(1) Pemeriksa Bukti Permulaan berwenang melakukan Penyegelan untuk memperoleh atau mengamankan buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik, dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang adanya dugaan tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak agar tidak dipindahkan, dihilangkan, dimusnahkan, diubah, dirusak, ditukar, atau dipalsukan.
(2) Penyegelan dilakukan oleh pemeriksa Bukti Permulaan dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa selain anggota tim pemeriksa Bukti Permulaan.
(3) Dalam melakukan Penyegelan, pemeriksa Bukti Permulaan wajib membuat berita acara Penyegelan.(4) Berita acara Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dan ditandatangani oleh pemeriksa Bukti Permulaan dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa selain anggota tim pemeriksa Bukti Permulaan.
(5) Berita acara Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat 2 (dua) rangkap dan rangkap kedua diserahkan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang diperiksa.
(6) Dalam hal saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menolak menandatangani berita acara Penyegelan, pemeriksa Bukti Permulaan membuat catatan tentang penolakan tersebut dalam berita acara Penyegelan.
(7) Dalam melakukan Penyegelan, pemeriksa Bukti Permulaan dapat meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau pemerintah daerah setempat.
(1) Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal Penyegelan atau jangka waktu lain dengan mempertimbangkan tujuan Penyegelan, Wajib Pajak, wakil, atau kuasanya tetap tidak memberi izin kepada pemeriksa Bukti Permulaan untuk memasuki tempat atau ruangan dan/atau memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan Bukti Permulaan, Wajib Pajak dianggap menolak dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak dianggap menolak dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak, wakil, atau kuasanya harus menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan Bukti Permulaan dan pemeriksa Bukti Permulaan dapat mengusulkan penyidikan kepada kepala unit pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasanya menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemeriksa Bukti Permulaan membuat dan menandatangani berita acara mengenai penolakan tersebut.
Bagian Ketujuh
Pengungkapan Ketidakbenaran Perbuatan oleh Wajib Pajak
Pasal 24Wajib Pajak yang sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya, yaitu:
a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau
b. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,
yang dilakukan karena kealpaan atau dengan sengaja, sepanjang surat pemberitahuan dimulainya penyidikan belum disampaikan kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Pasal 25(1) Pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud Pasal 24 harus ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dilampiri dengan:
a. penghitungan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang dalam format Surat Pemberitahuan;
b. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak; dan
c. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan sanksi administrasi berupa denda.
(2) Pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatan beserta lampirannya sebagaimana dimaksud ayat (1) disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(3) Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan penelitian terhadap pemenuhan kelengkapan lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tidak memenuhi kelengkapan lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak dianggap belum melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak memenuhi kelengkapan lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar memberikan bukti penerimaan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan.
Pasal 26(1) Terhadap Wajib Pajak yang melakukan pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pemeriksaan Bukti Permulaan tetap dilanjutkan sesuai dengan standar pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan sampai dengan penyusunan konsep Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(2) Konsep Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditelaah oleh tim penelaah Pemeriksaan Bukti Permulaan untuk meyakini bahwa pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
(3) Yang dimaksud sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau yang tidak seharusnya dikembalikan menurut pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak jumlahnya sama atau lebih besar daripada temuan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(4) Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan penyusunan Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan tanpa usul penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dan kepada Wajib Pajak disampaikan pemberitahuan secara tertulis.
(5) Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, Pemeriksaan Bukti Permulaan diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
BAB VI
PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN SECARA TERTUTUP
Bagian Kesatu
Jangka Waktu Pemeriksaan Bukti Permulaan Secara Tertutup
Pasal 27 (1) Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan diterima oleh pemeriksa Bukti Permulaan.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang oleh pemeriksa Bukti Permulaan dengan menyampaikan permohonan perpanjangan kepada kepala unit pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum jangka waktu 6 (enam) bulan tersebut berakhir.
(3) Setiap permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan laporan perkembangan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(4) Berdasarkan permohonan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepala unit pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan menetapkan perpanjangan jangka waktu penyelesaian Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Bagian Kedua
Kewajiban dan Kewenangan Pemeriksa Bukti Permulaan
dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan Secara Tertutup
Pasal 28(1) Dalam melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup, pemeriksa Bukti Permulaan berkewajiban:
a. merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan;
b. mengamankan bahan bukti yang ditemukan dalam Pemeriksaan Bukti Permulaan apabila Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan penyidikan; dan
c. membuat Laporan Kejadian, dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan penyidikan.
(2) Dalam melaksanakan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup, pemeriksa Bukti Permulaan berwenang:
a. melakukan teknik-teknik Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup sesuai dengan kebutuhan dalam rangka memperoleh buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak, seperti kegiatan pengamatan (observasi), pembuntutan (surveillance), penyamaran (undercover) atau kegiatan intelijen lainnya;
b. meminta keterangan kepada pihak lain yang berkaitan dan dituangkan dalam berita acara permintaan keterangan;
c. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup; dan
d. melakukan tindakan lain yang diperlukan dalam rangka Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup.
Pasal 29(1) Pemeriksa Bukti Permulaan yang melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup berwenang meminta keterangan kepada pihak lain yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf b dan keterangan tersebut dituangkan dalam berita acara permintaan keterangan.
(2) Permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan mengundang pihak lain dengan mengirimkan undangan.
(3) Dalam hal pihak lain yang diundang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir, pemeriksa Bukti Permulaan mengirimkan undangan kedua.
(4) Dalam hal pihak lain yang diundang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak hadir memenuhi undangan tetapi dapat memberikan alasan yang patut dan wajar mengenai ketidakhadirannya, pemeriksa Bukti Permulaan dapat meminta keterangan di tempat pihak lain tersebut berada.
Pasal 30Pemeriksa Bukti Permulaan melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan, dapat meminta keterangan dan/atau bukti kepada pihak ketiga secara tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pasal 31(1) Dalam hal Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup juga dilakukan Pemeriksaan, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. apabila Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup ditindaklanjuti dengan tindakan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, Pemeriksaan ditangguhkan sampai dengan:
1) Penyidikan dihentikan sesuai dengan ketentuan Pasal 44A Undang-Undang KUP atau Pasal 44B Undang-Undang KUP; atau
2) Putusan Pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan salinan Putusan Pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
b. apabila Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup tidak ditindaklanjuti dengan tindakan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, Pemeriksaan diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilanjutkan kembali apabila:
a. penyidikan dihentikan karena Pasal 44A Undang-Undang KUP; atau
b. Putusan Pengadilan atas tindak pidana di bidang perpajakan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dan salinan Putusan Pengadilan tersebut telah diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
(3) Dalam hal Pemeriksaan dilanjutkan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyidik menyerahkan buku atau catatan, data, informasi dan/atau dokumen yang terkait dengan penyidikan kepada Pemeriksa Pajak dengan membuat berita acara.
(4) Pemeriksaan yang ditangguhkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihentikan apabila penyidikan dihentikan sesuai dengan ketentuan Pasal 44B Undang-Undang KUP.
(5) Dalam hal Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup juga dilakukan verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak, berlaku ketentuan:
a. apabila Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup ditindaklanjuti dengan tindakan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak dihentikan; atau
b. apabila Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup tidak ditindaklanjuti dengan tindakan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, verifikasi dalam rangka menerbitkan surat ketetapan pajak diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Bagian Ketiga
Pembetulan Surat Pemberitahuan oleh Wajib Pajak
Pasal 32(1) Dalam hal Wajib Pajak dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup, Wajib Pajak tetap berhak untuk melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), ayat (1a), dan ayat (6) Undang-Undang KUP serta Pasal 5 dan Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak melakukan pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup dilanjutkan dengan mempertimbangkan pembetulan Surat Pemberitahuan tersebut dan diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
BAB VII
LAPORAN DAN TINDAK LANJUT
PEMERIKSAAN BUKTI PERMULAAN
Pasal 33(1) Hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan harus dituangkan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(2) Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
Pasal 34(1) Pemeriksaan Bukti Permulaan ditindaklanjuti dengan:
a. penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dalam hal ditemukan Bukti Permulaan tindak pidana di bidang perpajakan;
b. pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib Pajak bahwa terhadap Wajib Pajak tidak dilakukan penyidikan karena pengungkapan ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak telah sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka;
c. penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dalam hal Wajib Pajak yang karena alpa untuk pertama kali melakukan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 13A Undang-Undang KUP, dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka;
d. penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia; atau
e. penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal tidak ditemukan adanya Bukti Permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, termasuk Wajib Pajak dan penanggung pajak tidak ditemukan.
(2) Terhadap Pemeriksaan Bukti Permulaan yang ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, serta Pemeriksaan Bukti Permulaan tersebut merupakan tindak lanjut Pemeriksaan, pemeriksa Bukti Permulaan mengirimkan data dan/atau Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan ke unit pelaksana Pemeriksaan yang mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
(3) Terhadap Pemeriksaan Bukti Permulaan yang ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf d, dan huruf e, serta Pemeriksaan Bukti Permulaan tersebut bukan merupakan tindak lanjut Pemeriksaan, pemeriksa Bukti Permulaan mengirimkan data dan/atau Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar.
(4) Data dan/atau Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
(5) Terhadap Pemeriksaan Bukti Permulaan yang ditindaklanjuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan ditemukan data lain yang mengindikasikan perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan, terhadap Wajib Pajak tetap dapat dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan kembali atas Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak serta jenis pajak yang sama, sepanjang belum diterbitkan surat ketetapan pajak dan Pemeriksaan Bukti Permulaan tersebut bukan merupakan Pemeriksaan Bukti Pemeriksaan ulang.
Pasal 35(1) Apabila pada saat melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan, pemeriksa Bukti Permulaan menemukan indikasi pegawai Direktorat Jenderal Pajak tersangkut dalam tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, pemeriksa Bukti Permulaan melaporkan kepada kepala unit pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan untuk dilakukan penelaahan.
(2) Dalam hal berdasarkan hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdapat cukup bukti adanya indikasi pegawai Direktorat Jenderal Pajak tersangkut dalam tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, kepala unit pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan melaporkan kepada Direktur Jenderal Pajak.
(3) Direktur Jenderal Pajak menilai laporan kepala unit pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan apabila terdapat cukup bukti adanya indikasi pegawai Direktorat Jenderal Pajak tersangkut dalam tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak melaporkan kepada Menteri Keuangan.
Pasal 36Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Bukti Permulaan terhadap pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang terindikasi tersangkut tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak atau Peraturan Bersama Direktur Jenderal Pajak dan Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan.
Pasal 37(1) Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka ditindaklanjuti dengan tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. buku atau catatan, data, informasi dan/atau dokumen yang dipinjam dari Wajib Pajak dan terkait dengan Bahan Bukti yang menimbulkan dugaan kuat tentang terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan dan/atau tindak pidana lainnya diserahkan kepada penyidik untuk kepentingan penyidikan; dan
b. buku atau catatan, data, informasi dan/atau dokumen yang dipinjam dari Wajib Pajak dan tidak terkait dengan Bahan Bukti yang menimbulkan dugaan kuat tentang terjadinya tindak pidana di bidang perpajakan dan/atau tindak pidana lainnya dikembalikan kepada Wajib Pajak, kecuali Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka merupakan tindak lanjut dari Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, buku atau catatan, data, informasi dan/atau dokumen diserahkan kepada Pemeriksa Pajak dengan membuat berita acara.
(2) Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka tidak ditindaklanjuti dengan tindakan penyidikan, pemeriksa Bukti Permulaan segera mengembalikan buku atau catatan, data, informasi dan/atau dokumen, termasuk media penyimpanan elektronik milik Wajib Pajak dengan menggunakan Bukti Pengembalian, kecuali Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka merupakan tindak lanjut dari Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, buku atau catatan, data, informasi dan/atau dokumen diserahkan kepada Pemeriksa Pajak dengan membuat berita acara.
Pasal 38(1) Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak lain, pemeriksa Bukti Permulaan membuat laporan perkembangan.
(2) Laporan perkembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada kepala unit pelaksana Pemeriksaan Bukti Permulaan yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak lain tersebut terdaftar.
(3) Laporan perkembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk dalam pengertian laporan yang dapat digunakan sebagai dasar pengembangan dan analisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 39Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. petunjuk pelaksanaan pengembangan dan analisis informasi, data, laporan, dan pengaduan; dan
b. petunjuk pelaksanaan kegiatan intelijen atau pengamatan dalam rangka pengembangan dan analisis informasi, data, laporan, dan pengaduan,
diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 40Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini:
a. terhadap surat perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan yang diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan Pemeriksaan Bukti Permulaan belum selesai, proses penyelesaian selanjutnya dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini;
b. terhadap Pemeriksaan yang ditindaklanjuti dengan Pemeriksaan Bukti Permulaan dan telah dibuat Laporan Hasil Pemeriksaan Sumir, dapat dilakukan Pemeriksaan dalam rangka penerbitan surat ketetapan pajak sepanjang hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan tidak terdapat indikasi tindak pidana di bidang perpajakan.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 41Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 42Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 1 Februari 2013.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Januari 2013
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Januari 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN