[Aktifkan javascript untuk melihat halaman ini.]
BAB I
KETENTUAN UMUM

(1) Tatanan kepelabuhanan perikanan nasional diwujudkan dalam rangka penyelenggaraan pelabuhan perikanan yang andal dan berkemampuan tinggi, menjamin efisiensi, dan mempunyai daya saing global untuk menunjang pembangunan perikanan di WPP-NRI.
(2) Tatanan kepelabuhanan perikanan nasional merupakan sistem kepelabuhanan perikanan secara nasional yang mencerminkan perencanaan kepelabuhanan perikanan berdasarkan kawasan ekonomi, geografis, dan keunggulan komparatif wilayah, serta kondisi alam.
(3) Tatanan kepelabuhanan perikanan nasional memuat:
a. fungsi pelabuhan perikanan;
b. fasilitas pelabuhan perikanan;
c. klasifikasi pelabuhan perikanan; dan
d. rencana induk pelabuhan perikanan nasional.

Bagian Kedua
Fungsi Pelabuhan Perikanan

Pasal 3
(1) Pelabuhan perikanan merupakan pendukung kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran.
(2) Pelabuhan perikanan mempunyai fungsi sebagai berikut:
a. pemerintahan; dan
b. pengusahaan.
(3) Fungsi pemerintahan pada pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, merupakan fungsi untuk melaksanakan pengaturan, pembinaan, pengendalian, pengawasan, serta keamanan dan keselamatan operasional kapal perikanan di pelabuhan perikanan.
(4) Fungsi pengusahaan pada pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, merupakan fungsi untuk melaksanakan pengusahaan berupa penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal perikanan dan jasa terkait di pelabuhan perikanan.
(5) Fungsi pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), meliputi:
a. pelayanan pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan;
b. pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan;
c. tempat pelaksanaan penyuluhan dan pengembangan masyarakat nelayan;
d. pelaksanaan kegiatan operasional kapal perikanan;
e. tempat pelaksanaan pengawasan dan pengendalian sumberdaya ikan;
f. pelaksanaan kesyahbandaran;
g. tempat pelaksanaan fungsi karantina ikan;
h. publikasi hasil pelayanan sandar dan labuh kapal perikanan dan kapal pengawas kapal perikanan;
i. tempat publikasi hasil penelitian kelautan dan perikanan;
j. pemantauan wilayah pesisir;
k. pengendalian lingkungan;
l. kepabeanan; dan/atau
m. keimigrasian.
(6) Selain memiliki fungsi pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pelabuhan perikanan dapat melaksanakan fungsi pemerintahan lainnya yang terkait dengan pengelolaan perikanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(7) Fungsi pengusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), meliputi:
a. pelayanan tambat dan labuh kapal perikanan;
b. pelayanan bongkar muat ikan;
c. pelayanan pengolahan hasil perikanan;
d. pemasaran dan distribusi ikan;
e. pemanfaatan fasilitas dan lahan di pelabuhan perikanan;
f. pelayanan perbaikan dan pemeliharaan kapal perikanan;
g. pelayanan logistik dan perbekalan kapal perikanan;
h. wisata bahari; dan/atau
i. penyediaan dan/atau pelayanan jasa lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Fasilitas Pelabuhan Perikanan

Pasal 4
(1) Dalam rangka menunjang fungsi pelabuhan perikanan, setiap pelabuhan perikanan memiliki fasilitas yang terdiri dari:
a. fasilitas pokok;
b. fasilitas fungsional; dan
c. fasilitas penunjang.
(2) Fasilitas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dapat terdiri atas: penahan gelombang (breakwater), turap (revetment), dan groin;
a. dermaga;
b. jetty;
c. kolam pelabuhan;
d. alur pelayaran;
e. jalan komplek dan drainase; dan
f. lahan.
(3) Fasilitas fungsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat terdiri atas:
a. Tempat Pemasaran Ikan (TPI);
b. navigasi pelayaran dan komunikasi seperti telepon, internet, radio komunikasi, rambu-rambu, lampu suar, dan menara pengawas;
c. air bersih, instalasi Bahan Bakar Minyak (BBM), es, dan instalasi listrik;
d. tempat pemeliharaan kapal dan alat penangkapan ikan seperti dock/slipway, bengkel dan tempat perbaikan jaring;
e. tempat penanganan dan pengolahan hasil perikanan seperti transit sheed dan laboratorium pembinaan mutu;
f. perkantoran seperti kantor administrasi pelabuhan, pos pelayanan terpadu, dan perbankan;
g. transportasi seperti alat-alat angkut ikan;
h. kebersihan dan pengolahan limbah seperti Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), Tempat Pembuangan Sementara (TPS); dan
i. pengamanan kawasan seperti pagar kawasan.
(4) Fasilitas penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dapat terdiri atas:
a. balai pertemuan nelayan;
b. mess operator;
c. wisma nelayan;
d. fasilitas sosial dan umum seperti tempat peribadatan dan Mandi Cuci Kakus (MCK);
e. pertokoan; dan
f. pos jaga.
(5) Fasilitas yang harus ada pada pelabuhan perikanan meliputi:
a. fasilitas pokok terdiri dari lahan, dermaga, kolam pelabuhan, jalan komplek dan drainase;
b. fasilitas fungsional terdiri dari kantor administrasi pelabuhan, TPI, suplai air bersih, dan instalasi listrik;
c. fasilitas penunjang terdiri dari pos jaga dan MCK.

Bagian Keempat
Klasifikasi Pelabuhan Perikanan

PPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a ditetapkan berdasarkan kriteria teknis dan operasional, yang meliputi:
a. Kriteria teknis terdiri dari:
1) mampu melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan laut lepas;
2) memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-kurangnya 60 GT;
3) panjang dermaga sekurang-kurangnya 300 m, dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya minus 3 m;
4) mampu menampung kapal perikanan sekurang-kurangnya 100 unit atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 6.000 GT; dan
5) memanfaatkan dan mengelola lahan sekurang-kurangnya 20 ha.
b. Kriteria operasional terdiri dari:
1) ikan yang didaratkan sebagian untuk tujuan ekspor;
2) terdapat aktivitas bongkar muat ikan dan pemasaran hasil perikanan rata-rata 50 ton per hari; dan
3) terdapat industri pengolahan ikan dan industri penunjang lainnya.

Pasal 7
PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b ditetapkan berdasarkan kriteria teknis dan operasional, yang meliputi:
a. Kriteria teknis terdiri dari:
1) mampu melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di perairan Indonesia dan ZEEI;
2) memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-kurangnya 30 GT;
3) panjang dermaga sekurang-kurangnya 150 m, dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya minus 3 m;
4) mampu menampung kapal perikanan sekurang-kurangnya 75 unit atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 2.250 GT; dan
5) memanfaatkan dan mengelola lahan sekurang-kurangnya 10 ha.
b. Kriteria operasional terdiri dari:
1) terdapat aktivitas bongkar muat ikan dan pemasaran hasil perikanan rata-rata 30 ton per hari; dan
2) terdapat industri pengolahan ikan dan industri penunjang lainnya.

Pasal 8
PPP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c ditetapkan berdasarkan kriteria teknis dan operasional, yang meliputi:
a. Kriteria teknis terdiri dari:
1) mampu melayani kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan di perairan Indonesia;
2) memiliki fasilitas tambat labuh untuk kapal perikanan berukuran sekurang-kurangnya 10 GT;
3) panjang dermaga sekurang-kurangnya 100 m, dengan kedalaman kolam sekurang-kurangnya minus 2 m;
4) mampu menampung kapal perikanan sekurang-kurangnya 30 unit atau jumlah keseluruhan sekurang-kurangnya 300 GT; dan
5) memanfaatkan dan mengelola lahan sekurang-kurangnya 5 ha.
b. Kriteria operasional terdiri dari:
1) terdapat aktivitas bongkar muat ikan dan pemasaran hasil perikanan rata-rata 5 ton per hari; dan
2) terdapat industri pengolahan ikan dan industri penunjang lainnya.

(1) Dalam rangka pengaturan tatanan kepelabuhanan perikanan nasional, pemerintah menyusun rencana induk pelabuhan perikanan nasional.
(2) Rencana induk pelabuhan perikanan nasional memuat:
a. kebijakan pelabuhan perikanan nasional; dan
b. rencana lokasi pelabuhan perikanan.
(3) Kebijakan pelabuhan perikanan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan arah pembangunan pelabuhan perikanan, dan pengembangan pelabuhan perikanan agar penyelenggaraan pelabuhan perikanan dapat saling mendukung antara satu dan lainnya.
(4) Rencana lokasi pelabuhan perikanan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b mempertimbangkan:
a. Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil/Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Provinsi/Kabupaten/Kota;
b. potensi sumberdaya ikan;
c. daya dukung sumberdaya manusia;
d. wilayah pengelolaan perikanan;
e. dukungan prasarana wilayah;
f. geografis daerah dan kondisi perairan; dan
g. sosial ekonomi masyarakat.
(5) Rencana induk pelabuhan perikanan nasional ditetapkan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.
(6) Rencana induk pelabuhan perikanan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(7) Dalam hal terjadi perubahan kondisi lingkungan atau bencana, maka rencana induk pelabuhan perikanan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(8) Rencana induk pelabuhan perikanan nasional ditetapkan oleh Menteri.

BAB III
PERENCANAAN PEMBANGUNAN PELABUHAN PERIKANAN

Pasal 11
(1) Perencanaan pembangunan pelabuhan perikanan disusun dan ditetapkan oleh penyelenggara pelabuhan perikanan dengan mengacu pada rencana induk pelabuhan perikanan nasional.
(2) Perencanaan pembangunan pelabuhan perikanan terdiri atas:
a. studi kelayakan;
b. rencana induk pelabuhan perikanan; dan
c. desain rinci (detail design).

(1) Rencana induk pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf b disusun berdasarkan studi kelayakan.
(2) Rencana induk pelabuhan perikanan berisi rencana tata guna tanah dan perairan yang meliputi rencana peruntukan wilayah kerja dan wilayah pengoperasian pelabuhan perikanan.
(3) Rencana induk pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam bentuk dokumen yang memuat:
a. latar belakang;
b. gambaran umum kondisi lokasi;
c. kerangka kebijakan strategi pembangunan pelabuhan perikanan;
d. tahapan dan jangka waktu pelaksanaan pembangunan pelabuhan perikanan;
e. rencana titik koordinat wilayah kerja dan wilayah pengoperasian pelabuhan perikanan;
f. rencana fasilitas yang akan dibangun;
g. perkiraan kebutuhan anggaran;
h. rencana pengelolaan pelabuhan perikanan; dan
i. gambar tata letak (\lay out).
(4) Rencana induk pelabuhan perikanan dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.

Pasal 14
(1) Desain rinci (detail design) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c disusun setelah memperoleh penetapan Lokasi atau izin lokasi dari bupati/walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Penetapan lokasi atau izin lokasi untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta diberikan oleh gubernur.
(3) Desain rinci (detail design) dituangkan dalam bentuk dokumen yang memuat:
a. kondisi mekanika tanah;
b. kondisi hidro-oseanografi;
c. kondisi topografi dan bathymetri;
d. struktur dan model konstruksi yang direncanakan;
e. gambar desain;
f. rincian anggaran biaya; dan
g. spesifikasi teknis fasilitas yang akan dibangun.

(1) Pembangunan pelabuhan perikanan dilaksanakan setelah mendapat rekomendasi pembangunan pelabuhan perikanan dari Direktur Jenderal.
(2) Untuk mendapatkan rekomendasi pembangunan pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara pelabuhan perikanan mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan:
a. dokumen perencanaan pembangunan pelabuhan perikanan; dan
b. persyaratan administrasi berupa akte pendirian perusahaan, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) bagi pelabuhan perikanan yang dibangun oleh swasta.
(3) Direktur Jenderal berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan penilaian terhadap kelengkapan persyaratan dengan memperhatikan rencana induk pelabuhan perikanan nasional paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan secara lengkap.
(4) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disetujui, maka Direktur Jenderal menerbitkan rekomendasi pembangunan pelabuhan perikanan.
(5) Dalam hal permohonan tidak disetujui, maka Direktur Jenderal menyampaikan penolakan kepada penyelenggara pelabuhan perikanan disertai dengan alasan penolakan.

Bagian Kedua
Pembangunan Pelabuhan Perikanan

Pasal 17
(1) Pelaksanaan pembangunan pelabuhan perikanan dapat dilakukan oleh pihak penyedia jasa konstruksi berdasarkan konsesi atau bentuk lainnya.
(2) Dalam pembangunan pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara pelabuhan perikanan atau pihak penyedia jasa konstruksi harus:
a. mulai melaksanakan pembangunan pelabuhan perikanan paling lama 2 (dua) tahun sejak dikeluarkannya rekomendasi pembangunan;
b. melaksanakan pekerjaan pembangunan pelabuhan perikanan sesuai dengan perencanaan pembangunan pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2); dan
c. bertanggung jawab terhadap dampak yang timbul selama pelaksanaan pembangunan pelabuhan perikanan yang bersangkutan.
(3) Direktur Jenderal melakukan pengendalian pelaksanaan pembangunan pelabuhan perikanan melalui monitoring dan evaluasi.

Pasal 18
Pembangunan fasilitas pelabuhan perikanan di wilayah daratan hanya dapat dilakukan setelah memperoleh Izin Mendirikan Bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Pengoperasian Pelabuhan Perikanan

Penyelenggara pelabuhan perikanan yang mengoperasikan pelabuhan perikanan harus:
a. bertanggung jawab sepenuhnya atas pengoperasian pelabuhan perikanan yang bersangkutan; dan
b. menaati ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan dan lingkungan.

BAB V
LEMBAGA PENGELOLA PELABUHAN PERIKANAN

Pasal 21
(1) Pelabuhan perikanan yang telah beroperasi harus membentuk lembaga pengelola pelabuhan perikanan.
(2) Lembaga pengelola pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a) Unit Pelaksana Teknis Kementerian, untuk pelabuhan perikanan yang dibangun oleh Pemerintah.
b) Unit Pelaksana Teknis Daerah, untuk pelabuhan perikanan yang dibangun oleh Pemerintah Daerah.
c) Unit pengelola pelabuhan perikanan untuk pelabuhan perikanan yang tidak dibangun oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Ketentuan mengenai lembaga pengelola pelabuhan perikanan yang dibangun oleh Pemerintah dan pemerintah daerah ditetapkan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai kewenangannya.
(4) Ketentuan mengenai lembaga pengelola pelabuhan perikanan yang tidak dibangun oleh Pemerintah dan pemerintah daerah ditetapkan oleh swasta yang bersangkutan.

(1) Lembaga pengelola pelabuhan perikanan yang dibangun oleh Pemerintah ditetapkan oleh Menteri setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri yang membidangi urusan pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi.
(2) Lembaga pengelola pelabuhan perikanan yang dibangun oleh pemerintah daerah ditetapkan oleh Pemerintahan Daerah.

BAB VI
PENETAPAN DAN PENINGKATAN KELAS PELABUHAN PERIKANAN

Bagian Kesatu
Penetapan Kelas

Pasal 24
(1) Pelabuhan Perikanan yang telah beroperasi dan telah memiliki lembaga pengelola pelabuhan perikanan dapat ditetapkan kelasnya berdasarkan kriteria teknis dan kriteria operasional.
(2) Permohonan penetapan kelas pelabuhan perikanan diajukan oleh penyelenggara pelabuhan perikanan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan persyaratan:
a. fotocopy pernyataan kesiapan beroperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b; dan
b. laporan operasional pelaksanaan pelabuhan perikanan minimal 6 (enam) bulan setelah beroperasi.
(4) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan verifikasi oleh Direktur Jenderal paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan secara lengkap.
(5) Direktur Jenderal menyampaikan laporan hasil verifikasi kepada Menteri sebagai bahan pertimbangan penetapan kelas pelabuhan perikanan.
(6) Berdasarkan laporan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Menteri menetapkan kelas pelabuhan perikanan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.

Bagian Kedua
Peningkatan Kelas

Pasal 25
(1) Pelabuhan perikanan yang telah ditetapkan kelasnya dapat mengajukan permohonan peningkatan kelas berdasarkan kriteria teknis dan kriteria operasional.
(2) Permohonan peningkatan kelas pelabuhan perikanan diajukan oleh penyelenggara pelabuhan perikanan kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilengkapi dengan data fasilitas pelabuhan perikanan, data operasional pelabuhan perikanan, organisasi pengelola/sumber daya manusia, proyeksi pengembangan pelabuhan perikanan, dan rencana pembiayaan.
(4) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan verifikasi oleh Direktur Jenderal paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan secara lengkap.
(5) Direktur Jenderal menyampaikan laporan hasil verifikasi kepada Menteri sebagai bahan pertimbangan dalam peningkatan kelas pelabuhan perikanan.
(6) Berdasarkan laporan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Menteri menetapkan peningkatan kelas pelabuhan perikanan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja.

BAB VII
WILAYAH KERJA DAN PENGOPERASIAN PELABUHAN PERIKANAN

Pasal 26
(1) Untuk kepentingan penyelenggaraan pelabuhan perikanan, ditetapkan Wilayah Kerja dan Pengoperasian Pelabuhan Perikanan yang ditetapkan dengan batas-batas koordinat.
(2) Wilayah Kerja Pelabuhan Perikanan terdiri dari:
a. Wilayah Kerja Daratan yang dipergunakan antara lain sebagai lahan pelabuhan, perkantoran administrasi pelabuhan perikanan, tempat penanganan dan pengolahan hasil perikanan, TPI, suplai air bersih, es dan BBM, pos jaga, dan tempat ibadah;
b. Wilayah Kerja Perairan yang dipergunakan antara lain sebagai kolam pelabuhan, breakwater (pemecah gelombang), revetment (turap), groin, dermaga dan jetty.
(3) Wilayah Pengoperasian Pelabuhan Perikanan terdiri dari:
a. Wilayah Pengoperasian Daratan yang dipergunakan antara lain sebagai akses jalan dari dan ke pelabuhan perikanan, permukiman nelayan, pasar ikan dan lainnya yang berpengaruh langsung terhadap operasional pelabuhan perikanan.
b. Wilayah Pengoperasian Perairan yang dipergunakan antara lain sebagai alur pelayaran dari dan ke pelabuhan perikanan, keperluan keadaan darurat, kegiatan pemanduan, uji coba kapal, penempatan kapal mati, dan kapal yang di ad hoc.

Pasal 27
(1) Wilayah Kerja dan Pengoperasian Pelabuhan Perikanan ditetapkan oleh Menteri berdasarkan permohonan dari penyelenggara pelabuhan perikanan.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri yang dilengkapi dengan persyaratan:
a. Izin lokasi atau penetapan lokasi dari gubernur, bupati/walikota sesuai kewenangannya; dan
b. rencana induk pelabuhan perikanan.
(3) Menteri berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan penilaian terhadap kelengkapan persyaratan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan secara lengkap.
(4) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan lengkap, Menteri menetapkan Wilayah Kerja dan Pengoperasian Pelabuhan Perikanan.
(5) Dalam hal permohonan dinyatakan tidak lengkap, maka permohonan disampaikan kepada penyelenggara pelabuhan perikanan untuk dilengkapi persyaratannya.
(6) Wilayah Kerja dan Pengoperasian Pelabuhan Perikanan yang ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berisi:
a. titik-titik koordinat geografis; dan
b. peta Wilayah Kerja dan Pengoperasian Pelabuhan Perikanan berdasarkan peta dasar di daerah tersebut.
(7) Wilayah Kerja dan Pengoperasian Pelabuhan Perikanan yang telah ditetapkan dapat dilakukan perubahan dengan memperhatikan rencana induk pelabuhan perikanan dan diusulkan oleh penyelenggara pelabuhan perikanan.
(8) Perubahan Wilayah Kerja dan Pengoperasian Pelabuhan Perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) antara lain meliputi:
a. perubahan luas wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan; dan/atau
b. perubahan titik koordinat geografis wilayah kerja dan pengoperasian pelabuhan perikanan.

BAB VIII
PENGUSAHAAN PELABUHAN PERIKANAN

Pasal 28
(1) Pelabuhan Perikanan yang dibangun oleh Pemerintah, pemerintah daerah maupun swasta dapat dilakukan pengusahaan.
(2) Pengusahaan pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa pemanfaatan fasilitas dan pelayanan jasa.
(3) Pengusahaan pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB IX
KESYAHBANDARAN DI PELABUHAN PERIKANAN

Pasal 29
(1) Dalam rangka keselamatan operasional kapal perikanan, ditunjuk Syahbandar di pelabuhan perikanan.
(2) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan diangkat oleh Menteri yang membidangi urusan pelayaran atas usulan Menteri.
(3) Syahbandar di Pelabuhan Perikanan ditempatkan dan ditugaskan di pelabuhan perikanan oleh Direktur Jenderal.
(4) Syahbandar di pelabuhan perikanan dalam melaksanakan tugasnya berkoordinasi dan bertanggung jawab kepada kepala Pelabuhan Perikanan setempat.

Pasal 30
(1) Syahbandar di pelabuhan perikanan mempunyai tugas dan wewenang:
a. menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar;
b. mengatur kedatangan dan keberangkatan kapal perikanan;
c. memeriksa ulang kelengkapan dokumen kapal perikanan;
d. memeriksa teknis dan nautis kapal perikanan dan memeriksa alat penangkapan ikan, dan alat bantu penangkapan ikan;
e. memeriksa dan mengesahkan perjanjian kerja laut;
f. memeriksa log book penangkapan dan pengangkutan ikan;
g. mengatur olah gerak dan lalulintas kapal perikanan di pelabuhan perikanan;
h. mengawasi pemanduan;
i. mengawasi pengisian bahan bakar;
j. mengawasi kegiatan pembangunan fasilitas pelabuhan perikanan;
k. melaksanakan bantuan pencarian dan keselamatan;
l. memimpin penanggulangan pencemaran dan pemadaman kebakaran di pelabuhan perikanan;
m. mengawasi pelaksanaan perlindungan lingkungan maritim;
n. memeriksa pemenuhan persyaratan pengawakan kapal;
o. menerbitkan Surat Tanda Bukti Lapor Kedatangan dan Keberangkatan Kapal Perikanan; dan
p. memeriksa sertifikat ikan hasil tangkapan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Kesyahbandaran di pelabuhan perikanan diatur dalam Peraturan Menteri tersendiri.

BAB X
TATA HUBUNGAN KERJA DI PELABUHAN PERIKANAN

Pasal 31
(1) Lembaga pengelola pelabuhan perikanan yang dibangun oleh Pemerintah atau pemerintah daerah mempunyai tugas melaksanakan fasilitasi produksi dan pemasaran hasil perikanan di wilayahnya, fasilitasi pengawasan pemanfaatan sumber daya ikan, dan kelancaran kegiatan kapal perikanan, serta pelayanan kesyahbandaran di pelabuhan perikanan, dan kegiatan pemerintahan lainnya.
(2) Penyelenggaraan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Kepala Pelabuhan Perikanan sebagai koordinator di pelabuhan perikanan.
(3) Lembaga pengelola pelabuhan perikanan dalam menjalankan fungsi pelabuhan perikanan dapat didukung oleh instansi/unit kerja terkait sesuai dengan kewenangannya.
(4) Instansi/unit kerja terkait di pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari:
a. Pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota;
b. TNI/POLRI;
c. Imigrasi;
d. Bea dan Cukai;
e. Kesehatan Pelabuhan;
f. Perhubungan Laut;
g. Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan;
h. Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan;
i. Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan;
j. Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan;
k. Karantina Ikan;
l. BUMN dan/atau BUMD; dan/atau
m. Instansi terkait lainnya.
(5) Instansi terkait dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di pelabuhan perikanan harus berkoordinasi dengan Kepala Pelabuhan Perikanan.

Pasal 32
(1) Fasilitas pelabuhan perikanan yang dimiliki oleh lembaga pengelola pelabuhan perikanan pada wilayah kerja pelabuhan perikanan menjadi tanggung jawab unit pengelola pelabuhan perikanan.
(2) Fasilitas pelabuhan perikanan yang dimiliki oleh instansi terkait pada wilayah kerja pelabuhan perikanan menjadi tanggung jawab instansi yang bersangkutan.
(3) Terhadap fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), lembaga pengelola pelabuhan perikanan berwenang:
a. melaksanakan penataan dan pengendalian pelabuhan perikanan sesuai dengan rencana induk pelabuhan perikanan;
b. memberikan persetujuan pemanfaatan lahan sesuai dengan rencana induk pelabuhan perikanan dan peraturan perundang-undangan.
(4) Terhadap fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Instansi terkait pemilik fasilitas bertanggung jawab, untuk:
a. melaksanakan pemanfaatan fasilitas setelah memperoleh persetujuan dari Kepala Pelabuhan Perikanan; dan
b. memelihara fasilitas dan lingkungan yang dikelola.

BAB XI
PENGEMBANGAN PELABUHAN PERIKANAN

Pasal 33
(1) Pelabuhan perikanan yang telah beroperasi dapat dilakukan pengembangan sesuai dengan kebutuhannya.
(2) Pengembangan pelabuhan perikanan dapat dilaksanakan apabila:
a. terjadi perubahan rencana induk pelabuhan perikanan; dan
b. fasilitas yang ada dalam rencana induk pelabuhan perikanan telah terpenuhi.
(3) Mekanisme perencanaan dan pelaksanaan pembangunan pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 18 berlaku secara mutatis mutandis bagi mekanisme pengembangan pelabuhan perikanan.

BAB XII
PEMBINAAN DAN PELAPORAN PELABUHAN PERIKANAN

Bagian Kesatu
Pembinaan

Pasal 34
(1) Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya melaksanakan pembinaan teknis operasional terhadap pelabuhan perikanan.
(2) Pembinaan teknis operasional pelabuhan perikanan dilakukan melalui sosialisasi, rapat koordinasi, bimbingan teknis, dan supervisi.

Bagian Kedua
Pelaporan

Pasal 35
(1) Lembaga pengelola pelabuhan perikanan wajib menyampaikan laporan kegiatan pelabuhan perikanan setiap bulan.
(2) Laporan kegiatan pelabuhan perikanan meliputi:
a. tahapan pembangunan pelabuhan perikanan; dan/atau
b. operasional pelabuhan perikanan antara lain: frekuensi dan jumlah kapal, produksi ikan, pelayanan kebutuhan logistik, dan penyerapan tenaga kerja.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh:
a. Unit Pelaksana Teknis Kementerian kepada Direktur Jenderal;
b. Unit Pelaksana Teknis Daerah provinsi kepada gubernur dengan tembusan kepada Direktur Jenderal;
c. Unit Pelaksana Teknis Daerah kabupaten/kota kepada bupati/walikota dengan tembusan kepada Direktur Jenderal dan gubernur; dan
d. Unit pengelola pelabuhan perikanan untuk pelabuhan perikanan yang tidak dibangun oleh Pemerintah kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada gubernur dan bupati/walikota.
(4) Apabila Laporan kegiatan pelabuhan perikanan digunakan sebagai bahan evaluasi kinerja dan penyusunan kebijakan pembangunan, pengembangan dan pengelolaan pelabuhan perikanan.
(5) Apabila diperlukan, untuk menyusun bahan evaluasi kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan pemantauan oleh Direktur Jenderal, gubernur, bupati/walikota sesuai kewenangannya.
(6) Ketentuan lebih lanjut tentang bentuk dan format laporan kegiatan pelabuhan perikanan ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal.

BAB XIII
PUSAT INFORMASI PELABUHAN PERIKANAN

Pasal 36
(1) Setiap pelabuhan perikanan harus memiliki pusat informasi pelabuhan perikanan.
(2) Pusat informasi pelabuhan perikanan merupakan sistem informasi yang meliputi pengumpulan, pengelolaan, penganalisaan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data dan informasi pelabuhan perikanan.
(3) Data dan informasi pelabuhan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipergunakan untuk:
a. mendukung operasional pelabuhan perikanan;
b. meningkatkan pelayanan informasi kepada masyarakat; dan
c. mendukung perumusan kebijakan di bidang pelabuhan perikanan.
(4) Data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berisi antara lain:
a. fasilitas pelabuhan perikanan; dan
b. data operasional harian, bulanan, dan tahunan pelabuhan perikanan, yang berisi frekuensi kunjungan kapal, produksi dan harga ikan, alat penangkapan ikan, logistik, pemasaran, dan tenaga kerja yang berbentuk data harian.
(5) Setiap Sistem Informasi Pelabuhan Perikanan harus saling terintegrasi.

BAB XIV
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 37
(1) Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya melakukan pembinaan terhadap keberadaan pelabuhan tangkahan yang berada di sekitarnya.
(2) Pembinaan terhadap keberadaan pelabuhan tangkahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengumpulan data tangkapan dan hasil perikanan;
b. pembinaan mutu dan pengolahan hasil perikanan; dan
c. pengendalian lingkungan.

BAB XV
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 38
Dengan berlakunya Peraturan Menteri ini, semua pelabuhan perikanan yang telah ada dan beroperasi, tetap dapat beroperasi, dengan ketentuan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak Peraturan Menteri ini berlaku, wajib menyesuaikan dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini.

BAB XVI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 39
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, maka:
1. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.16/MEN/2006 tentang Pelabuhan Perikanan; dan
2. Keputusan Menteri Pertanian Nomor 1082/Kpts/OT.210/10/99 tentang Tata Hubungan Kerja Unit Pelaksana Teknis Pelabuhan Perikanan Dengan Instansi Terkait dalam Pengelolaan Pelabuhan Perikanan;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 40
Peraturan Menteri ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 20 April 2012
MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN
REPUBLIK INDONESIA,

SHARIF C. SUTARDJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 April 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

AMIR SYAMSUDIN