaha pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Kontrak Karya/Perjanjian Kerja Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B); dan
g.  Pola kerjasama Pemerintah dan swasta;

BAB II
PRODUK DALAM NEGERI
Bagian Kesatu
Penggunaan Produk Dalam Negeri
Pasal 3
(1)  Penggunaan Produk Dalam Negeri Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang tidak dibiayai dari APBN/APBD merupakan upaya untuk menggerakan pertumbuhan dan memberdayakan industri yang ada di Indonesia, termasuk upaya pemberian penghargaan bagi produsen dalam negeri.
(2)  Penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk kewajiban penggunaan produk dalam negeri dan/atau pemberian preferensi harga pada proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang tidak dibiayai dari APBN/APBD.
(3)  Kewajiban penggunaan produk dalam negeri dan/atau pemberian preferensi harga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sejak perencanaan pengadaan oleh Pengguna, dalam pelaksanaan pengadaan oleh panitia pengadaan, dan pengawasan oleh institusi pengawas internal dan eksternal.

Bagian Kedua
Pengadaan Produk Dalam Negeri
Pasal 4
(1)  Pencantuman persyaratan penggunaan produk dalam negeri pada tahap perencanaan pengadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) meliputi:
a.  penyusunan rencana umum pengadaan;
b.  penyusunan spesifikasi teknis atau kerangka acuan; dan
c.  penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS).
(2)  Penyusunan spesifikasi teknis atau kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, wajib mengacu pada kemampuan industri dalam negeri.
(3)  Penyusunan HPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, wajib mengacu pada kewajaran harga produk dalam negeri.
(4)  Dalam penyusunan dokumen pengadaan, panitia pengadaan wajib mencantumkan persyaratan produk dalam negeri yang wajib digunakan.
(5)  Pelaksanaan evaluasi teknis oleh panitia pengadaan wajib memperhitungkan kemampuan industri dalam negeri.
(6)  Pengawasan penggunaan produk dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan konsistensi dan komitmen TKDN dari penyedia barang/jasa pada saat mengikuti lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(1)  Pengadaan barang pemerintah yang tidak dibiayai dari APBN/APBD dilarang impor apabila:
a.  barang tersebut telah diproduksi di dalam negeri;
b.  barang produksi dalam negeri telah memenuhi persyaratan teknis sesuai kebutuhan; dan
c.  jumlah/volume barang produksi dalam negeri telah memenuhi kebutuhan.
(2)  Dalam hal ketentuan pada ayat (1) huruf b dan huruf c tidak mencukupi, maka hanya kekurangannya saja yang dapat diimpor.

Pasal 7
(1)  Pengadaan barang diwajibkan dilakukan melalui pelelangan terbatas dan hanya boleh diikuti oleh produsen dalam negeri yang memproduksi barang sesuai persyaratan teknis dan spesifikasi sesuai kebutuhan atau distributor yang ditunjuk oleh produsen dalam negeri dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a atau agen tunggal pemegang merek produk dalam negeri tanpa perlakuan preferensi harga.
(2)  Pengadaan barang dimaksimalkan dilaksanakan melalui pelelangan terbatas dengan memberi kesempatan pertama kepada produsen dalam negeri yang memproduksi barang sesuai persyaratan teknis dan spesifikasi sesuai kebutuhan atau distributor yang ditunjuk oleh produsen dalam negeri dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b atau agen tunggal pemegang merek produk dalam negeri.
(3)  Pengadaan barang diberdayakan dilaksanakan melalui pelelangan umum sesuai persyaratan teknis dan spesifikasi yang sesuai kebutuhan atau distributor yang ditunjuk oleh produsen dalam negeri dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c atau agen tunggal pemegang merek dengan mengikutsertakan produk luar negeri.
(4)  Dalam hal pengadaan barang dilakukan dengan cara gabungan, maka pengadaan barang dapat diikuti oleh produsen dalam negeri, atau distributor yang ditunjuk oleh produsen dalam negeri dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 atau agen tunggal pemegang merek produk atau supplier yang telah mendapatkan surat dukungan dari produsen dalam negeri.

Pasal 8
(1)  Barang diwajibkan, barang dimaksimalkan, dan barang diberdayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dilarang untuk dimasukan dalam satu paket pengadaan.
(2)  Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) jenis barang memiliki kategori kelompok barang yang sama, pengadaan barang dapat dilakukan dalam 1 (satu) paket.
(3)  Dikecualikan dari ketentuan pada ayat (1), dan ayat (2), apabila proses pengadaan dilakukan secara itemize.
(4)  Pengadaan barang dilakukan dengan menggunakan sistem electronic procurement dan mengutamakan sistem electronic purchasing sesuai dengan katalog elektronik yang diterbitkan dan dikembangkan oleh Lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengadaan barang/jasa.

BAB III
PEMANFAATAN JASA PERUSAHAAN JASA DALAM NEGERI
Bagian Kesatu
Perusahaan Jasa Dalam Negeri
(1)  Perusahaan Jasa Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dapat membentuk konsorsium/kerja sama operasi dengan Perusahaan Jasa Dalam Negeri lainnya atau dengan Perusahaan Jasa Nasional apabila kemampuan salah satu Perusahaan Jasa Dalam Negeri tidak mencukupi.
(2)  Perusahaan Jasa Dalam Negeri atau konsorsium Perusahaan Jasa Dalam Negeri dengan Perusahaan Jasa Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan perusahaan jasa asing dalam bentuk konsorsium/kerja sama operasi atau mengadakan subkontrak sebagian pekerjaan kepada perusahaan jasa asing.

Pasal 11
(1)  Perusahaan Jasa Dalam Negeri harus menjadi pimpinan konsorsium (lead firm) dalam konsorsium/kerja sama operasi untuk jasa konstruksi on-shore.
(2)  Perusahaan Jasa Dalam Negeri atau konsorsium Perusahaan Jasa Dalam Negeri wajib mengerjakan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) pelaksanaan pekerjaan berdasarkan nilai kontrak dalam hal melakukan konsorsium dengan Perusahaan Jasa Nasional dan/atau dengan perusahaan jasa asing.
(3)  Dalam pekerjaan jasa konstruksi off-shore, Perusahaan Jasa Dalam Negeri wajib melakukan pekerjaan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dari batas minimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ukuran nilai kontrak.
(4)  Pelaksanaan fisik pekerjaan jasa konstruksi harus dikerjakan di wilayah negara Republik Indonesia paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) sesuai dengan ukuran nilai jasa pengerjaan.

(1)  Apabila peserta pengadaan jasa golongan usaha besar yang mendaftar sebagai Perusahaan Jasa Dalam Negeri tidak bersedia memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12, status sebagai Perusahaan Jasa Dalam Negeri tidak diakui.
(2)  Peserta pengadaan jasa golongan usaha besar yang tidak bersedia memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diikutsertakan pada proses pengadaan selanjutnya.

Bagian Kedua
Perusahaan Jasa Nasional
Pasal 14
(1)  Dalam hal tidak terdapat Perusahaan Jasa Dalam Negeri yang ikut serta dalam pengadaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), pengadaan jasa dilakukan dengan hanya mengikutsertakan Perusahaan Jasa Nasional.
(2)  Perusahaan Jasa Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan usaha yang menghasilkan jasa yang didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta bekerja dan berkedudukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan kepemilikan saham lebih dari 50% (lima puluh perseratus) sampai dengan 90% (sembilan puluh perseratus) dimiliki oleh perusahaan asing atau warga negara asing.
(3)  Perusahaan Jasa Nasional dapat bekerjasama dengan Perusahaan Jasa Asing dalam bentuk konsorsium atau mengadakan subkontrak sebagian pekerjaan kepada Perusahaan Jasa Asing, dengan ketentuan:
a.  dalam hal dilakukan konsorsium dengan Perusahaan Jasa Asing, Perusahaan Jasa Nasional wajib melaksanakan pekerjaan dengan nilai paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) sesuai dengan ukuran nilai kontrak;
b.  untuk pekerjaan jasa konstruksi offshore, pelaksanaan pekerjaan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) dari batas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, sesuai dengan ukuran nilai kontrak; dan/atau
c.  pelaksanaan fisik pekerjaan jasa konstruksi paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) harus dikerjakan di wilayah negara Republik Indonesia sesuai dengan ukuran nilai jasa pengerjaan.

Bagian Ketiga
Perusahaan Jasa Asing
(1)  TKDN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c meliputi:
a.  TKDN pada barang;
b.  TKDN pada gabungan barang;
c.  TKDN pada jasa;
d.  TKDN pada gabungan jasa; dan
e.  TKDN pada gabungan barang dan jasa.
(2)  Capaian TKDN gabungan barang untuk Pengadaan barang/jasa pemerintah yang tidak dibiayai dari APBN/APBD dihitung untuk satu kegiatan pelaksanaan lelang oleh penyedia barang.
(3)  Capaian TKDN masing-masing barang dalam perhitungan gabungan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merujuk pada Daftar Inventarisasi Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri.

Pasal 17
(1)  Capaian TKDN jasa dan capaian TKDN gabungan jasa untuk pengadaan barang/jasa pemerintah yang tidak dibiayai dari APBN/APBD dihitung untuk satu kegiatan pelaksanaan lelang oleh Penyedia Jasa.
(2)  Capaian TKDN jasa dan gabungan jasa pada setiap kegiatan dapat dihitung berdasarkan tahapan pekerjaan sesuai dengan karakteristik pekerjaannya.
(3)  Hasil penghitungan capaian TKDN jasa dan capaian TKDN gabungan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi capaian TKDN-nya pada setiap tahapan pekerjaan sampai dengan pekerjaan selesai.

Pasal 18
(1)  Capaian TKDN gabungan barang dan jasa untuk pengadaan barang/jasa pemerintah yang tidak dibiayai dari APBN/APBD dihitung untuk satu kegiatan pelaksanaan lelang oleh Penyedia Barang/Jasa.
(2)  Capaian TKDN gabungan barang dan jasa pada setiap kegiatan dapat dihitung berdasarkan tahapan pekerjaan sesuai dengan karakteristik pekerjaannya.
(3)  Capaian TKDN barang dalam penghitungan capaian TKDN gabungan barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merujuk pada Daftar Inventarisasi Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri sedangkan capaian TKDN jasa berdasarkan hasil perhitungan sendiri.
(4)  Hasil penghitungan capaian TKDN gabungan barang dan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi capaian TKDN-nya pada setiap tahapan pekerjaan sampai dengan pekerjaan selesai.

Bagian Kedua
Bobot Manfaat Perusahaan
(1)  Penyedia Barang/jasa pemerintah yang tidak dibiayai dari APBN/APBD yang menawarkan barang/jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) diberikan preferensi harga sesuai dengan capaian TKDN masing-masing barang/jasa tanpa memperhitungkan nilai BMP.
(2)  Preferensi Harga hanya diberikan kepada perusahaan yang memproduksi barang/jasa dalam negeri dengan capaian TKDN barang lebih besar atau sama dengan 25% (dua puluh lima perseratus) atau komitmen capaian TKDN jasa lebih besar atau sama dengan 30% (tiga puluh perseratus).
(3)  Preferensi harga diberikan paling tinggi 15% (lima belas perseratus) terhadap unsur barang produksi dalam negeri dalam pengadaan barang atau pengadaan jasa konstruksi terintegrasi (jasa EPC) sesuai dengan capaian TKDN barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4)  Preferensi harga diberikan paling tinggi 7,5% (tujuh koma lima perseratus) terhadap unsur jasa dalam negeri dalam pengadaan jasa konstruksi terintegrasi (jasa EPC), jasa lainnya, atau jasa konsultansi sesuai dengan capaian TKDN jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5)  Untuk pengadaan Jasa Konstruksi Terintegrasi (jasa EPC), selain diberikan preferensi harga sesuai dengan capaian TKDN sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4), Perusahaan Jasa EPC Dalam Negeri diberikan tambahan preferensi harga berdasarkan status perusahaan sebagai berikut:
a.  sebesar 7,5% (tujuh koma lima perseratus) apabila dikerjakan sepenuhnya oleh perusahaan Jasa EPC Dalam Negeri dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari harga penawaran dilaksanakan di wilayah Indonesia.
b.  sebesar 5% (lima perseratus), apabila dikerjakan oleh konsorsium Perusahaan Jasa EPC dengan ketentuan sebagai berikut:
1)  perusahaan Jasa EPC Dalam Negeri bertindak sebagi pimpinan konsorsium (lead firm);
2)  paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari harga penawaran dilakukan oleh perusahan Jasa EPC Dalam Negeri; dan
3)  paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari harga penawaran dilaksanakan di wilayah Indonesia.

BAB V
DAFTAR INVENTARISASI BARANG/JASA
Pasal 21
(1)  Menteri menerbitkan Daftar Inventarisasi Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri sebagai referensi atas capaian TKDN barang dan capaian BMP dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang tidak dibiayai dari APBN/APBD.
(2)  Capaian TKDN barang dan capaian BMP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan capaian yang telah diverifikasi oleh lembaga surveyor independen dan telah mendapatkan tanda sah.
(3)  Panitia Pengadaan Barang/Jasa dapat melakukan klarifikasi terhadap kebenaran capaian TKDN yang tercantum dalam Daftar Inventarisasi Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri kepada Kementerian Perindustrian.

(1)  Daftar Inventarisasi Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri disampaikan atau disebarluaskan oleh Kementerian Perindustrian kepada Pengguna dan penyedia barang/jasa atau yang terkait dengan pengadaan barang/jasa pemerintah yang tidak dibiayai dari APBN/APBD atau pihak lain yang memerlukan.
(2)  Apabila diperlukan, panitia pengadaan barang/jasa dapat melakukan klarifikasi terhadap kebenaran capaian TKDN yang tercantum dalam Daftar Inventarisasi Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri kepada Kementerian Perindustrian.

BAB VI
VERIFIKASI TKDN
Pasal 24
(1)  Capaian TKDN dan capaian BMP diverifikasi oleh surveyor independen yang ditunjuk oleh Menteri.
(2)  Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan dan tata cara penghitungan capaian TKDN dan capaian BMP yang ditetapkan oleh Menteri.
(3)  Capaian TKDN barang dan capaian BMP hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditandasahkan oleh Pejabat yang ditunjuk oleh Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian.
(4)  Hasil verifikasi penghitungan capaian TKDN dan BMP yang sudah mendapatkan tanda sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) akan dicantumkan dalam buku Daftar Inventarisasi Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri.

Pasal 25
(1)  Dalam hal terdapat keraguan terhadap hasil penghitungan capaian TKDN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2), Pasal 18 ayat (1), dan Pasal 19 ayat (1), dapat dilakukan verifikasi ulang capaian TKDN atas permintaan Pengguna.
(2)  Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan data yang dimiliki Penyedia Barang/Jasa, data yang dimiliki industri barang/jasa, atau data dalam Daftar Inventarisasi Barang/Jasa Produksi Dalam Negeri.
(3)  Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam proses pengadaan barang/jasa dapat dilakukan pada saat pelaksanaan pekerjaan atau setelah pelaksanaan pekerjaan selesai.
(4)  Biaya verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan kepada pemohon, kecuali dinyatakan lain dalam dokumen lelang.

Pasal 26
Verifikasi atas capaian TKDN barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dapat dilakukan atas produk yang telah diproduksi atau contoh produk yang mewakili pesanan.

Pasal 27
(1)  Tata cara pemberian tanda sah capaian TKDN barang atau capaian BMP dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini.
(2)  Capaian TKDN barang dan capaian BMP berlaku selama 3 (tiga) tahun.
(3)  Dalam hal verifikasi terhadap capaian TKDN barang dilakukan sebelum habis masa berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), berlaku hasil verifikasi yang baru dengan masa berlaku selama 3 (tiga) tahun.
(4)  Produsen yang telah mendapatkan tanda sah capaian TKDN dapat mencantumkan nilai capaian TKDN pada barang hasil produksinya.

Pasal 28
Ketentuan dan tata cara penghitungan capaian TKDN dan capaian BMP diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VII
MONITORING, EVALUASI, DAN PELAPORAN
Pasal 29
(1)  Kementerian Perindustrian melakukan monitoring terhadap capaian TKDN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c.
(2)  Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap tahun.
(3)  Dalam hal capaian TKDN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) tidak sesuai dengan hasil verifikasi, Kementerian Perindustrian dapat mencabut tanda sah capaian TKDN dan mengeluarkan dari Daftar Inventarisasi Barang/Jasa P3DN.

Pasal 30
(1)  Tim P3DN melakukan evaluasi terhadap penggunaan produksi dalam negeri atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah yang tidak dibiayai dari APBN/APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
(2)  Hasil evaluasi Tim P3DN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk mengoptimalkan pelaksanaan P3DN.

Pasal 31
(1)  Penggunaan produksi dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa pemerintah yang tidak dibiayai dari APBN/APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilaporkan oleh Pimpinan BUMN/BUMD, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, Otoritas Jasa Keuangan, BLU, Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum, KKKS, badan usaha pemegang IUP atau Kontrak Karya/PKP2B, dan pimpinan proyek kerjasama pemerintah dan swasta kepada Menteri selaku Ketua Timnas P3DN setiap tahun paling lambat pada minggu kedua bulan Januari pada tahun berikutnya.
(2)  Menteri selaku Ketua Timnas P3DN melaporkan hasil penggunaan produksi dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa pemerintah kepada Presiden setiap tahun paling lambat pada minggu kedua bulan Februari pada tahun berikutnya.
(3)  Format Laporan Pimpinan BUMN/BUMD, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, Otoritas Jasa Keuangan, BLU, Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum, KKKS, badan usaha pemegang IUP atau Kontrak Karya/PKP2B, dan pimpinan proyek kerjasama pemerintah dan swasta, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini.

BAB VIII
SANKSI
Pasal 32
Pengguna dan Panitia Pengadaan yang menyimpang dari ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 33
(1)  Penyedia barang/jasa dapat dikenakan sanksi apabila:
a.  membuat dan/atau menyampaikan dokumen dan/atau keterangan lain yang tidak benar terkait dengan capaian TKDN; dan/atau
b.  berdasarkan hasil pemeriksaan ditemukan adanya ketidaksesuaian dalam penggunaan barang/jasa produksi dalam negeri.
(2)  Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a.  sanksi administratif; dan
b.  sanksi finansial.
(3)  Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berupa:
a.  peringatan tertulis;
b.  penutupan sementara;
c.  pencantuman dalam daftar hitam;
d.  pembekuan izin usaha; dan/atau
e.  pencabutan izin usaha.
(4)  Perbuatan atau tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5)  Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan oleh Panitia Pengadaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6)  Pemberian sanksi finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan oleh Pengguna.
(7)  Sanksi finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa pengurangan pembayaran sebesar selisih antara capaian TKDN penawaran dengan capaian TKDN pelaksanaan paling tinggi 15% (lima belas perseratus).

BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 34
Pelaksanaan pengadaan barang/jasa produksi dalam negeri yang dilakukan oleh kontraktor dan sub kontraktor jasa EPC/jasa EPCI atau sub kontraktor KKKS untuk pekerjaan yang berasal dari pengadaan barang/jasa pemerintah yang tidak dibiayai dari APBN/APBD wajib mengacu pada ketentuan Peraturan Menteri ini.

Pasal 35
Pimpinan BUMN, BUMD, Lembaga Pemerintah Non Kementerian, BLU, Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum, KKKS, badan usaha pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Kontrak Karya/Perjanjian Kerja Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B), serta pengadaan dalam rangka kerjasama pemerintah dan swasta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dalam Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan masing-masing dapat mensyaratkan capaian TKDN yang lebih ketat, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Peraturan Menteri ini.

Pasal 36
Ketentuan mengenai penggunaan produk dalam negeri untuk produk tertentu atau bidang tertentu diatur tersendiri dengan Peraturan Menteri atau Peraturan Menteri teknis lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Menteri ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 37
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 8 Januari 2014
MENTERI PERINDUSTRIAN
REPUBLIK INDONESIA,

MOHAMAD S. HIDAYAT

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 13 Januari 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

AMIR SYAMSUDIN

ke atas

(c)2010 Ditjen PP :: www.djpp.depkumham.go.id || www.djpp.info || Kembali