Teks tidak dalam format asli.
Kembali



LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

No. 116, 2012(Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5315)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2012
TENTANG
PENANGANAN KONFLIK SOSIAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan menegakkan hak asasi setiap warga negara melalui upaya penciptaan suasana yang aman, tenteram, tertib, damai, dan sejahtera, baik lahir maupun batin sebagai wujud hak setiap orang atas pelindungan agama, diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda;
b. bahwa perseteruan dan/atau benturan antarkelompok masyarakat dapat menimbulkan konflik sosial yang mengakibatkan terganggunya stabilitas nasional dan terhambatnya pembangunan nasional;
c. bahwa ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penanganan konflik sosial masih bersifat parsial dan belum komprehensif sesuai dengan dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penanganan Konflik Sosial;

Mengingat :  Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENANGANAN KONFLIK SOSIAL.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Penanganan Konflik mencerminkan asas:
a. kemanusiaan;
b. hak asasi manusia;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kebhinneka-tunggal-ikaan;
f.  keadilan;
g. kesetaraan gender;
h. ketertiban dan kepastian hukum;
i.  keberlanjutan;
j.  kearifan lokal;
k. tanggung jawab negara;
l.  partisipatif;
m.tidak memihak; dan
n. tidak membeda-bedakan.

Pasal 3
Penanganan Konflik bertujuan:
a. menciptakan kehidupan masyarakat yang aman, tenteram, damai, dan sejahtera;
b. memelihara kondisi damai dan harmonis dalam hubungan sosial kemasyarakatan;
c. meningkatkan tenggang rasa dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara;
d. memelihara keberlangsungan fungsi pemerintahan;
e. melindungi jiwa, harta benda, serta sarana dan prasarana umum;
f.  memberikan pelindungan dan pemenuhan hak korban; dan
g. memulihkan kondisi fisik dan mental masyarakat serta sarana dan prasarana umum.

Pasal 4
Ruang lingkup Penanganan Konflik meliputi:
a. Pencegahan Konflik;
b. Penghentian Konflik; dan
c. Pemulihan Pascakonflik.

(1) Pencegahan Konflik dilakukan dengan upaya:
a. memelihara kondisi damai dalam masyarakat;
b. mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan secara damai;
c. meredam potensi Konflik; dan
d. membangun sistem peringatan dini.
(2) Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat.

Bagian Kedua
Memelihara Kondisi Damai Dalam Masyarakat
Pasal 7
Untuk memelihara kondisi damai dalam masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a, setiap orang berkewajiban:
a. mengembangkan sikap toleransi dan saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya;
b.  menghormati perbedaan suku, bahasa, dan adat istiadat orang lain;
c.  mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya;
d. mengakui persamaan derajat serta persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, dan warna kulit;
e.  mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar kebhinneka-tunggal-ikaan; dan/atau
f.   menghargai pendapat dan kebebasan orang lain.

Bagian Ketiga
Mengembangkan Sistem Penyelesaian Perselisihan Secara Damai
Pasal 8
(1) Penyelesaian perselisihan dalam masyarakat dilakukan secara damai.
(2) Penyelesaian secara damai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengutamakan musyawarah untuk mufakat.
(3) Hasil musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikat para pihak.

Bagian Keempat
Meredam Potensi Konflik
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah membangun sistem peringatan dini untuk mencegah:
a. Konflik di daerah yang diidentifikasi sebagai daerah potensi Konflik; dan/atau
b. perluasan Konflik di daerah yang sedang terjadi Konflik.
(2) Sistem peringatan dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penyampaian informasi mengenai potensi Konflik atau terjadinya Konflik di daerah tertentu kepada masyarakat.
(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah membangun sistem peringatan dini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) melalui media komunikasi.

Pasal 11
Membangun sistem peringatan dini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dilakukan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan cara:
a. penelitian dan pemetaan wilayah potensi Konflik;
b. penyampaian data dan informasi mengenai Konflik secara cepat dan akurat;
c. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan;
d. peningkatan dan pemanfaatan modal sosial; dan
e. penguatan dan pemanfaatan fungsi intelijen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB IV
PENGHENTIAN KONFLIK
Bagian Kesatu
Umum
(1) Penghentian kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a dikoordinasikan dan dikendalikan oleh Polri.
(2) Penghentian kekerasan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan/atau tokoh adat.
(3) Penghentian kekerasan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Penetapan Status Keadaan Konflik
Pasal 14
Status Keadaan Konflik ditetapkan apabila Konflik tidak dapat dikendalikan oleh Polri dan terganggunya fungsi pemerintahan.

Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) ditetapkan oleh bupati/wali kota setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD kabupaten/kota.

Pasal 17
DPRD kabupaten/kota melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Penanganan Konflik selama Status Keadaan Konflik.

Pasal 18
Status Keadaan Konflik skala provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3) ditetapkan oleh gubernur setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD provinsi.

Status Keadaan Konflik skala nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) ditetapkan oleh Presiden setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPR.

Pasal 21
DPR melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Penanganan Konflik selama Status Keadaan Konflik skala nasional.

(1) Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali kota bertanggung jawab atas Penanganan Konflik kabupaten/kota.
(2) Dalam Penanganan Konflik skala kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bupati/wali kota wajib melaporkan perkembangan Penanganan Konflik kepada gubernur dengan tembusan kepada menteri yang membidangi urusan dalam negeri dan/atau menteri terkait serta DPRD kabupaten/kota.

Pasal 24
(1) Dalam Status Keadaan Konflik skala provinsi, gubernur bertanggung jawab atas Penanganan Konflik provinsi.
(2) Dalam Penanganan Konflik skala provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur wajib melaporkan perkembangan Penanganan Konflik kepada Presiden melalui menteri yang membidangi urusan dalam negeri dan/atau menteri terkait dengan tembusan kepada DPRD provinsi.

Pasal 25
(1) Dalam hal Status Keadaan Konflik skala nasional, Presiden bertanggung jawab atas Penanganan Konflik nasional.
(2) Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden dapat menunjuk menteri yang membidangi koordinasi urusan politik, hukum, dan keamanan sebagai koordinator dengan melibatkan menteri/pimpinan lembaga terkait.
(3) Dalam penanganan Status Keadaan Konflik skala nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden menyampaikan perkembangan penanganan Status Keadaan Konflik kepada DPR.

Pasal 26
Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali kota dapat melakukan:
a. pembatasan dan penutupan kawasan Konflik untuk sementara waktu;
b. pembatasan orang di luar rumah untuk sementara waktu;
c. penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk sementara waktu; dan
d. pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflik atau keluar dari kawasan Konflik untuk sementara waktu.

Pasal 27
Dalam Status Keadaan Konflik skala provinsi gubernur dapat melakukan:
a. pembatasan dan penutupan kawasan Konflik untuk sementara waktu;
b. pembatasan orang di luar rumah untuk sementara waktu;
c. penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk sementara waktu; dan
d. pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflik atau keluar dari kawasan Konflik untuk sementara waktu.

Pasal 28
Dalam Status Keadaan Konflik skala nasional Presiden dapat menunjuk menteri yang membidangi koordinasi urusan politik, hukum, dan keamanan untuk melakukan:
a. pembatasan dan penutupan kawasan Konflik untuk sementara waktu;
b. pembatasan orang di luar rumah untuk sementara waktu;
c. penempatan orang di luar kawasan Konflik untuk sementara waktu; dan
d. pelarangan orang untuk memasuki kawasan Konflik atau keluar dari kawasan Konflik untuk sementara waktu.

Pasal 29
(1) Berdasarkan evaluasi terhadap laporan pengendalian keadaan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali kota setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD kabupaten/kota dapat memperpanjang jangka waktu Status Keadaan Konflik paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(2) Berdasarkan evaluasi terhadap laporan pengendalian keadaan Konflik skala provinsi, gubernur setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPRD provinsi dapat memperpanjang jangka waktu Status Keadaan Konflik paling lama 30 (tiga puluh) hari.
(3) Berdasarkan evaluasi terhadap perkembangan pengendalian keadaan Konflik skala nasional, Presiden setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPR dapat memperpanjang jangka waktu Status Keadaan Konflik paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Pasal 30
(1) Perpanjangan jangka waktu Status Keadaan Konflik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dikonsultasikan oleh bupati/wali kota kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota dalam waktu 10 (sepuluh) hari sebelum berakhirnya jangka waktu Status Keadaan Konflik.
(2) Perpanjangan jangka waktu Status Keadaan Konflik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dikonsultasikan oleh gubernur kepada pimpinan DPRD provinsi dalam waktu 10 (sepuluh) hari sebelum berakhirnya jangka waktu Status Keadaan Konflik.
(3) Perpanjangan jangka waktu Status Keadaan Konflik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) dikonsultasikan oleh Presiden kepada pimpinan DPR dalam waktu 10 (sepuluh) hari sebelum berakhirnya jangka waktu Status Keadaan Konflik.
(4) Dalam hal penetapan Status Keadaan Konflik dicabut, semua kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, Pasal 27, dan Pasal 28 tidak berlaku.

Pasal 31
Dalam hal keadaan Konflik dapat ditanggulangi sebelum batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, bupati/wali kota, gubernur, atau Presiden berwenang mencabut penetapan Status Keadaan Konflik.

Bagian Keempat
Tindakan Darurat Penyelamatan dan Pelindungan Korban
Pasal 32
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan korban sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya.
(2) Tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.  penyelamatan, evakuasi, dan identifikasi korban Konflik secara cepat dan tepat;
b.  pemenuhan kebutuhan dasar korban Konflik;
c.  pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi, termasuk kebutuhan spesifik perempuan, anak-anak, dan kelompok orang yang berkebutuhan khusus;
d.  pelindungan terhadap kelompok rentan;
e.  upaya sterilisasi tempat yang rawan Konflik;
f.   penyelamatan sarana dan prasarana vital;
g.  penegakan hukum;
h.  pengaturan mobilitas orang, barang, dan jasa dari dan ke daerah Konflik; dan
i.   penyelamatan harta benda korban Konflik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan darurat penyelamatan dan pelindungan korban diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Bantuan Penggunaan dan Pengerahan Kekuatan TNI
Pasal 33
(1) Dalam Status Keadaan Konflik skala kabupaten/kota, bupati/wali kota dapat meminta bantuan penggunaan kekuatan TNI kepada Pemerintah.
(2) Dalam Status Keadaan Konflik skala provinsi, gubernur dapat meminta bantuan penggunaan kekuatan TNI kepada Pemerintah.
(3) Dalam Status Keadaan Konflik skala nasional, Presiden berwenang mengerahkan kekuatan TNI setelah berkonsultasi dengan pimpinan DPR.
(4) Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 34
(1) Pelaksanaan bantuan penggunaan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dikoordinasikan oleh Polri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bantuan penggunaan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 35
Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 berakhir apabila:
a. telah dilakukan pencabutan penetapan Status Keadaan Konflik; atau
b. berakhirnya jangka waktu Status Keadaan Konflik.

BAB V
PEMULIHAN PASCAKONFLIK
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 36
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah berkewajiban melakukan upaya Pemulihan Pascakonflik secara terencana, terpadu, berkelanjutan, dan terukur.
(2) Upaya Pemulihan Pascakonflik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. rekonsiliasi;
b. rehabilitasi; dan
c. rekonstruksi.

Bagian Kedua
Rekonsiliasi
Pasal 37
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan rekonsiliasi antara para pihak dengan cara:
a. perundingan secara damai;
b. pemberian restitusi; dan/atau
c. pemaafan.
(2) Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial atau Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial.

Bagian Ketiga
Rehabilitasi
Pasal 38
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan rehabilitasi di daerah pascakonflik dan daerah terkena dampak Konflik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf b, sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya.
(2) Pelaksanaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.  pemulihan psikologis korban Konflik dan pelindungan kelompok rentan;
b.  pemulihan kondisi sosial, ekonomi, budaya, keamanan, dan ketertiban;
c.  perbaikan dan pengembangan lingkungan dan/atau daerah perdamaian;
d.  penguatan relasi sosial yang adil untuk kesejahteraan masyarakat;
e.  penguatan kebijakan publik yang mendorong pembangunan lingkungan dan/atau daerah perdamaian berbasiskan hak masyarakat;
f.   pemulihan ekonomi dan hak keperdataan, serta peningkatan pelayanan pemerintahan;
g. pemenuhan kebutuhan dasar spesifik perempuan, anak-anak, lanjut usia, dan kelompok orang yang berkebutuhan khusus;
h.  pemenuhan kebutuhan dan pelayanan kesehatan reproduksi bagi kelompok perempuan;
i.   peningkatan pelayanan kesehatan anak-anak; dan
j.   pemfasilitasian serta mediasi pengembalian dan pemulihan aset korban Konflik.

Bagian Keempat
Rekonstruksi
Pasal 39
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (2) huruf c sesuai dengan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya.
(2) Pelaksanaan rekonstruksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.  pemulihan dan peningkatan fungsi pelayanan publik di lingkungan dan/atau daerah pascakonflik;
b.  pemulihan dan penyediaan akses pendidikan, kesehatan, dan mata pencaharian;
c.  perbaikan sarana dan prasarana umum daerah Konflik;
d. perbaikan berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi;
e.  perbaikan dan penyediaan fasilitas pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar spesifik perempuan, anak-anak, lanjut usia, dan kelompok orang yang berkebutuhan khusus;
f.   perbaikan dan pemulihan tempat ibadah.

BAB VI
KELEMBAGAAN DAN MEKANISME PENYELESAIAN KONFLIK
Bagian Kesatu
Kelembagaan
Pasal 40
Kelembagaan penyelesaian Konflik terdiri atas Pemerintah, Pemerintah Daerah, Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial, serta Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial.

Bagian Kedua
Mekanisme Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial
Pasal 41
(1) Penyelesaian Konflik dilaksanakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah dengan mengedepankan Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial yang ada dan diakui keberadaannya.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengakui hasil penyelesaian Konflik melalui mekanisme Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial.
(3) Hasil kesepakatan penyelesaian Konflik melalui mekanisme Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki kekuatan yang mengikat bagi kelompok masyarakat yang terlibat dalam Konflik.
(4) Dalam hal penyelesaian Konflik melalui mekanisme Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diselesaikan, maka penyelesaian Konflik dilakukan oleh Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial.
(5) Penyelesaian Konflik melalui mekanisme Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difasilitasi oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota dengan melibatkan aparatur kecamatan dan kelurahan/desa setempat.

Bagian Ketiga
Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
Paragraf Satu
Umum
Pasal 42
(1) Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial merupakan lembaga penyelesaian Konflik yang bersifat ad hoc.
(2) Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibentuk oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam hal:
a. tidak ada Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial di daerah Konflik;
b. tidak berfungsinya Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial di daerah Konflik;
c. tidak berjalannya mekanisme musyawarah untuk mufakat melalui Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial;
d. tidak tercapainya kesepakatan melalui mekanisme musyawarah Pranata Adat dan/atau Pranata Sosial; dan
e. telah ditetapkannya Status Keadaan Konflik.

Paragraf Dua
Tugas dan Fungsi Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
Pasal 43
(1) Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial bertugas menyelesaikan Konflik sosial melalui musyawarah untuk mufakat.
(2) Penyelesaian Konflik melalui musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikat bagi kelompok masyarakat yang terlibat dalam Konflik.
(3) Dalam hal penyelesaian Konflik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan.

Pasal 44
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1), Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial menyelenggarakan fungsi:
a. pencarian fakta dan pemberian kesempatan kepada pihak yang berkonflik untuk menyampaikan fakta dan penyebab terjadinya Konflik;
b. pencarian data atau informasi di instansi pemerintah dan/atau swasta terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c.  koordinasi dengan instansi terkait untuk memberikan pelindungan kepada korban, saksi, pelapor, pelaku, dan barang bukti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d.  perumusan opsi yang dapat disepakati dengan mempertimbangkan kepentingan pihak yang berkonflik;
e.  perumusan kesepakatan yang telah dicapai;
f.   penghitungan jumlah kerugian dan besaran kompensasi, restitusi, rehabilitasi, dan/atau rekonstruksi;
g. penyampaian rekomendasi kepada Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah dalam upaya rehabilitasi dan Pemulihan Pascakonflik; dan
h. penyampaian laporan akhir pelaksanaan tugas dan fungsi Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial kepada Pemerintah/Pemerintah Daerah dengan tembusan kepada DPR/DPRD.

Paragraf Tiga
Pembentukan, Penetapan, dan Pembubaran
Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
Pasal 45
Pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dilakukan melalui mekanisme:
a. pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial untuk menyelesaikan Konflik skala kabupaten/kota dilakukan oleh bupati/wali kota;
b. pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial untuk menyelesaikan Konflik skala provinsi dilakukan oleh gubernur; dan/atau
c. pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial untuk menyelesaikan Konflik skala nasional diusulkan oleh menteri yang membidangi koordinasi urusan politik, hukum, dan keamanan kepada Presiden.

Pasal 46
(1) Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial berakhir apabila:
a. Konflik telah diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat; atau
b. penyelesaian Konflik diajukan oleh pihak yang berkonflik melalui pengadilan.
(2) Dalam hal keadaan Konflik skala kabupaten/kota meningkat menjadi keadaan Konflik skala provinsi, Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial kabupaten/kota tidak dengan sendirinya dibubarkan.
(3) Dalam hal keadaan Konflik skala provinsi meningkat menjadi keadaan Konflik skala nasional, Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial kabupaten/kota dan provinsi tidak dengan sendirinya dibubarkan.
(4) Penyelesaian Konflik selama proses di pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b difasilitasi oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
(5) Fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) mencakup pemantauan, pengendalian, dan pengamanan terhadap pihak yang berkonflik tanpa intervensi terhadap proses peradilan.

Paragraf Empat
Keanggotaan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial
Pasal 47
(1) Keanggotaan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf a terdiri atas unsur Pemerintah Daerah dan masyarakat.
(2) Unsur Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. bupati/wali kota;
b. ketua DPRD kabupaten/kota;
c. instansi Pemerintah dan/atau satuan kerja perangkat daerah sesuai dengan kebutuhan;
d. kepala kepolisian resor;
e. komandan distrik militer/komandan satuan unsur TNI; dan
f.  kepala kejaksaan negeri.
(3) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. tokoh agama;
b. tokoh adat;
c. tokoh masyarakat;
d. pegiat perdamaian; dan
e. wakil pihak yang berkonflik.
(4) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh persen).

Pasal 48
(1) Keanggotaan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b terdiri atas unsur Pemerintah Daerah dan masyarakat.
(2) Unsur Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. gubernur;
b. ketua DPRD provinsi;
c. instansi Pemerintah dan/atau satuan kerja pemerintah daerah provinsi sesuai dengan kebutuhan;
d. kepala kepolisian daerah;
e. panglima daerah militer/komandan satuan unsur TNI;
f.  kepala kejaksaan tinggi; dan
g. unsur Pemerintah Daerah pada Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial skala kabupaten/kota.
(3) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. tokoh agama;
b. tokoh adat;
c. tokoh masyarakat;
d. pegiat perdamaian; dan
e. wakil pihak yang berkonflik dari Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial skala kabupaten/kota.
(4) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh persen).

Pasal 49
(1) Keanggotaan Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial skala nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf c terdiri atas unsur Pemerintah dan masyarakat.
(2) Unsur Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. kementerian yang membidangi koordinasi urusan politik, hukum, dan keamanan;
b. kementerian yang membidangi koordinasi urusan kesejahteraan rakyat;
c. kementerian yang membidangi urusan dalam negeri;
d. kementerian yang membidangi urusan pertahanan;
e. kementerian yang membidangi urusan keuangan negara;
f.  kementerian yang membidangi urusan kesehatan;
g. kementerian yang membidangi urusan sosial;
h. kementerian yang membidangi urusan agama;
i.  Polri;
j.  TNI;
k. Kejaksaan Agung;
l.  Badan Nasional Penanggulangan Bencana;
m.Komisi Nasional Hak Asasi Manusia;
n. unsur Pemerintah Daerah dari Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial skala provinsi yang berkonflik; dan
o. instansi pemerintah terkait lainnya sesuai dengan kebutuhan.
(3) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. tokoh agama;
b. tokoh adat;
c. tokoh masyarakat;
d. pegiat perdamaian;
e. wakil pihak yang berkonflik dari Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial skala provinsi; dan
f.  lembaga masyarakat lain yang terkait sesuai dengan kebutuhan.
(4) Unsur masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh persen).

Pasal 50
Penetapan anggota Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial unsur masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1), Pasal 48 ayat (1), dan Pasal 49 ayat (1) dengan mempertimbangkan ketokohan, integritas, dan moralitas.

Pasal 51
Anggota Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial berhenti atau diberhentikan karena:
a. masa tugas Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial telah berakhir;
b. penggantian personel oleh instansi yang bersangkutan;
c. meninggal dunia;
d. mengundurkan diri secara tertulis; dan/atau
e. melakukan tindakan yang bertentangan dengan tugas dan fungsi Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB VII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 52
(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam Penanganan Konflik.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. pembiayaan;
b. bantuan teknis;
c. penyediaan kebutuhan dasar minimal bagi korban Konflik; dan/atau
d. bantuan tenaga dan pikiran.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat dalam Penanganan Konflik diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
PENDANAAN
Pasal 53
(1) Pendanaan Penanganan Konflik digunakan untuk Pencegahan Konflik, Penghentian Konflik, dan Pemulihan Pascakonflik.
(2) Pendanaan Penanganan Konflik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tanggungjawab bersama Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang dialokasikan pada APBN dan/atau APBD sesuai dengan tugas, wewenang, dan tanggung jawab masing-masing.

Pasal 54
(1) Pemerintah mengalokasikan dana APBN untuk Pencegahan Konflik melalui anggaran kementerian/lembaga yang bertanggung jawab sesuai tugas dan fungsinya.
(2) Pemerintah Daerah mengalokasikan dana APBD untuk Pencegahan Konflik melalui anggaran satuan kerja perangkat daerah yang bertanggung jawab sesuai tugas dan fungsinya.

Pasal 55
(1) Pendanaan Penghentian Konflik dan rekonsiliasi pascakonflik diambil dari dana siap pakai pada APBN dan/atau dana belanja tidak terduga pada APBD oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sebagai unsur Satuan Tugas Penyelesaian Konflik Sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1), Pasal 48 ayat (1), dan Pasal 49 ayat (1) yang dapat dipakai sewaktu-waktu secara langsung oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
(2) Dana siap pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari dana bagian anggaran bendahara umum negara.

Pasal 56
(1) Pemerintah mengalokasikan dana pascakonflik melalui anggaran kementerian/lembaga yang bertanggung jawab sesuai tugas dan fungsinya.
(2) Pemerintah Daerah mengalokasikan dana pascakonflik melalui APBD.
(3) Dana pascakonflik digunakan untuk mendanai kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pada tahap pascakonflik yang terjadi di daerah.

Pasal 57
(1) Pemerintah Daerah yang daerahnya mengalami konflik dan memiliki keterbatasan kemampuan pendanaan dapat mengajukan permintaan dana pascakonflik kepada Pemerintah melalui dana alokasi khusus (DAK) dengan melampirkan kerangka acuan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi pascakonflik beserta rencana anggaran biaya.
(2) Pengajuan dana pascakonflik yang diajukan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh kementerian yang membidangi urusan dalam negeri.

Pasal 58
Ketentuan mengenai perencanaan, penganggaran, penyaluran, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban pengelolaan pendanaan Penanganan Konflik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 59
Semua program dan kegiatan yang berkaitan dengan Penanganan Konflik yang telah berlangsung sebelum ditetapkannya Undang-Undang ini dapat terus dilaksanakan sampai dengan berakhirnya program dan kegiatan tersebut.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 60
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penanganan konflik dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 61
Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus sudah ditetapkan dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Pasal 62
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 10 Mei 2012
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 Mei 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

AMIR SYAMSUDIN

ke atas

(c)2010 Ditjen PP :: www.djpp.depkumham.go.id || www.djpp.info || Kembali