[Aktifkan javascript untuk melihat halaman ini.]
BAB I
KETENTUAN UMUM

Tujuan dari peraturan ini adalah:
a. sebagai pedoman penggunaan dan pembiayaan jasa telekomunikasi di lingkungan Polri.
b. terwujudnya ketertiban dalam penggunaan dan pembiayaan jasa telekomunikasi di lingkungan Polri secara efektif, efisien, transparan dan akuntabel.

BAB II
PENGGUNAAN SARANA TELEKOMUNIKASI

Bagian Kesatu
Jenis Layanan dan Penggunaan

Pasal 3
Jenis layanan jasa telekomunikasi yang digunakan di lingkungan Polri terdiri dari:
a. saluran telepon tetap atau PSTN;
b. saluran telepon selular (Public Land Mobile Network/PLMN);
c. VPN;
d. jaringan akses internet;
e. Dedicated Intellegent Network Access (DINA);
f. ISDN;
g. transponder satelit; dan
h. saluran komunikasi umum satelit.

Pasal 4
(1) Jenis layanan saluran telepon tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a berupa:
a. saluran langsung yang terhubung dengan penyedia jasa telekomunikasi; dan
b. saluran cabang melalui
private branch exchange (PBX).
(2) Fasilitas layanan saluran telepon tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sambungan internal antar cabang PBX;
b. sambungan lokal;
c. sambungan interlokal melalui operator dan/atau perangkat;
d. sambungan langsung jarak jauh (SLJJ);
e. sambungan ke telepon selular;
f. sambungan internasional melalui operator dan/atau perangkat; dan
g. sambungan langsung internasional (SLI).
(3) Pejabat Polri yang dapat menggunakan fasilitas layanan saluran telepon tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan ini.

(1) Jenis layanan VPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c meliputi:
a. VPN dedicated line;
b. VSAT;
c. VPN dial; dan
d. VPN agregator.
(2) Jenis layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh:
a. Satker pada Mabes Polri;
b. Satker pada Polda;
c. Polres;
d. Polsek yang membutuhkan akses online; dan
e. Pos perbatasan dan tempat lainnya yang dianggap strategis.
(3) Jenis layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d digunakan oleh:
a. Satker yang telah mempunyai aplikasi dengan kebutuhan bandwidthrendah atau yang berkedudukan di luar LAN intranet Mabes Polri atau Mapolda;
b. Polsek; dan
c. Polsubsektor.
(4) Alokasi dan fasilitas layanan VPN pada tingkat Mabes Polri dan satuan kewilayahan yang tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan ini.

Pasal 7
(1) Jenis layanan jaringan akses internet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d meliputi:
a. internet protocol (IP) transit;
b. dedicated line modem (DLM);
c. digital subscriber line modem (DSL); dan
d. dial up modem.
(2) Internet protocol (IP) transit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan layanan interkoneksi ke global internet dengan fitur full route border gateway protocol (BGP) Internet dan menggunakan blok IP dan AutonomousSystem Number(ASN) milik Polri.
(3) Dedicated line modem (DLM)sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan layanan akses internet simetris, dengan quality of service (QoS) 1: 1.
(4) Digital subscriber line (DSL) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan layanan akses internet asimetris, dengan QoS sama dengan 12-128 Kbps.
(5) Dial up modemsebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan layanan akses internet dengan men-dial nomor tertentu, dengan bandwidth maksimum 52 Kbps tanpa dilengkapi QoS.

Pasal 8
(1) Jenis layanan jaringan akses internet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b dapat digunakan kepada satuan kerja:
a. tingkat Mabes Polri;
b. tingkat Polda; dan
c. tingkat Polres.
(2) Jenis layanan jaringan akses internet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf c dan huruf d dapat diberikan kepada satuan kerja:
a. tingkat Mabes Polri;
b. tingkat Polda;
c. tingkat Polres;
d. tingkat Polsek; dan
e. tingkat Polsubsektor.
(3) Alokasi dan fasilitas layanan jaringan akses internet di lingkungan Polri tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan ini.

(1) Jenis layanan ISDN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f terdiri dari:
a. Basic Rate Access (BRA); dan
b. Primary Rate Access (PRA).
(2) BRA merupakan layanan ISDN yang menyediakan dua saluran dengan kecepatan masing-masing 64 Kbps yang dapat digunakan untuk suara, data dan atau video serta dilengkapi dengan satu saluran 16 Kbps untuk membangun koneksi (signalling).
(3) PRA merupakan layanan ISDN yang menyediakan 30 saluran yang dapat digunakan untuk suara, data dan atau video serta dilengkapi dengan satu saluran 64 Kbps untuk membangun koneksi (signalling).
(4) Jenis layanan ISDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan oleh satuan kerja pada Mabes Polri dan Polda.

Pasal 11
(1) Jenis layanan transponder satelit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g meliputi:
a. bandwidth transponder tetap; dan
b. bandwidth transponder on demand yang sifatnya situasional.
(2) Penggunaan transponder satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. stasiun bumi stasioner merupakan jenis komunikasi satelit yang dipasang di markas Polri;
b. stasiun bumi transportable merupakan jenis komunikasi satelit dengan perangkat melekat secara permanen pada kendaraan angkutnya;
c. stasiun bumi portable (flyaway) merupakan jenis komunikasi satelit yang mudah dipindah-pindahkan dan dapat diangkut dengan pesawat komersial; dan
d. stasiun bumi bergerak (on the move) merupakan jenis komunikasi satelit yang dipasang di kendaraan, kapal apung dan pesawat terbang dengan kemampuan online secara bergerak.
(3) Jenis layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk pelayanan sistem komunikasi satelit Polri dengan layanan berupa suara, data, dan/atau video (multimedia).
(4) Jenis layanan transponder satelit digunakan oleh:
a. satuan kerja tingkat Mabes Polri; dan
b. satuan kerja tingkat Polda.
(5) Penggunaan jenis layanan transponder satelit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan pada:
a. area atau daerah yang belum terjangkau oleh infrastruktur telekomunikasi publik; dan
b. kegiatan Polri bersifat situasional yang berskala nasional maupun internasional.

Perizinan layanan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 meliputi:
a. pemasangan baru berupa instalasi dan aktifasi;
b. jumlah satuan sambungan;
c. peningkatan dan penurunan kapasitas (upgrade and downgrade);
d. pemindahan sambungan; dan
e. pemutusan layanan.

Pasal 14
(1) Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 diajukan oleh Kasatker dan/atau pengemban fungsi Teknologi Informasi kepada:
a. Kepala Divisi Teknologi Informasi (Kadiv TI) Polri di tingkat Mabes Polri; dan
b. Kepala Bidang Teknologi Informasi (Kabid TI) di tingkat Polda.
(2) Kadiv TI Polri berwenang mengeluarkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas semua jenis layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(3) Kabid TI Polda berwenang mengeluarkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atas jenis layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a sampai dengan huruf f.

BAB III
PEMBIAYAAN JASA TELEKOMUNIKASI

Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), merupakan biaya penggunaan layanan jasa telekomunikasi:
a. saluran telepon tetap atau PSTN;
b. saluran telepon selular atau PLMN;
c. VPN;
d. jaringan akses internet;
e. DINA;
f. ISDN;
g. transponder satelit; dan
h. saluran komunikasi umum satelit.

Pasal 17
(1) Jenis biaya dalam penggunaan jasa telekomunikasi di lingkungan Polri meliputi:
a. biaya pemasangan baru berupa instalasi dan aktifasi;
b. biaya mutasi layanan yaitu meliputi peningkatan kapasitas dan pemindahan perangkat;
c. biaya beban (abonemen) dan pemakaian jasa telekomunikasi; dan
d. biaya pemakaian jasa telekomunikasi secara tarif tetap.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebankan pada:
a. DIPA Satker Div TI Polri, untuk pembiayaan rutin di tingkat Mabes Polri;
b. DIPA Satker Bid TI Polda, untuk pembiayaan rutin di tingkat Polda dan jajarannya;
c. anggaran kontinjensi Mabes Polri, yang dikelola oleh Kadiv TI Polri atas persetujuan Kapolri; dan
d. anggaran kontinjensi Polda, yang dikelola oleh Kabid TI Polda atas persetujuan Kapolda.
(3) Dalam hal penambahan layanan baru atau penambahan kapasitas bandwidth yang tidak melalui persetujuan Kadiv TI Polri atau Kabid TI Polda, maka biaya yang timbul menjadi beban Satker dan/atau Satwil pengguna.
(4) Dalam hal penggunaan layanan jasa telekomunikasi melebihi biaya yang telah ditetapkan sesuai pagu, maka kelebihan tersebut dibebankan kepada Satker dan/atau Satwil pengguna.
(5) Dalam hal penggunaan layanan jasa telekomunikasi di luar kepentingan dinas, maka biaya penggunaannya dibebankan kepada individu pemakai.

BAB IV
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN

Pasal 18
Pengawasan

(1) Pengawasan terhadap penggunaan dan pembiayaan jasa telekomunikasi dilaksanakan melalui:
a. pengawasan manajerial;
b. pengawasan operasional; dan
c. pengawasan dan pembinaan teknis.
(2) Pengawasan manajerial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilaksanakan oleh:
a. Itwasum Polri, pada Satker Mabes Polri sampai satuan kewilayahan; dan
b. Itwasda, pada Satker Polda dan jajarannya.
(3) Pengawasan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilaksanakan oleh Kasatker dan Kasatwil sebagai pengguna jasa telekomunikasi.
(4) Pengawasan dan pembinaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilaksanakan oleh pengemban fungsi TI:
a. tingkat Mabes Polri oleh Div TI Polri;
b. tingkat Polda oleh Bid TI; dan
c. tingkat Polres oleh Si TI.

(1) Dalam hal terdapat ketentuan yang belum diatur dalam peraturan ini, maka akan diatur dengan peraturan tersendiri.
(2) Dalam hal terjadi perubahan struktur organisasi Polri, maka penyebutan organisasi dan jabatan disesuaikan dengan ketentuan yang baru.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 21
Pada saat Peraturan ini mulai berlaku, maka Surat Keputusan Kapolri No.Pol.: Skep/1136/VII/1998 tanggal 31 Juli 1998 tentang Ketentuan Penggunaan dan Pembayaran Sarana Telekomunikasi Umum di Jajaran Polri, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 22
Peraturan Kapolri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Kapolri ini diundangkan dengan
penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Februari 2011
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

TIMUR PRADOPO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Maret 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

PATRIALIS AKBAR