(1) Bahan yang berasal dari tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b pada dasarnya halal, kecuali yang memabukkan dan/atau membahayakan kesehatan bagi orang yang mengonsumsinya.
(2) Bahan yang berasal dari mikroba dan bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi, atau proses rekayasa genetik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan huruf d diharamkan jika proses pertumbuhan dan/atau pembuatannya tercampur, terkandung, dan/atau terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan.
(3) Bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Menteri berdasarkan fatwa MUI.
(1) Lokasi, tempat, dan alat PPH wajib dipisahkan dengan lokasi, tempat, dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk tidak halal.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai lokasi, tempat, dan alat PPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pelaku Usaha berhak memperoleh:
a. informasi, edukasi, dan sosialisasi mengenai sistem JPH;
b. pembinaan dalam memproduksi Produk Halal; dan
c. pelayanan untuk mendapatkan Sertifikat Halal secara cepat, efisien, biaya terjangkau, dan tidak diskriminatif.
Pasal 24Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal wajib:
a. memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur;
b. memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak halal;
c. memiliki Penyelia Halal; dan
d. melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada BPJPH.
Pasal 25Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib:
a. mencantumkan Label Halal terhadap Produk yang telah mendapat Sertifikat Halal;
b. menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal;
c. memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak halal;
d. memperbarui Sertifikat Halal jika masa berlaku Sertifikat Halal berakhir; dan
e. melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada BPJPH.
Pasal 26(1) Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20 dikecualikan dari mengajukan permohonan Sertifikat Halal.
(2) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada Produk.
Pasal 27(1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif; atau
c. pencabutan Sertifikat Halal.
(2) Pelaku Usaha yang tidak melakukan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran lisan;
b. peringatan tertulis; atau
c. denda administratif.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 28(1) Penyelia Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c bertugas:
a. mengawasi PPH di perusahaan;
b. menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan;
c. mengoordinasikan PPH; dan
d. mendampingi Auditor Halal LPH pada saat pemeriksaan.
(2) Penyelia Halal harus memenuhi persyaratan:
a. beragama Islam; dan
b. memiliki wawasan luas dan memahami syariat tentang kehalalan.
(3) Penyelia Halal ditetapkan oleh pimpinan perusahaan dan dilaporkan kepada BPJPH.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penyelia Halal diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB V
TATA CARA MEMPEROLEH SERTIFIKAT HALAL
Bagian Kesatu
Pengajuan Permohonan
Pasal 29(1) P¬ermohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha secara tertulis kepada BPJPH.
(2) Permohonan Sertifikat Halal harus dilengkapi dengan dokumen:
a. data Pelaku Usaha;
b. nama dan jenis Produk;
c. daftar Produk dan Bahan yang digunakan; dan
d. proses pengolahan Produk.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Penetapan Lembaga Pemeriksa Halal
Pasal 30(1) BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.
(2) Penetapan LPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dinyatakan lengkap.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan LPH diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan dan Pengujian
Pasal 31(1) Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dilakukan oleh Auditor Halal.
(2) Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi.
(3) Dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat Bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium.
(4) Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal.
Pasal 32(1) LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada BPJPH.
(2) BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada MUI untuk memperoleh penetapan kehalalan Produk.
Bagian Keempat
Penetapan Kehalalan Produk
Pasal 33(1) Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI.
(2) Penetapan kehalalan Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal.
(3) Sidang Fatwa Halal MUI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikutsertakan pakar, unsur kementerian/lembaga, dan/atau instansi terkait.
(4) Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memutuskan kehalalan Produk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian Produk dari BPJPH.
(5) Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditandatangani oleh MUI.
(6) Keputusan Penetapan Halal Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal.
Bagian Kelima
Penerbitan Sertifikat Halal
Pasal 34(1) Dalam hal Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menetapkan halal pada Produk yang dimohonkan Pelaku Usaha, BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal.
(2) Dalam hal Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) menyatakan Produk tidak halal, BPJPH mengembalikan permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha disertai dengan alasan.
Pasal 35Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) diterbitkan oleh BPJPH paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak keputusan kehalalan Produk diterima dari MUI.
Pasal 36Penerbitan Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 wajib dipublikasikan oleh BPJPH.
Bagian Keenam
Label Halal
Pasal 37BPJPH menetapkan bentuk Label Halal yang berlaku nasional.
Pasal 38Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib mencantumkan Label Halal pada:
a. kemasan Produk;
b. bagian tertentu dari Produk; dan/atau
c. tempat tertentu pada Produk.
Pasal 39Pencantuman Label Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.
Pasal 40Ketentuan lebih lanjut mengenai Label Halal diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 41(1) Pelaku Usaha yang mencantumkan Label Halal tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran lisan;
b. peringatan tertulis; atau
c. pencabutan Sertifikat Halal.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri.
Bagian Ketujuh
Pembaruan Sertifikat Halal
Pasal 42(1) Sertifikat Halal berlaku selama 4 (empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, kecuali terdapat perubahan komposisi Bahan.
(2) Sertifikat Halal wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berakhir.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembaruan Sertifikat Halal diatur dalam Peraturan Menteri.
Pasal 43Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses JPH wajib menjaga kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan oleh Pelaku Usaha.
Bagian Kedelapan
Pembiayaan
Pasal 44(1) Biaya Sertifikasi Halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal.
(2) Dalam hal Pelaku Usaha merupakan usaha mikro dan kecil, biaya Sertifikasi Halal dapat difasilitasi oleh pihak lain.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai biaya sertifikasi halal diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 45(1) BPJPH dalam mengelola keuangan menggunakan pengelolaan keuangan badan layanan umum.
(2) Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan BPJPH diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB VI
KERJA SAMA INTERNASIONAL
Pasal 46(1) Pemerintah dapat melakukan kerja sama internasional dalam bidang JPH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kerja sama internasional dalam bidang JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk pengembangan JPH, penilaian kesesuaian, dan/atau pengakuan Sertifikat Halal.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama JPH sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 47(1) Produk Halal luar negeri yang diimpor ke Indonesia berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Produk Halal, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak perlu diajukan permohonan Sertifikat Halalnya sepanjang Sertifikat Halal diterbitkan oleh lembaga halal luar negeri yang telah melakukan kerja sama saling pengakuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2).
(3) Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diregistrasi oleh BPJPH sebelum Produk diedarkan di Indonesia.
(4) Ketentuan mengenai tata cara registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 48(1) Pelaku Usaha yang tidak melakukan registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa penarikan barang dari peredaran.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB VII
PENGAWASAN
Pasal 49BPJPH melakukan pengawasan terhadap JPH.
Pasal 50Pengawasan JPH dilakukan terhadap:
a. LPH;
b. masa berlaku Sertifikat Halal;
c. kehalalan Produk;
d. pencantuman Label Halal;
e. pencantuman keterangan tidak halal;
f. pemisahan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak halal;
g. keberadaan Penyelia Halal; dan/atau
h. kegiatan lain yang berkaitan dengan JPH.
Pasal 51(1) BPJPH dan kementerian dan/atau lembaga terkait yang memiliki kewenangan pengawasan JPH dapat melakukan pengawasan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.
(2) Pengawasan JPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 52Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VIII
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 53(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan JPH.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. melakukan sosialisasi mengenai JPH; dan
b. mengawasi Produk dan Produk Halal yang beredar.
(3) Peran serta masyarakat berupa pengawasan Produk dan Produk Halal yang beredar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berbentuk pengaduan atau pelaporan ke BPJPH.
Pasal 54BPJPH dapat memberikan penghargaan kepada masyarakat yang berperan serta dalam penyelenggaraan JPH.
Pasal 55Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan diatur dalam Peraturan Menteri.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 56Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 57Setiap orang yang terlibat dalam penyelenggaraan proses JPH yang tidak menjaga kerahasiaan formula yang tercantum dalam informasi yang diserahkan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 58Sertifikat Halal yang telah ditetapkan oleh MUI sebelum Undang-Undang ini berlaku dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu Sertifikat Halal tersebut berakhir.
Pasal 59`Sebelum BPJPH dibentuk, pengajuan permohonan atau perpanjangan Sertifikat Halal dilakukan sesuai dengan tata cara memperoleh Sertifikat Halal yang berlaku sebelum Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 60MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang Sertifikasi Halal sampai dengan BPJPH dibentuk.
Pasal 61LPH yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku diakui sebagai LPH dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 13 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak BPJPH dibentuk.
Pasal 62Auditor halal yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku diakui sebagai Auditor Halal dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 14 dan Pasal 15 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 63Penyelia Halal perusahaan yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku diakui sebagai Penyelia Halal dan wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 28 paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
BAB XI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 64BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 65Peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 66Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai JPH dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 67(1) Kewajiban bersertifikat halal bagi Produk yang beredar dan diperdagangkan di wilayah Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
(2) Sebelum kewajiban bersertifikat halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku, jenis Produk yang bersertifikat halal diatur secara bertahap.
(3) Ketentuan mengenai jenis Produk yang bersertifikat halal secara bertahap sebagaimana diatur pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 68Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 17 Oktober 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN