[Aktifkan javascript untuk melihat halaman ini.]
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pengaturan Prekursor dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi segala kegiatan yang berhubungan dengan pengadaan dan penggunaan Prekursor untuk keperluan industri farmasi, industri non farmasi, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pasal 3
Pengaturan Prekursor bertujuan untuk:
a. melindungi masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Prekursor;
b. mencegah dan memberantas peredaran gelap Prekursor;
c. mencegah terjadinya kebocoran dan penyimpangan Prekursor; dan
d. menjamin ketersediaan Prekursor untuk industri farmasi, industri non farmasi, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

BAB II
PENGGOLONGAN DAN JENIS PREKURSOR

Pasal 4
(1) Prekursor digolongkan dalam Prekursor Tabel I dan Prekursor Tabel II.
(2) Jenis Prekursor Tabel I dan jenis Prekursor Tabel II sebagaimana tercantum dalam Lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(3) Penambahan dan perubahan jenis Prekursor Tabel I dan Tabel II dalam Lampiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait.

BAB III
RENCANA KEBUTUHAN TAHUNAN

(1) Pengadaan Prekursor dilakukan melalui produksi dalam negeri dan impor.
(2) Prekursor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk tujuan industri farmasi, industri non farmasi, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(3) Alat-alat potensial yang dapat disalahgunakan dalam pengadaan dan penggunaan Prekursor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri dan/atau menteri terkait sesuai dengan kewenangannya.

Bagian Kedua
Produksi

Pasal 7
(1) Prekursor hanya dapat diproduksi oleh industri yang telah memiliki izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Produksi Prekursor untuk industri farmasi harus dilakukan dengan cara produksi yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Prekursor untuk industri farmasi harus memenuhi standar Farmakope Indonesia dan standar lainnya.
(4) Prekursor untuk industri non farmasi harus memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 8
(1) Setiap Prekursor wajib diberi label pada setiap wadah atau kemasan.
(2) Label pada wadah atau kemasan Prekursor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk tulisan, gambar, kombinasi tulisan dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan dalam kemasan, ditempelkan, atau merupakan bagian dari wadah dan/atau kemasannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pelabelan Prekursor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri dan/atau menteri terkait sesuai dengan kewenangannya.

Bagian Ketiga
Penyimpanan

(1) Impor dan ekspor Prekursor hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang memiliki izin usaha importir atau eksportir.
(2) Impor dan ekspor Prekursor harus dilengkapi dengan dokumen yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap melakukan kegiatan impor dan ekspor Prekursor harus memperoleh Surat Persetujuan Impor atau Surat Persetujuan Ekspor.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara memperoleh Surat Persetujuan Impor atau Surat Persetujuan Ekspor Prekursor untuk:
a. industri farmasi diatur oleh Menteri;
b. industri non farmasi diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan; atau
c. pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menggunakan Prekursor di bidang farmasi diatur oleh Menteri, atau yang menggunakan Prekursor di bidang non farmasi diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.

Bagian Kedua
Pengangkutan

Pasal 11
(1) Setiap pengangkutan Prekursor harus disertai dan dilengkapi dengan dokumen pengangkutan Prekursor yang sah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkutan Prekursor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri dan/atau menteri terkait sesuai dengan kewenangannya.

Bagian Ketiga
Transito

(1) Pengemasan dan pengemasan kembali Prekursor pada Transito hanya dapat dilakukan pada Prekursor yang kemasannya mengalami kerusakan.
(2) Pengemasan dan pengemasan kembali Prekursor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di bawah pengawasan dan tanggung jawab pejabat yang berwenang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengemasan dan pengemasan kembali Prekursor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri dan/atau menteri terkait sesuai dengan kewenangannya.

BAB VI
PEREDARAN
Bagian Kesatu
Penyaluran

Pasal 14
(1) Prekursor untuk industri non farmasi yang diproduksi dalam negeri hanya dapat disalurkan kepada industri non farmasi, distributor, dan pengguna akhir.
(2) Prekursor untuk industri non farmasi yang diimpor hanya dapat disalurkan kepada industri non farmasi, dan pengguna akhir.
(3) Prekursor untuk industri farmasi hanya dapat disalurkan kepada industri farmasi dan distributor.
(4) Pedagang Besar Bahan Baku Farmasi, distributor atau importir terdaftar dapat menyalurkan Prekursor kepada lembaga pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(5) Setiap kegiatan penyaluran Prekursor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) harus dilengkapi dengan dokumen penyaluran.
(6)Ketentuan lebih lanjut mengenai penyaluran Prekursor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur oleh Menteri dan/atau menteri terkait sesuai dengan kewenangannya.

Bagian Kedua
Penyerahan

(1) Setiap orang atau badan yang mengelola Prekursor wajib membuat pencatatan dan pelaporan.
(2) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. jumlah Prekursor yang masih ada dalam persediaan;
b. jumlah dan banyaknya Prekursor yang diserahkan; dan
c. keperluan atau kegunaan Prekursor oleh pemesan.
(3) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilaporkan secara berkala.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur secara terkoordinasi oleh Menteri dan/atau menteri terkait sesuai dengan kewenangannya.

BAB VIII
PENGAWASAN

Pasal 17
Pengawasan terhadap penggunaan Prekursor dilakukan secara terpadu dengan pembinaan dan pengendalian.

Pasal 18
(1) Menteri, menteri terkait, dan lembaga lain yang mempunyai tugas dan fungsi pengawasan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan Prekursor secara terkoordinasi melakukan pengawasan sesuai dengan kewenangannya.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan pada:
a. terpenuhinya Prekursor untuk kepentingan industri farmasi dan non farmasi;
b. terpenuhinya Prekursor untuk kepentingan pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pelayanan kesehatan;
c. pencegahan terjadinya penyimpangan dan kebocoran Prekursor;
d. perlindungan kepada masyarakat dari bahaya penyalahgunaan Prekursor; dan
e. pemberantasan peredaran gelap Prekursor.
(3) Pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), petugas pengawas berwenang:
a. melakukan pemeriksaan setempat dan/atau mengambil contoh Prekursor pada sarana produksi, penyaluran, penyimpanan dan peredaran;
b. memeriksa surat/dokumen yang berkaitan dengan Prekursor; dan
c. melakukan pengamanan terhadap Prekursor yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
(5) Petugas pengawas dalam melaksanakan setiap kegiatan pengawasan harus dilengkapi dengan surat tugas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Menteri dan/atau menteri terkait sesuai dengan kewenangannya.

(1) Dalam rangka pengawasan, Menteri dan menteri terkait dapat mengambil tindakan administratif.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan; atau
d. pencabutan izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh Menteri dan/atau menteri terkait sesuai dengan kewenangannya.

BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 21
Industri farmasi, industri non farmasi, Pedagang Besar Bahan Baku Farmasi, distributor atau importir terdaftar, dan lembaga pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan Peraturan Pemerintah ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 22
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 April 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 April 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

PATRIALIS AKBAR

LAMPIRAN:GOLONGAN DAN JENIS PREKURSOR