[Aktifkan javascript untuk melihat halaman ini.]b. klasifikasi pelabuhan perikanan;
c. pengelolaan pelabuhan perikanan;
d. persyaratan dan/atau standar teknis dalam perencanaan, pembangunan, operasional, pembinaan, dan pengawasan pelabuhan perikanan;
e. wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan yang meliputi bagian perairan dan daratan tertentu yang menjadi wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan; dan
f. pelabuhan perikanan yang tidak dibangun oleh Pemerintah.
(3) Setiap kapal penangkap ikan dan kapal pengangkut ikan harus mendaratkan ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk.
(4) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan yang tidak melakukan bongkar muat ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan izin, atau pencabutan izin.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Menteri.

18. Di antara Pasal 41 dan Pasal 42 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 41A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41A
(1) Pelabuhan perikanan mempunyai fungsi pemerintahan dan pengusahaan guna mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran.
(2) Fungsi pelabuhan perikanan dalam mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. pelayanan tambat dan labuh kapal perikanan;
b. pelayanan bongkar muat;
c. pelayanan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan;
d. pemasaran dan distribusi ikan;
e. pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan;
f. tempat pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan;
g. pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan;
h. tempat pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumber daya ikan;
i. pelaksanaan kesyahbandaran;
j. tempat pelaksanaan fungsi karantina ikan;
k. publikasi hasil pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas kapal perikanan;
l. tempat publikasi hasil riset kelautan dan perikanan;
m. pemantauan wilayah pesisir dan wisata bahari; dan/atau
n. pengendalian lingkungan.

19. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga Pasal 42 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42
(1) Dalam rangka keselamatan operasional kapal perikanan, ditunjuk syahbandar di pelabuhan perikanan.
(1) Syahbandar di pelabuhan perikanan mempunyai tugas dan wewenang:
a. menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar;
b. mengatur kedatangan dan keberangkatan kapal perikanan;
c. memeriksa ulang kelengkapan dokumen kapal perikanan;
d. memeriksa teknis dan nautis kapal perikanan dan memeriksa alat penangkapan ikan, dan alat bantu penangkapan ikan;
e. memeriksa dan mengesahkan perjanjian kerja laut;
f. memeriksa log book penangkapan dan pengangkutan ikan;
g. mengatur olah gerak dan lalulintas kapal perikanan di pelabuhan perikanan;
h. mengawasi pemanduan;
i. mengawasi pengisian bahan bakar;
j. mengawasi kegiatan pembangunan fasilitas pelabuhan perikanan;
k. melaksanakan bantuan pencarian dan penyelamatan;
l. memimpin penanggulangan pencemaran dan pemadaman kebakaran di pelabuhan perikanan;
m. mengawasi pelaksanaan perlindungan lingkungan maritim;
n. memeriksa pemenuhan persyaratan pengawakan kapal perikanan;
o. menerbitkan Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan dan Keberangkatan Kapal Perikanan; dan
p. memeriksa sertifikat ikan hasil tangkapan.
(3) Setiap kapal perikanan yang akan berlayar melakukan penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan dari pelabuhan perikanan wajib memiliki Surat Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan oleh syahbandar di pelabuhan perikanan.
(4) Syahbandar di pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh menteri yang membidangi urusan pelayaran.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya, syahbandar di pelabuhan perikanan dikoordinasikan oleh pejabat yang bertanggung jawab di pelabuhan perikanan setempat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesyahbandaran di pelabuhan perikanan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

20. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga Pasal 43 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 43
Setiap kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan wajib memiliki surat laik operasi kapal perikanan dari pengawas perikanan tanpa dikenai biaya.

21. Ketentuan Pasal 44 ayat (1) diubah, sehingga Pasal 44 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44
(1) Surat Persetujuan Berlayar sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (2) huruf a dikeluarkan oleh syahbandar setelah kapal perikanan mendapatkan surat laik operasi.
(2) Surat laik operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh pengawas perikanan setelah dipenuhi persyaratan administrasi dan kelayakan teknis.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administrasi dan kelayakan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

22. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga Pasal 46 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 46
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah menyusun dan mengembangkan sistem informasi dan data statistik perikanan serta menyelenggarakan pengumpulan, pengolahan, analisis, penyimpanan, penyajian, dan penyebaran data potensi, pemutakhiran data pergerakan ikan, sarana dan prasarana, produksi, penanganan, pengolahan dan pemasaran ikan, serta data sosial ekonomi yang berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan dan pengembangan sistem bisnis perikanan.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah mengadakan pusat data dan informasi perikanan untuk menyelenggarakan sistem informasi dan data statistik perikanan.

23. Di antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 46A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 46A
Pemerintah menjamin kerahasiaan data dan informasi perikanan yang berkaitan dengan data log book penangkapan dan pengangkutan ikan, data yang diperoleh pengamat, dan data perusahaan dalam proses perizinan usaha perikanan.

24. Ketentuan Pasal 48 ayat (1) diubah, serta di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a), sehingga Pasal 48 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 48
(1) Setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan dan lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan di luar wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dikenakan pungutan perikanan.
(1a) Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penerimaan negara bukan pajak.
(2) Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan bagi nelayan kecil dan pembudi daya-ikan kecil.

25. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga Pasal 50 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 50
Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49 digunakan untuk pembangunan perikanan serta kegiatan konservasi sumber daya ikan dan lingkungannya.

26. Ketentuan Pasal 65 ayat (1) dihapus sehingga Pasal 65 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 65
Pemerintah dapat memberikan tugas kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan di bidang perikanan.

27. Ketentuan Pasal 66 ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga Pasal 66 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 66
(1) Pengawasan perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan.
(2) Pengawas perikanan bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan.
(3) Pengawasan tertib pelaksanaan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. kegiatan penangkapan ikan;
b. pembudidayaan ikan, perbenihan;
c. pengolahan, distribusi ke luar masuk ikan;
d. mutu hasil perikanan;
e. distribusi ke luar masuk obat ikan;
f. konservasi;
g. pencemaran akibat perbuatan manusia;
h. plasma nutfah;
i. penelitian dan pengembangan perikanan; dan
j. ikan hasil rekayasa genetik.

28. Di antara Pasal 66 dan Pasal 67 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 66A, Pasal 66B, dan Pasal 66C, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 66A
(1) Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 merupakan pegawai negeri sipil yang bekerja di bidang perikanan yang diangkat oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dididik untuk menjadi Penyidik Pengawai Negeri Sipil Perikanan.
(3) Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditetapkan sebagai pejabat fungsional pengawas perikanan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jabatan fungsional pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 66B
(1) Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 melaksanakan tugas di:
a. wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia;
b. kapal perikanan;
c. pelabuhan perikanan dan/atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk;
d. pelabuhan tangkahan;
e. sentra kegiatan perikanan;
f. area pembenihan ikan;
g. area pembudidayaan ikan;
h. unit pengolahan ikan; dan/atau
i. kawasan konservasi perairan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 66C
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, pengawas perikanan berwenang:
a. memasuki dan memeriksa tempat kegiatan usaha perikanan;
b. memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan;
c. memeriksa kegiatan usaha perikanan;
d. memeriksa sarana dan prasarana yang digunakan untuk kegiatan perikanan;
e. memverifikasi kelengkapan dan keabsahan SIPI dan SIKPI;
f. mendokumentasikan hasil pemeriksaan;
g. mengambil contoh ikan dan/atau bahan yang diperlukan untuk keperluan pengujian laboratorium;
h. memeriksa peralatan dan keaktifan sistem pemantauan kapal perikanan;
i. menghentikan, memeriksa, membawa, menahan, dan menangkap kapal dan/atau orang yang diduga atau patut diduga melakukan tindak pidana perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sampai dengan diserahkannya kapal dan/atau orang tersebut di pelabuhan tempat perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut oleh penyidik;
j. menyampaikan rekomendasi kepada pemberi izin untuk memberikan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
k. melakukan tindakan khusus terhadap kapal perikanan yang berusaha melarikan diri dan/atau melawan dan/atau membahayakan keselamatan kapal pengawas perikanan dan/atau awak kapal perikanan; dan/atau
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(2) Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya dapat dilengkapi dengan kapal pengawas perikanan, senjata api, dan/atau alat pengaman diri.

29. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga Pasal 69 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 69
(1) Kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
(2) Kapal pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilengkapi dengan senjata api.
(3) Kapal pengawas perikanan dapat menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal yang diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia ke pelabuhan terdekat untuk pemrosesan lebih lanjut.
(4) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.

30. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga Pasal 71 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 71
(1) Dengan Undang-Undang ini dibentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan.
(2) Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum.
(3) Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dibentuk di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual.
(4) Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di pengadilan negeri.
(5) Pembentukan pengadilan perikanan selanjutnya dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

31. Di antara Pasal 71 dan Pasal 72 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 71A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 71A
Pengadilan perikanan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun warga negara asing.

32. Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga Pasal 73 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 73
(1) Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2) Selain penyidik TNI AL, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di ZEEI.
(3) Penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di pelabuhan perikanan, diutamakan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan koordinasi dalam penanganan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan.
(5) Untuk melakukan koordinasi dalam penanganan tindak pidana di bidang perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri membentuk forum koordinasi.

33. Di antara Pasal 73 dan Pasal 74 disisipkan 2 (dua) pasal yakni Pasal 73A dan Pasal 73B, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 73A
Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 berwenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan;
b. memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya;
c. membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya;
d. menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga digunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan;
e. menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan;
f. memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan;
g. memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan;
h. mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan;
i. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan;
j. melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana;
k. melakukan penghentian penyidikan; dan
l. mengadakan tindakan lain yang menurut hukum dapat dipertanggungjawabkan.

Pasal 73B
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 memberitahukan dimulainya penyidikan kepada penuntut umum paling lama 7 (tujuh) hari sejak ditemukan adanya tindak pidana di bidang perikanan.
(2) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat menahan tersangka paling lama 20 (dua puluh) hari.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh penuntut umum paling lama 10 (sepuluh) hari.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak menutup kemungkinan tersangka dikeluarkan dari tahanan sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(5) Setelah waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari tahanan demi hukum.
(6) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73A menyampaikan hasil penyidikan ke penuntut umum paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak pemberitahuan dimulainya penyidikan.

34. Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga Pasal 75 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 75
(1) Penuntutan terhadap tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh penuntut umum yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
(2) Penuntut umum perkara tindak pidana di bidang perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. berpengalaman menjadi penuntut umum sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun;
b. telah mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis di bidang perikanan; dan
c. cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama menjalankan tugasnya.

35. Ketentuan Pasal 76 ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (9), sehingga Pasal 76 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 76
(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik wajib memberitahukan hasil penelitiannya kepada penyidik dalam waktu 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal diterimanya berkas penyidikan.
(2) Dalam hal hasil penyidikan yang disampaikan tidak lengkap, penuntut umum harus mengembalikan berkas perkara kepada penyidik yang disertai dengan petunjuk tentang hal-hal yang harus dilengkapi.
(3) Dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus menyampaikan kembali berkas perkara tersebut kepada penuntut umum.
(4) Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 5 (lima) hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu tersebut berakhir sudah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik.
(5) Dalam hal penuntut umum menyatakan hasil penyidikan tersebut lengkap dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari terhitung sejak tanggal penerimaan berkas dari penyidik dinyatakan lengkap, penuntut umum harus melimpahkan perkara tersebut kepada pengadilan perikanan.
(6) Untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan selama 10 (sepuluh) hari.
(7) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang berwenang paling lama 10 (sepuluh) hari.
(8) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) tidak menutup kemungkinan tersangka dikeluarkan dari tahanan sebelum jangka waktu penahanan berakhir jika kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi.
(9) Penuntut umum menyampaikan berkas perkara kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penerimaan berkas dari penyidik dinyatakan lengkap.

36. Di antara Bagian Kedua dan Bagian Ketiga disisipkan 1(satu) bagian yakni Bagian Kedua A, yang berbunyi sebagai berikut:

Bagian Kedua A
Barang Bukti

Pasal 76A
Benda dan/atau alat yang digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri.

Pasal 76B
(1) Barang bukti hasil tindak pidana perikanan yang mudah rusak atau memerlukan biaya perawatan yang tinggi dapat dilelang dengan persetujuan ketua pengadilan negeri.
(2) Barang bukti hasil tindak pidana perikanan yang mudah rusak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa jenis ikan terlebih dahulu disisihkan sebagian untuk kepentingan pembuktian di pengadilan.

Pasal 76C
(1) Benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76A dapat dilelang untuk negara.
(2) Pelaksanaan lelang dilakukan oleh badan lelang negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Uang hasil pelelangan dari hasil penyitaan tindak pidana perikanan disetor ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak.
(4) Aparat penegak hukum di bidang perikanan yang berhasil menjalankan tugasnya dengan baik dan pihak yang berjasa dalam upaya penyelamatan kekayaan negara diberi penghargaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan yang berupa kapal perikanan dapat diserahkan kepada kelompok usaha bersama nelayan dan/atau koperasi perikanan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian penghargaan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

37. Di antara Pasal 78 dan Pasal 79 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 78A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 78A
(1) Setiap pengadilan negeri yang telah ada pengadilan perikanan, dibentuk subkepaniteraan pengadilan perikanan yang dipimpin oleh seorang panitera muda.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, panitera muda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibantu oleh beberapa orang panitera pengganti.
(3) Panitera muda dan panitera pengganti pengadilan perikanan berasal dari lingkungan pengadilan negeri.
(4) Ketentuan mengenai persyaratan, tata cara pengangkatan, dan pemberhentian panitera muda dan panitera pengganti pengadilan perikanan serta susunan organisasi, tugas, dan tata kerja subkepaniteraan pengadilan perikanan diatur dengan peraturan Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

38. Di antara Pasal 83 dan Pasal 84 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 83A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 83A
(1) Selain yang ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana perikanan atau tindak pidana lainnya, awak kapal lainnya dapat dipulangkan termasuk yang berkewarganegaraan asing.
(2) Pemulangan awak kapal berkewarganegaraan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang keimigrasian melalui kedutaan atau perwakilan negara asal awak kapal.
(3) Ketentuan mengenai pemulangan awak kapal berkewarganegaraan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

39. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga Pasal 85 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 85
Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

40. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga Pasal 93 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 93
(1) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(2) Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
(3) Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, yang tidak membawa SIPI asli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
(4) Setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di ZEEI, yang tidak membawa SIPI asli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).

41. Di antara Pasal 94 dan Pasal 95 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 94A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 94A
Setiap orang yang memalsukan dan/atau menggunakan SIUP, SIPI, dan SIKPI palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28A dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

42. Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga Pasal 98 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 98
Nakhoda kapal perikanan yang tidak memiliki surat persetujuan berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

43. Di antara Pasal 100 dan Pasal 101 disisipkan 4 (empat) pasal yakni Pasal 100A, Pasal 100B, Pasal 100C, dan Pasal 100D, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 100A
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28A, pemalsuan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dan pemalsuan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 yang melibatkan pejabat, pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana pokok.

Pasal 100B
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 12, Pasal 14 ayat (4), Pasal 16 ayat (1), Pasal 20 ayat (3), Pasal 21, Pasal 23 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (1), Pasal 28 ayat (3), Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), Pasal 38, Pasal 42 ayat (3), atau Pasal 55 ayat (1) yang dilakukan oleh nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 100C
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dilakukan oleh nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 100D
Dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana denda, maka denda dimaksud wajib disetorkan ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak kementerian yang membidangi urusan perikanan.

44. Ketentuan Pasal 105 dihapus.

45. Ketentuan Pasal 110 diubah sehingga Pasal 110 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 110
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3299); dan
b. Ketentuan mengenai penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 14 dan ketentuan mengenai pidana denda dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3260) khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perikanan;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

46. Di antara Pasal 110 dan Pasal 111 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 110A, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 110A
Semua Peraturan Pemerintah yang diamanatkan untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.

PASAL II
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Oktober 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

PATRIALIS AKBAR
ke atas

(c)2010 Ditjen PP :: www.djpp.depkumham.go.id || www.djpp.info || Kembali