(1) Setiap terjadi dugaan pelanggaran Kode Etik oleh Pegawai dibentuk Majelis Kode Etik.
(2) Pembentukan Majelis Kode Etik ditetapkan oleh:
a. Kepala BPS, apabila dugaan pelanggaran Kode Etik dilakukan oleh Pegawai yang menduduki jabatan eselon I, Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, atau Kepala BPS Provinsi;
b. Sekretaris Utama, apabila dugaan pelanggaran Kode Etik dilakukan oleh Pegawai yang menduduki jabatan eselon II ke bawah, fungsional tertentu, atau fungsional umum/staf di BPS;
c. Kepala BPS Provinsi, apabila dugaan pelanggaran Kode Etik dilakukan oleh Pegawai yang menduduki jabatan eselon III ke bawah atau fungsional tertentu, fungsional umum/staf di BPS Provinsi dan Kepala BPS Kabupaten/Kota di wilayah kerjanya; dan
d. Kepala BPS Kabupaten/Kota, apabila dugaan pelanggaran Kode Etik dilakukan oleh Pegawai yang menduduki jabatan eselon IV, fungsional tertentu, atau fungsional umum/staf di BPS Kabupaten/Kota.
(3) Keanggotaan Majelis Kode Etik, terdiri dari:
a. 1 (satu) orang Ketua merangkap Anggota;
b. 1 (satu) orang Sekretaris merangkap Anggota; dan
c. sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Anggota.
(4) Apabila Anggota Majelis Kode Etik lebih dari lima orang, maka jumlahnya harus ganjil.
(5) Jabatan dan pangkat Anggota Majelis Kode Etik tidak boleh lebih rendah dari jabatan dan pangkat Pegawai yang diperiksa karena diduga melanggar Kode Etik.
(6) Apabila Anggota Majelis Kode Etik yang akan dibentuk oleh Kepala BPS Provinsi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5), maka Anggota Majelis Kode Etik dapat berasal dari pejabat di BPS setelah berkoordinasi dengan Kepala Biro Kepegawaian.
(7) Apabila Anggota Majelis Kode Etik yang akan dibentuk oleh Kepala BPS Kabupaten/Kota tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5), maka Anggota Majelis Kode Etik dapat berasal dari pejabat di BPS Provinsi yang bersangkutan setelah berkoordinasi dengan Kepala Bagian Tata Usaha.
(8) Contoh pembentukan Majelis Kode Etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini.
Bagian Kedua
Pemanggilan dan Pemeriksaan
Pasal 7(1) Pegawai yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik dipanggil untuk diperiksa oleh Majelis Kode Etik.
(2) Apabila diperlukan, Majelis Kode Etik dapat memanggil orang lain untuk dimintai keterangan guna kepentingan pemeriksaan.
(3) Panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh Ketua atau Sekretaris Majelis Kode Etik.
(4) Pemanggilan secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3), disampaikan kepada yang bersangkutan paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum tanggal pemeriksaan.
(5) Apabila dengan surat panggilan yang pertama Pegawai dan/atau orang lain untuk dimintai keterangan tidak hadir, maka dilakukan pemanggilan kedua paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak tanggal seharusnya yang bersangkutan diperiksa.
(6) Apabila pada tanggal pemeriksaan yang ditentukan dalam surat panggilan kedua, Pegawai yang bersangkutan tidak hadir, maka Majelis Kode Etik menjatuhkan sanksi berdasarkan alat bukti dan keterangan yang ada tanpa dilakukan pemeriksaan.
(7) Apabila pada tanggal pemeriksaan yang ditentukan dalam surat panggilan kedua, orang lain untuk dimintai keterangan tidak hadir, maka Majelis Kode Etik tidak perlu memanggil lagi yang bersangkutan.
(8) Setiap penyampaian surat panggilan kepada Pegawai yang diduga melakukan pelanggaran Kode Etik dan orang lain untuk dimintai keterangan, harus dengan tanda terima.
(9) Contoh surat panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini.
Pasal 8(1) Pemeriksaan dilakukan secara tertutup, hanya diketahui dan dihadiri oleh Pegawai yang diperiksa dan Majelis Kode Etik.
(2) Pegawai yang diperiksa karena diduga melakukan pelanggaran Kode Etik, wajib menjawab segala pertanyaan yang diajukan oleh Majelis Kode Etik.
(3) Apabila Pegawai yang diperiksa tidak mau menjawab pertanyaan, maka yang bersangkutan dianggap mengakui dugaan pelanggaran Kode Etik yang dilakukannya.
(4) Hasil pemeriksaan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan dan ditandatangani oleh Anggota Majelis Kode Etik yang memeriksa dan Pegawai yang diperiksa.
(5) Apabila Pegawai yang diperiksa tidak bersedia menandatangani Berita Acara Pemeriksaan, maka Berita Acara Pemeriksaan tersebut cukup ditandatangani oleh Anggota Majelis Kode Etik yang memeriksa, dengan memberikan catatan bahwa Pegawai yang diperiksa tidak bersedia menandatangani.
(6) Contoh Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini.
Bagian Ketiga
Pengambilan Keputusan
Majelis Kode Etik wajib menyampaikan Berita Acara Pemeriksaan dan keputusan hasil sidang majelis kepada pejabat yang berwenang menjatuhkan sanksi moral, sebagai bahan dalam menetapkan keputusan penjatuhan sanksi moral.
Pasal 11(1) Pejabat yang berwenang menjatuhkan sanksi moral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, yaitu:
a. pejabat eselon IV, bagi Pegawai yang menduduki jabatan fungsional umum/staf di bawahnya;
b. pejabat eselon III, bagi Pegawai yang menduduki jabatan eselon IV di bawahnya;
c. pejabat eselon II, bagi Pegawai yang menduduki jabatan eselon III dan jabatan fungsional tertentu di bawahnya;
d. pejabat eselon I, bagi Pegawai yang menduduki jabatan eselon II dan jabatan fungsional tertentu di bawahnya; dan
e. Kepala BPS, bagi Pegawai yang menduduki jabatan eselon I, Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Statistik, dan Kepala BPS Provinsi;
(2) Penjatuhan sanksi moral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan keputusan, dan dalam keputusan tersebut harus disebutkan jenis pelanggaran Kode Etik yang dilakukan.
(3) Penjatuhan sanksi moral dilakukan melalui:
a. pernyataan secara tertutup, disampaikan oleh pejabat yang berwenang menjatuhkan sanksi moral; dan
b. pernyataan secara terbuka, disampaikan oleh Kepala BPS atau pejabat lain yang ditunjuk.
(4) Pernyataan secara tertutup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a hanya diketahui oleh Pegawai yang bersangkutan dan pejabat yang menyampaikan keputusan, serta pejabat lain yang terkait, dengan ketentuan pejabat terkait dimaksud tidak boleh berpangkat lebih rendah dari Pegawai yang bersangkutan.
(5) Pernyataan secara terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat disampaikan melalui forum-forum pertemuan resmi, upacara bendera, media massa/buletin, papan pengumuman, dan/atau forum lain yang dipandang sesuai.
(6) Contoh keputusan pejabat yang berwenang menjatuhkan sanksi moral sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini.
Bagian Kedua
Tindakan Administratif
Pegawai yang tidak terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik berdasarkan keputusan hasil pemeriksaan Majelis Kode Etik direhabilitasi nama baiknya.
BAB VIII
PENUTUP
Pasal 14Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 4 Februari 2013
KEPALA BADAN PUSAT STATISTIK,
SURYAMIN
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Februari 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
Lampiran: bn220-2013lamp