[Aktifkan javascript untuk melihat halaman ini.]
BAB I
KETENTUAN UMUM

Keprotokolan diatur berdasarkan asas:
a. kebangsaan;
b. ketertiban dan kepastian hukum;
c. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan; dan
d. timbal balik.

Pasal 3
Pengaturan Keprotokolan bertujuan untuk:
a. memberikan penghormatan kepada Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu, dan/atau Tamu Negara sesuai dengan kedudukan dalam negara, pemerintahan, dan masyarakat;
b. memberikan pedoman penyelenggaraan suatu acara agar berjalan tertib, rapi, lancar, dan teratur sesuai dengan ketentuan dan kebiasaan yang berlaku, baik secara nasional maupun internasional; dan
c. menciptakan hubungan baik dalam tata pergaulan antarbangsa.

Pasal 4
(1) Ruang lingkup pengaturan dalam Undang-Undang ini meliputi:
a. Tata Tempat;
b. Tata Upacara; dan
c. Tata Penghormatan.
(2) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan hanya dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi bagi;
a. Pejabat Negara;
b. Pejabat Pemerintahan;
c. perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional; dan
d. Tokoh Masyarakat Tertentu.

BAB III
ACARA KENEGARAAN DAN ACARA RESMI

(1) Acara Kenegaraan diselenggarakan oleh negara dan dilaksanakan oleh panitia negara yang diketuai oleh menteri yang membidangi urusan kesekretariatan negara.
(2) Dalam hal Acara Kenegaraan diselenggarakan di lingkungan lembaga negara lain, pelaksanaannya dilakukan oleh kesekretariatan lembaga negara dimaksud berkoordinasi dengan panitia negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penyelenggaraan acara kenegaraan dapat dilaksanakan di Ibukota Negara Republik Indonesia atau di luar Ibukota Negara Republik Indonesia.

Pasal 7
(1) Penyelenggaraan Keprotokolan Acara Resmi dilaksanakan oleh petugas protokol yang merupakan bagian dari kesekretariatan lembaga negara dan/atau instansi pemerintahan.
(2) Penyelenggaraan Acara Resmi dilakukan oleh:
a. lembaga negara yang kewenangannya disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. lembaga negara yang dibentuk dengan atau dalam Undang-Undang;
c. kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian;
d. instansi pemerintah pusat dan daerah; dan
e. organisasi lain.
(3) Penyelenggaraan Acara Resmi diselenggarakan di Ibukota Negara Republik Indonesia dan/atau dapat di luar Ibukota Negara Republik Indonesia.

BAB IV
TATA TEMPAT

Pasal 8
Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, Tokoh Masyarakat Tertentu dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi mendapat tempat sesuai dengan pengaturan Tata Tempat.

(1) Tata Tempat dalam Acara Resmi di provinsi ditentukan dengan urutan:
a. gubernur;
b. wakil gubernur;
c. mantan gubernur dan mantan wakil gubernur;
d. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi atau nama lainnya;
e. kepala perwakilan konsuler negara asing di daerah;
f. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi atau nama lainnya;
g. sekretaris daerah, panglima/komandan tertinggi Tentara Nasional Indonesia semua angkatan, kepala kepolisian, ketua pengadilan tinggi semua badan peradilan, dan kepala kejaksaan tinggi di provinsi;
h. pemimpin partai politik di provinsi yang memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi;
i. anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi atau nama lainnya, anggota Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh dan anggota Majelis Rakyat Papua;
j. bupati/walikota;
k. Kepala Kantor Perwakilan Badan Pemeriksa Keuangan di daerah, Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia di daerah, ketua Komisi Pemilihan Umum Daerah;
l. pemuka agama, pemuka adat, dan Tokoh Masyarakat Tertentu tingkat provinsi;
m. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;
n. wakil bupati/wakil walikota dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;
o. anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;
p. asisten sekretaris daerah provinsi, kepala dinas tingkat provinsi, kepala kantor instansi vertikal di provinsi, kepala badan provinsi, dan pejabat eselon II; dan
q. kepala bagian pemerintah daerah provinsi dan pejabat eselon III.
(2) Penyelenggara negara, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) hadir dalam Acara Resmi di provinsi menempati urutan Tata Tempat terlebih dahulu.

Pasal 11
(1) Tata Tempat dalam Acara Resmi di kabupaten/kota ditentukan dengan urutan:
a. bupati/walikota;
b. wakil bupati/wakil walikota;
c. mantan bupati/walikota dan mantan wakil bupati/wakil walikota;
d. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota atau nama lainnya;
e. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota atau nama lainnya;
f. sekretaris daerah, komandan tertinggi Tentara Nasional Indonesia semua angkatan, kepala kepolisian, ketua pengadilan semua badan peradilan, dan kepala kejaksaan negeri di kabupaten/kota;
g. pemimpin partai politik di kabupaten/kota yang memiliki wakil di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;
h. anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota atau nama lainnya;
i. pemuka agama, pemuka adat, dan Tokoh Masyarakat Tertentu tingkat kabupaten/kota;
j. asisten sekretaris daerah kabupaten/kota, kepala badan tingkat kabupaten/kota, kepala dinas tingkat kabupaten/kota, dan pejabat eselon II, kepala kantor perwakilan Bank Indonesia di tingkat kabupaten, ketua komisi pemilihan umum kabupaten/kota;
k. kepala instansi vertikal tingkat kabupaten/kota, kepala unit pelaksana teknis instansi vertikal, komandan tertinggi Tentara Nasional Indonesia semua angkatan di kecamatan, dan kepala kepolisian di kecamatan;
l. kepala bagian pemerintah daerah kabupaten/kota, camat, dan pejabat eselon III; dan
m. lurah/kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dan pejabat eselon IV.
(2) Dalam hal penyelenggara negara, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) hadir dalam Acara Resmi di kabupaten/kota, para pejabat tersebut menempati urutan Tata Tempat terlebih dahulu.

Tata Tempat bagi penyelenggara dan/atau pejabat tuan rumah dalam pelaksanaan Acara Resmi sebagai berikut:
a. dalam hal Acara Resmi dihadiri Presiden dan/atau Wakil Presiden, penyelenggara dan/atau pejabat tuan rumah mendampingi Presiden dan/atau Wakil Presiden.
b. dalam hal Acara Resmi tidak dihadiri Presiden dan/atau Wakil Presiden, penyelenggara dan/atau pejabat tuan rumah mendampingi Pejabat Negara dan/atau Pejabat Pemerintah yang tertinggi kedudukannya.

Pasal 14
(1) Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu dalam Acara Kenegaraan dan/atau Acara Resmi dapat didampingi istri atau suami.
(2) Istri atau suami sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menempati urutan sesuai Tata Tempat suami atau istri.

Upacara bendera hanya dapat dilaksanakan untuk Acara Kenegaraan atau Acara Resmi:
a. Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia;
b. hari besar nasional;
c. hari ulang tahun lahirnya lembaga negara;
d. hari ulang tahun lahirnya instansi pemerintah; dan
e. hari ulang tahun lahirnya provinsi dan kabupaten/kota.

Pasal 17
Tata upacara bendera dalam penyelenggaraan Acara Kenegaraan dan Acara Resmi meliputi:
a. tata urutan dalam upacara bendera;
b. tata bendera negara dalam upacara bendera;
c. tata lagu kebangsaan dalam upacara bendera; dan
d. tata pakaian dalam upacara bendera.

Pasal 18
Tata urutan upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf a meliputi tata urutan upacara bendera dalam rangka peringatan Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dan tata urutan upacara bendera dalam upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b sampai dengan huruf e.

Tata urutan upacara bendera dalam rangka peringatan hari ulang tahun proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 sekurang-kurangnya meliputi:
a. pengibaran bendera negara diiringi dengan lagu kebangsaan Indonesia Raya;
b. mengheningkan cipta;
c. mengenang detik-detik Proklamasi diiringi dengan tembakan meriam, sirine, bedug, lonceng gereja dan lain-lain selama satu menit;
d. pembacaan Teks Proklamasi; dan
e. pembacaan doa.

Pasal 21
Tata bendera negara dalam upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf b meliputi:
a. bendera dikibarkan sampai dengan saat matahari terbenam;
b. tiang bendera didirikan di tempat upacara; dan
c. penghormatan pada saat pengibaran atau penurunan bendera.

(1) Tata pakaian upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 huruf d dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi disesuaikan menurut jenis acara.
(2) Dalam Acara Kenegaraan digunakan pakaian sipil lengkap, pakaian dinas, pakaian kebesaran, atau pakaian nasional yang berlaku sesuai dengan jabatannya atau kedudukannya dalam masyarakat.
(3) Dalam Acara Resmi dapat digunakan pakaian sipil harian atau seragam resmi lain yang telah ditentukan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pakaian sipil lengkap, pakaian dinas, pakaian kebesaran, pakaian nasional, pakaian sipil harian, atau seragam resmi diatur dalam Peraturan Presiden.

Pasal 24
(1) Untuk melaksanakan upacara bendera dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi, diperlukan kelengkapan dan perlengkapan.
(2) Kelengkapan upacara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain, meliputi:
a. inspektur upacara;
b. komandan upacara;
c. perwira upacara;
d. peserta upacara;
e. pembawa naskah;
f. pembaca naskah; dan
g. pembawa acara.
(3) Perlengkapan upacara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain, meliputi:
a. bendera;
b. tiang bendera dengan tali;
c. mimbar upacara;
d. naskah Proklamasi;
e. naskah Pancasila;
f. naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
g. teks doa.

Pasal 25
Dalam hal terjadi situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan terlaksananya tata upacara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, tata upacara dilaksanakan dengan menyesuaikan situasi dan kondisi tersebut.

Bagian Kedua
Upacara bukan Upacara Bendera

Pasal 26
Upacara bukan upacara bendera dapat dilaksanakan untuk Acara Kenegaraan atau Acara Resmi.

Pasal 27
Tata Upacara bukan upacara bendera dalam penyelenggaraan Acara Kenegaraan dan Acara Resmi meliputi tata urutan upacara dan tata pakaian upacara.

Pasal 28
Tata urutan acara bukan upacara bendera sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi, antara lain, meliputi:
a. menyanyikan dan/atau mendengarkan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya;
b. pembukaan;
c. acara pokok; dan
d. penutup.

Pasal 29
(1) Tata pakaian upacara bukan upacara bendera dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi disesuaikan menurut jenis acara.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata pakaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden.

Pasal 30
Bendera negara dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi upacara bukan upacara bendera dipasang pada sebuah tiang bendera dan diletakkan di sebelah kanan mimbar.

BAB VI
TATA PENGHORMATAN

Pasal 31
(1) Pejabat Negara, Pejabat Pemerintahan, perwakilan negara asing dan/atau organisasi internasional, serta Tokoh Masyarakat Tertentu dalam Acara Kenegaraan atau Acara Resmi mendapat penghormatan.
(2) Penghormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penghormatan dengan bendera negara;
b. penghormatan dengan lagu kebangsaan; dan/atau
c. bentuk penghormatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Tata penghormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VII
TAMU NEGARA, TAMU PEMERINTAH, DAN/ATAU TAMU LEMBAGA NEGARA LAINNYA

Pasal 32
Tamu Negara, tamu pemerintah, dan/atau tamu lembaga negara lain yang berkunjung ke Negara Indonesia mendapat pengaturan keprotokolan sebagai penghormatan kepada negaranya sesuai dengan asas timbal balik, norma-norma, dan/atau kebiasaan dalam tata pergaulan internasional.

Pasal 33
(1) Tamu Negara terdiri atas presiden, raja, kaisar, ratu, yang dipertuan agung, paus, gubernur jenderal, wakil presiden, perdana menteri, kanselir, dan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
(2) Tamu pemerintah dan/atau tamu lembaga negara lainnya dapat terdiri atas pejabat tinggi lembaga negara asing lain, mantan kepala negara/pemerintahan atau wakilnya, wakil perdana menteri, menteri atau setingkat menteri, kepala perwakilan negara asing, utusan khusus dan tokoh masyarakat asing/internasional tertentu lain yang akan diatur dengan peraturan pemerintah.
(3) Kunjungan Tamu Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. kunjungan kenegaraan;
b. kunjungan resmi;
c. kunjungan kerja; atau
d. kunjungan pribadi.

Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan keprotokolan terhadap Tamu Negara, tamu pemerintah, dan/atau tamu lembaga negara lain diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 35
Penyelenggaraan keprotokolan di daerah khusus atau daerah istimewa dilaksanakan dengan menghormati kekhususan atau keistimewaan daerah tersebut sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 36
Pendanaan keprotokolan dalam Acara Kenegaraan dan Acara Resmi dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 37
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1987 tentang Protokol (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3363) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 38
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1987 Tentang Protokol (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1987 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3363) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 39
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 19 Nopember 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 19 Nopember 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

PATRIALIS AKBAR