[Aktifkan javascript untuk melihat halaman ini.]
BAB I
KETENTUAN UMUM

Pengelolaan KSA dan KPA bertujuan untuk mengawetkan keanekaragaman tumbuhan dan satwa dalam rangka mencegah kepunahan spesies, melindungi sistem penyangga kehidupan, dan pemanfaatan keanakeragaman hayati secara lestari.

Pasal 3
Lingkup pengaturan dalam peraturan pemerintah ini meliputi:
a. penetapan KSA dan KPA;
b. penyelenggaraan KSA dan KPA;
c. kerjasama penyelenggaraan KSA dan KPA;
d. daerah penyangga;
e. pendanaan; dan
f. pemberdayaan dan peran serta masyarakat.

BAB II
PENETAPAN KSA DAN KPA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 4
(1) KSA terdiri atas:
a. cagar alam; dan
b. suaka margasatwa.
(2) KPA terdiri atas:
a. taman nasional;
b. taman hutan raya; dan
c. taman wisata alam.

Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan cagar alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a meliputi:
a. memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang tergabung dalam suatu tipe ekosistem;
b. mempunyai kondisi alam, baik tumbuhan dan/atau satwa liar yang secara fisik masih asli dan belum terganggu;
c. terdapat komunitas tumbuhan dan/atau satwa beserta ekosistemnya yang langka dan/atau keberadaaannya terancam punah;
d. memiliki formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusunnya;
e. mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu yang dapat menunjang pengelolaan secara efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami; dan/atau
f. mempunyai ciri khas potensi dan dapat merupakan contoh ekosistem yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi.

Pasal 7
Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan suaka margasatwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b meliputi:
a. merupakan tempat hidup dan berkembang biak satu atau beberapa jenis satwa langka dan/atau hampir punah;
b. memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi;
c. merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migrasi tertentu; dan/atau
d. mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa.

Pasal 8
Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a meliputi:
a. memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik yang masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik;
b. memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh;
c. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami; dan
d. merupakan wilayah yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan/atau zona lainnya sesuai dengan keperluan.

Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman wisata alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c meliputi:
a. mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau bentang alam, gejala alam serta formasi geologi yang unik;
b. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik alam untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; dan
c. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.

Pasal 11
Penunjukan dan penetapan suatu wilayah yang memenuhi kriteria sebagai KSA dan KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 10 dilakukan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB III
PEnYELENGGARAAN KSA DAN KPA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 12
(1) Penyelenggaraan KSA dan KPA kecuali taman hutan raya dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Untuk taman hutan raya, penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota.
(3) Penyelenggaraan KSA dan KPA oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh unit pengelola yang dibentuk oleh Menteri.
(4) Penyelenggaraan taman hutan raya oleh pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh unit pengelola yang dibentuk oleh gubernur atau bupati/walikota.
(5) Unit pengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dibentuk berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 13

Penyelenggaraan KSA dan KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) meliputi kegiatan:
a. perencanaan;
b. perlindungan;
c. pengawetan;
d. pemanfaatan; dan
e. evaluasi kesesuaian fungsi.

Bagian Kedua
Perencanaan

Paragraf 1
Umum

Pasal 14
Perencanaan KSA dan KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a meliputi:
a. inventarisasi potensi kawasan;
b. penataan kawasan;
c. penyusunan rencana pengelolaan.

Paragraf 2
Inventarisasi potensi kawasan

(1) Penataan kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b meliputi:
a. penyusunan zonasi atau blok pengelolaan;
b. penataan wilayah kerja.
(2) Zonasi pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada kawasan taman nasional.
(3) Blok pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada KSA dan KPA selain taman nasional.

Pasal 17
(1) Penyusunan zona atau blok pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a dilakukan oleh unit pengelola dengan memperhatikan hasil konsultasi publik dengan masyarakat di sekitar KSA atau KPA serta pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota.
(2) Penetapan zona atau blok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 18
(1) Zona pengelolaan pada kawasan taman nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) meliputi:
a. zona inti;
b. zona pemanfaatan;
c. zona rimba; dan/atau
d. zona lain sesuai dengan kepentingan.
(2) Zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan kriteria.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan Menteri.

(1) Penataan wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b meliputi:
a. pembagian wilayah kerja ke dalam unit pengelola dan seksi wilayah kerja;
b. pembagian seksi wilayah kerja ke dalam unit yang lebih kecil.
(2) Pembagian wilayah kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada batas wilayah administratif pemerintahan daerah dan/atau keragamanan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Paragraf 4
Penyusunan Rencana Pengelolaan

Pasal 21
(1) Rencana pengelolaan KSA dan KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c disusun oleh unit pengelola.
(2) Penyusunan rencana pengelolaan KSA dan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil inventarisasi data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.

(1) Rencana pengelolaan jangka panjang paling sedikit memuat:
a. visi;
b. misi;
c. strategi;
d. kondisi saat ini;
e. kondisi yang diinginkan;
f. zona dan blok;
g. sumber pendanaan;
h. kelembagaan; dan
i. pemantauan dan evaluasi.
(2) Rencana pengelolaan jangka pendek disusun berdasarkan rencana jangka panjang yang telah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana pengelolaan diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga
Perlindungan

Pasal 24
(1) Perlindungan pada KSA dan KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b termasuk perlindungan terhadap kawasan ekosistem essensial.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui:
a. pencegahan, penanggulangan, dan pembatasan kerusakan yang disebabkan oleh manusia, ternak, alam, spesies infasif, hama, dan penyakit;
b. melakukan pengamanan kawasan secara efektif;
(3) Pelaksanaan perlindungan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat
Pengawetan

Paragraf 1
Umum

Pasal 25
Pengawetan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c meliputi:
a. pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa beserta habitatnya;
b. penetapan koridor hidupan liar;
c. pemulihan ekosistem;
d. penutupan kawasan.

Paragraf 2
Pengelolaan Jenis Tumbuhan dan
Satwa Beserta Habitatnya

Pasal 26
(1) Pengelolaan tumbuhan dan satwa beserta habitatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a meliputi:
a. identifikasi jenis tumbuhan dan satwa;
b. inventarisasi jenis tumbuhan dan satwa;
c. pemantauan;
d. pembinaan habitat dan populasi;
e. penyelamatan jenis; dan
f. penelitian dan pengembangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan tumbuhan dan satwa beserta habitatnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Paragraf 3
Penetapan Koridor Hidupan Liar

Pasal 27
(1) Penetapan koridor hidupan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan antara manusia dan hidupan liar serta memudahkan hidupan liar bergerak sesuai daerah jelajahnya dari satu kawasan ke kawasan lain.
(2) Pengelolaan koridor hidupan liar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bersama oleh para unit pengelola kawasan atau para pihak pemangku kawasan/wilayah yang dihubungkan oleh koridor hidupan liar.

Pasal 28
(1) Penetapan koridor hidupan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) pada wilayah bukan kawasan hutan ditetapkan secara bersama oleh kepala unit pengelola kawasan dengan kepala satuan kerja perangkat daerah setempat.
(2) Penetapan koridor hidupan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) pada kawasan hutan ditetapkan secara bersama oleh para kepala unit pengelola kawasan yang dihubungkan oleh koridor hidupan liar.

Paragraf 4
Pemulihan ekosistem

Pasal 29
(1) Pemulihan ekosistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c dilakukan untuk memulihkan struktur, fungsi, dinamika populasi, serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
(2) Pemulihan ekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. mekanisme alam;
a. rehabilitasi; dan
b. restorasi.
(3) Mekanisme alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dengan menjaga dan melindungi ekosistem agar proses pemulihan ekosistem dapat berlangsung secara alami.
(4) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui penanaman atau pengkayaan jenis dengan jenis tanaman asli atau pernah tumbuh secara alami di lokasi tersebut.
(5) Restorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat dilakukan melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan, penanaman, pengkayaan jenis tumbuhan dan satwa liar, atau pelepasliaran satwa liar hasil penangkaran atau relokasi satwa liar dari lokasi lain.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemulihan ekosistem pada KSA dan KPA diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 30
(1) Restorasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf b dan huruf c dapat dilakukan oleh badan usaha.
(2) Untuk melakukan restorasi atau rehabilitasi, badan usaha harus memperoleh izin dari Menteri.
(3) Badan usaha yang telah memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib:
a. melakukan pengamanan dan perlindungan keanekaragaman hayati dan ekosistem;
b. menyusun rencana jangka panjang dan jangka pendek;
c. melibatkan dan memberdayakan masyarakat setempat; dan
d. menyusun rencana pemanfaatan dan membayar pungutan bagi kegiatan restorasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh izin serta pelaksanaan restorasi dan rehabilitasi oleh badan usaha diatur dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 5
Penutupan Kawasan

Pasal 31
Dalam hal terdapat kondisi kerusakan yang berpotensi mengancam kelestarian KSA dan KPA dan/atau kondisi yang dapat mengancam keselamatan pengunjung atau kehidupan tumbuhan dan satwa, unit pengelola KSA atau KPA dapat melakukan penghentian kegiatan tertentu dan/atau menutup kawasan sebagian atau seluruhnya untuk jangka waktu tertentu.

Bagian Kelima
Pemanfaatan KSA dan KPA
Paragraf 1
Umum

Pasal 32
(1) Pemanfaatan KSA dan KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf d dapat dilakukan pada semua KSA dan KPA.
(2) Kegiatan pemanfaatan KSA dan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak merusak bentang alam dan merubah fungsi KSA dan KPA.
(3) Kegiatan pemanfaatan KSA dan KPA terdiri atas:
a. pemanfaatan kondisi lingkungan; dan
b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.

Paragraf 2
Pemanfaatan Cagar Alam

Pasal 33
Cagar alam dapat dimanfaatkan untuk kegiatan:
a. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
b. pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;
c. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon; dan
d. pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.

Paragraf 3
Pemanfaatan Suaka Margasatwa

Pasal 34
Suaka margasatwa dapat dimanfaatkan untuk kegiatan:
a. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
b. pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;
c. penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam terbatas; dan
d. pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.

Paragraf 4
Pemanfaatan Taman Nasional

Pasal 35
(1) Taman nasional dapat dimanfaatkan untuk kegiatan:
a. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
b. pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;
c. penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam;
d. pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar;
e. pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya;
f. pemanfaatan tradisional.
(2) Pemanfaatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dapat berupa kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi.

Paragraf 5
Pemanfaatan Taman Hutan Raya

Pasal 36
(1) Taman hutan raya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan:
a. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi;
c. koleksi kekayaan keanekaragaman hayati;
d. penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam;
e. pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar dalam rangka menunjang budidaya dalam bentuk penyediaan plasma nutfah;
f. pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat; dan
g. penangkaran dalam rangka pengembangbiakan satwa atau perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam lingkungan yang terkontrol.
(1) Pemanfaatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dapat berupa kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi.

Paragraf 6
Pemanfaatan Taman Wisata Alam

Pasal 37
Taman wisata alam dapat dimanfaatkan untuk kegiatan:
a. penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam;
b. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
c. pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;
d. pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya;
e. penangkaran dalam rangka penetasan telur dan/atau pembesaran anakan yang diambil dari alam; dan
f. pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat.

Paragraf 7
Izin Pemanfaatan KSA dan KPA

Pasal 38
(1) Pemanfaatan KSA dan KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 37 hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pemanfaatan taman hutan raya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin dari gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 39
(1) Setiap pemegang izin pemanfaatan KSA dan KPA wajib membayar iuran dan pungutan.
(2) Iuran dan pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. iuran izin usaha; dan
b. pungutan atas hasil pemanfaatan kondisi lingkungan.
(3) Iuran dan pungutan pemanfaatan KSA dan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penerimaan negara bukan pajak.
(4) Iuran dan pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan bagi izin restorasi dan izin rehabilitasi.
(5) Pungutan atas hasil pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dikenakan setiap tahun atau setiap kegiatan pemanfaatan kondisi lingkungan.

Pasal 40
(1) Pemanfaatan KSA dan KPA untuk wisata alam serta pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan KSA dan KPA untuk penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air, serta energi air, panas, dan angin diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Keenam
Evaluasi Kesesuaian Fungsi

Pasal 41
(1) KSA dan KPA di evaluasi secara periodik setiap 5 (lima) tahun sekali atau sesuai kebutuhan.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengetahui kesesuaian fungsi KSA dan KPA.
(3) Evaluasi kesesuaian fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh tim teknis yang dibentuk oleh Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan evaluasi kesesuaian fungsi KSA dan KPA diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 42
(1) Hasil evaluasi kesesuaian fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan tindak lanjut penyelenggaraan KSA dan KPA.
(2) Tindak lanjut penyelenggaraan KSA dan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pemulihan ekosistem dan/atau perubahan fungsi KSA dan KPA.
(3) Perubahan fungsi KSA dan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB V
KERJASAMA PENYELENGGARAAN KSA DAN KPA

Pasal 43
(1) Penyelenggaraan KSA dan KPA dapat dikerjasamakan dengan badan usaha, lembaga internasional, atau pihak lainnya.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan untuk:
a. penguatan fungsi KSA dan KPA; dan
b. kepentingan pembangunan strategis yang tidak dapat dielakan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kerjasama penyelenggaraan KSA dan KPA diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VI
DAERAH PENYANGGA

Pasal 44
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah harus menetapkan wilayah yang berbatasan dengan wilayah KSA dan KPA sebagai daerah penyangga untuk menjaga keutuhan KSA dan KPA.
(2) Daerah penyangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa kawasan hutan lindung, hutan produksi, serta hutan hak, tanah negara bebas atau tanah yang dibebani hak.

Pasal 45
(1) Daerah penyangga di dalam kawasan hutan lindung atau kawasan hutan produksi ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Daerah penyangga di luar kawasan hutan lindung atau kawasan hutan produksi ditetapkan oleh pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
(3) Penetapan batas daerah penyangga di luar kawasan hutan lindung atau kawasan hutan produksi dilakukan secara terpadu dengan tetap menghormati hak-hak yang dimiliki oleh pemegang hak.
(4) Pemerintah dan pemerintah daerah harus melakukan pengelolaan daerah penyangga melalui:
a. penyusunan rencana pengelolaan daerah penyangga;
b. rehabilitasi, pemanfaatan, perlindungan dan pengamanan; dan
c. pembinaan fungsi daerah penyangga.
(5) Pembinaan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c meliputi:
a. peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya;
b. peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya; dan
c. peningkatan produktivitas lahan.
(6) Rencana pengelolaan daerah penyangga sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf a mengacu kepada rencana pengelolaan KSA dan KPA yang bersangkutan dan rencana pembangunan daerah.

Pasal 46
Pengelolaan daerah penyangga yang merupakan lahan yang telah dibebani hak dilakukan oleh pemegang hak yang bersangkutan dengan memperhatikan rencana pengelolaan daerah penyangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (6).

Pasal 47
Tata cara penetapan dan pengelolaan daerah penyangga diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB VII
PENDANAAN

Pasal 48
Pendanaan pengelolaan KPA dan KSA bersumber pada APBN atau APBD dan sumber dana lainnya sesuai peraturan perundang-undangan.

BAB VIII
PEMBERDAYAAN DAN PERAN SERTA MASYARAKAT

Bagian Kesatu
Pemberdayaan Masyarakat

Pasal 49
(1) Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota harus memberdayakan masyarakat di sekitar KSA dan KPA dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
(2) Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengembangan kapasitas masyarakat dan pemberian akses pemanfaatan KSA atau KPA.
(3) Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui:
a. pengembangan desa konservasi;
b. pemberian izin untuk memungut hasil hutan bukan kayu di zona atau blok pemanfaatan, izin pemanfaatan tradisional, serta izin pengusahaan jasa wisata alam;
c. fasilitasi kemitraan pemegang izin pemanfaatan hutan dengan masyarakat.
(4) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diterbitkan oleh kepala unit pengelola sesuai dengan rencana pengelolaan.
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bukan merupakan hak kepemilikan atas KSA dan KPA dan dilarang memindahtangankan atau mengagunkan izin.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat

Pasal 50
Masyarakat berhak:
a. mengetahui rencana pengelolaan KSA dan KPA;
b. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam penyelenggaraan KSA dan KPA;
c. melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan KSA dan KPA; dan
d. menjaga dan memelihara KSA dan KPA.

BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 51
Pemerintah dapat mengusulkan suatu KSA atau KPA sebagai warisan alam dunia (world heritage site), cagar biosfer, atau sebagai perlindungan tempat migrasi satwa internasional (ramsar site) kepada lembaga internasional yang berwenang untuk ditetapkan sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh lembaga internasional yang bersangkutan.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 52
(1) KSA dan KPA yang telah ditunjuk dan/atau ditetapkan, berdasarkan peraturan perundang-undangan tetap berlaku berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
(2) Izin pemanfataan dan penggunaan kawasan hutan yang telah diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan sebelum kawasan tersebut ditunjuk sebagai KSA dan KPA atau ditunjuk dan/atau ditetapkan sebagai kawasan penyangga, tetap berlaku sampai berakhirnya izin.
(3) Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini yang belum diatur atau belum cukup diatur secara tegas dalam kerjasama pengelolaan KSA dan KPA yang ditandatangani sebelum Peraturan Pemerintah ini ditetapkan, dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun wajib menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini.

BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 53
(1) Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, peraturan pelaksanaan yang telah ada dan tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku.
(2) Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang KSA dan KPA dinyatakan dicabut dan tidak berlaku.

Pasal 54
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Mei 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Mei 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA

PATRIALIS AKBAR