(1) Penataan wilayah kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b meliputi:
a. pembagian wilayah kerja ke dalam unit pengelola dan seksi wilayah kerja;
b. pembagian seksi wilayah kerja ke dalam unit yang lebih kecil.
(2) Pembagian wilayah kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada batas wilayah administratif pemerintahan daerah dan/atau keragamanan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
(1) Rencana pengelolaan KSA dan KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c disusun oleh unit pengelola.
(2) Penyusunan rencana pengelolaan KSA dan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan hasil inventarisasi data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15.
(1) Rencana pengelolaan jangka panjang paling sedikit memuat:
a. visi;
b. misi;
c. strategi;
d. kondisi saat ini;
e. kondisi yang diinginkan;
f. zona dan blok;
g. sumber pendanaan;
h. kelembagaan; dan
i. pemantauan dan evaluasi.
(2) Rencana pengelolaan jangka pendek disusun berdasarkan rencana jangka panjang yang telah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana pengelolaan diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Perlindungan
Pasal 24(1) Perlindungan pada KSA dan KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b termasuk perlindungan terhadap kawasan ekosistem essensial.
(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui:
a. pencegahan, penanggulangan, dan pembatasan kerusakan yang disebabkan oleh manusia, ternak, alam, spesies infasif, hama, dan penyakit;
b. melakukan pengamanan kawasan secara efektif;
(3) Pelaksanaan perlindungan kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Pengawetan
Paragraf 1
Umum
Pasal 25Pengawetan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf c meliputi:
a. pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa beserta habitatnya;
b. penetapan koridor hidupan liar;
c. pemulihan ekosistem;
d. penutupan kawasan.
Paragraf 2
Pengelolaan Jenis Tumbuhan dan
Satwa Beserta Habitatnya
Pasal 26(1) Pengelolaan tumbuhan dan satwa beserta habitatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a meliputi:
a. identifikasi jenis tumbuhan dan satwa;
b. inventarisasi jenis tumbuhan dan satwa;
c. pemantauan;
d. pembinaan habitat dan populasi;
e. penyelamatan jenis; dan
f. penelitian dan pengembangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan tumbuhan dan satwa beserta habitatnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 3
Penetapan Koridor Hidupan Liar
Pasal 27(1) Penetapan koridor hidupan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan antara manusia dan hidupan liar serta memudahkan hidupan liar bergerak sesuai daerah jelajahnya dari satu kawasan ke kawasan lain.
(2) Pengelolaan koridor hidupan liar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bersama oleh para unit pengelola kawasan atau para pihak pemangku kawasan/wilayah yang dihubungkan oleh koridor hidupan liar.
Pasal 28(1) Penetapan koridor hidupan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) pada wilayah bukan kawasan hutan ditetapkan secara bersama oleh kepala unit pengelola kawasan dengan kepala satuan kerja perangkat daerah setempat.
(2) Penetapan koridor hidupan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) pada kawasan hutan ditetapkan secara bersama oleh para kepala unit pengelola kawasan yang dihubungkan oleh koridor hidupan liar.
Paragraf 4
Pemulihan ekosistem
Pasal 29(1) Pemulihan ekosistem sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c dilakukan untuk memulihkan struktur, fungsi, dinamika populasi, serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
(2) Pemulihan ekosistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. mekanisme alam;
a. rehabilitasi; dan
b. restorasi.
(3) Mekanisme alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dengan menjaga dan melindungi ekosistem agar proses pemulihan ekosistem dapat berlangsung secara alami.
(4) Rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui penanaman atau pengkayaan jenis dengan jenis tanaman asli atau pernah tumbuh secara alami di lokasi tersebut.
(5) Restorasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dapat dilakukan melalui kegiatan pemeliharaan, perlindungan, penanaman, pengkayaan jenis tumbuhan dan satwa liar, atau pelepasliaran satwa liar hasil penangkaran atau relokasi satwa liar dari lokasi lain.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemulihan ekosistem pada KSA dan KPA diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 30(1) Restorasi dan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf b dan huruf c dapat dilakukan oleh badan usaha.
(2) Untuk melakukan restorasi atau rehabilitasi, badan usaha harus memperoleh izin dari Menteri.
(3) Badan usaha yang telah memperoleh izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib:
a. melakukan pengamanan dan perlindungan keanekaragaman hayati dan ekosistem;
b. menyusun rencana jangka panjang dan jangka pendek;
c. melibatkan dan memberdayakan masyarakat setempat; dan
d. menyusun rencana pemanfaatan dan membayar pungutan bagi kegiatan restorasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh izin serta pelaksanaan restorasi dan rehabilitasi oleh badan usaha diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 5
Penutupan Kawasan
Pasal 31Dalam hal terdapat kondisi kerusakan yang berpotensi mengancam kelestarian KSA dan KPA dan/atau kondisi yang dapat mengancam keselamatan pengunjung atau kehidupan tumbuhan dan satwa, unit pengelola KSA atau KPA dapat melakukan penghentian kegiatan tertentu dan/atau menutup kawasan sebagian atau seluruhnya untuk jangka waktu tertentu.
Bagian Kelima
Pemanfaatan KSA dan KPA
Paragraf 1
Umum
Pasal 32(1) Pemanfaatan KSA dan KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf d dapat dilakukan pada semua KSA dan KPA.
(2) Kegiatan pemanfaatan KSA dan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak merusak bentang alam dan merubah fungsi KSA dan KPA.
(3) Kegiatan pemanfaatan KSA dan KPA terdiri atas:
a. pemanfaatan kondisi lingkungan; dan
b. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar.
Paragraf 2
Pemanfaatan Cagar Alam
Pasal 33Cagar alam dapat dimanfaatkan untuk kegiatan:
a. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
b. pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;
c. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon; dan
d. pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.
Paragraf 3
Pemanfaatan Suaka Margasatwa
Pasal 34Suaka margasatwa dapat dimanfaatkan untuk kegiatan:
a. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
b. pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;
c. penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam terbatas; dan
d. pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.
Paragraf 4
Pemanfaatan Taman Nasional
Pasal 35(1) Taman nasional dapat dimanfaatkan untuk kegiatan:
a. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
b. pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;
c. penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam;
d. pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar;
e. pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya;
f. pemanfaatan tradisional.
(2) Pemanfaatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dapat berupa kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi.
Paragraf 5
Pemanfaatan Taman Hutan Raya
Pasal 36(1) Taman hutan raya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan:
a. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
b. pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi;
c. koleksi kekayaan keanekaragaman hayati;
d. penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam;
e. pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar dalam rangka menunjang budidaya dalam bentuk penyediaan plasma nutfah;
f. pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat; dan
g. penangkaran dalam rangka pengembangbiakan satwa atau perbanyakan tumbuhan secara buatan dalam lingkungan yang terkontrol.
(1) Pemanfaatan tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dapat berupa kegiatan pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi.
Paragraf 6
Pemanfaatan Taman Wisata Alam
Pasal 37Taman wisata alam dapat dimanfaatkan untuk kegiatan:
a. penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air serta energi air, panas, dan angin serta wisata alam;
b. penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan;
c. pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam;
d. pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya;
e. penangkaran dalam rangka penetasan telur dan/atau pembesaran anakan yang diambil dari alam; dan
f. pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat.
Paragraf 7
Izin Pemanfaatan KSA dan KPA
Pasal 38(1) Pemanfaatan KSA dan KPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 37 hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Pemanfaatan taman hutan raya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin dari gubernur atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal 39(1) Setiap pemegang izin pemanfaatan KSA dan KPA wajib membayar iuran dan pungutan.
(2) Iuran dan pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. iuran izin usaha; dan
b. pungutan atas hasil pemanfaatan kondisi lingkungan.
(3) Iuran dan pungutan pemanfaatan KSA dan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan penerimaan negara bukan pajak.
(4) Iuran dan pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan bagi izin restorasi dan izin rehabilitasi.
(5) Pungutan atas hasil pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dikenakan setiap tahun atau setiap kegiatan pemanfaatan kondisi lingkungan.
Pasal 40(1) Pemanfaatan KSA dan KPA untuk wisata alam serta pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan KSA dan KPA untuk penyimpanan dan/atau penyerapan karbon, pemanfaatan air, serta energi air, panas, dan angin diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Evaluasi Kesesuaian Fungsi
Pasal 41(1) KSA dan KPA di evaluasi secara periodik setiap 5 (lima) tahun sekali atau sesuai kebutuhan.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mengetahui kesesuaian fungsi KSA dan KPA.
(3) Evaluasi kesesuaian fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh tim teknis yang dibentuk oleh Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan evaluasi kesesuaian fungsi KSA dan KPA diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 42(1) Hasil evaluasi kesesuaian fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam menentukan tindak lanjut penyelenggaraan KSA dan KPA.
(2) Tindak lanjut penyelenggaraan KSA dan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pemulihan ekosistem dan/atau perubahan fungsi KSA dan KPA.
(3) Perubahan fungsi KSA dan KPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB V
KERJASAMA PENYELENGGARAAN KSA DAN KPA
Pasal 43(1) Penyelenggaraan KSA dan KPA dapat dikerjasamakan dengan badan usaha, lembaga internasional, atau pihak lainnya.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan untuk:
a. penguatan fungsi KSA dan KPA; dan
b. kepentingan pembangunan strategis yang tidak dapat dielakan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara kerjasama penyelenggaraan KSA dan KPA diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VI
DAERAH PENYANGGA
Pasal 44(1) Pemerintah dan pemerintah daerah harus menetapkan wilayah yang berbatasan dengan wilayah KSA dan KPA sebagai daerah penyangga untuk menjaga keutuhan KSA dan KPA.
(2) Daerah penyangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa kawasan hutan lindung, hutan produksi, serta hutan hak, tanah negara bebas atau tanah yang dibebani hak.
Pasal 45(1) Daerah penyangga di dalam kawasan hutan lindung atau kawasan hutan produksi ditunjuk dan/atau ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Daerah penyangga di luar kawasan hutan lindung atau kawasan hutan produksi ditetapkan oleh pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
(3) Penetapan batas daerah penyangga di luar kawasan hutan lindung atau kawasan hutan produksi dilakukan secara terpadu dengan tetap menghormati hak-hak yang dimiliki oleh pemegang hak.
(4) Pemerintah dan pemerintah daerah harus melakukan pengelolaan daerah penyangga melalui:
a. penyusunan rencana pengelolaan daerah penyangga;
b. rehabilitasi, pemanfaatan, perlindungan dan pengamanan; dan
c. pembinaan fungsi daerah penyangga.
(5) Pembinaan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c meliputi:
a. peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya;
b. peningkatan pengetahuan dan ketrampilan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya; dan
c. peningkatan produktivitas lahan.
(6) Rencana pengelolaan daerah penyangga sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) huruf a mengacu kepada rencana pengelolaan KSA dan KPA yang bersangkutan dan rencana pembangunan daerah.
Pasal 46Pengelolaan daerah penyangga yang merupakan lahan yang telah dibebani hak dilakukan oleh pemegang hak yang bersangkutan dengan memperhatikan rencana pengelolaan daerah penyangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (6).
Pasal 47Tata cara penetapan dan pengelolaan daerah penyangga diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB VII
PENDANAAN
Pasal 48Pendanaan pengelolaan KPA dan KSA bersumber pada APBN atau APBD dan sumber dana lainnya sesuai peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
PEMBERDAYAAN DAN PERAN SERTA MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Pemberdayaan Masyarakat
Pasal 49(1) Pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota harus memberdayakan masyarakat di sekitar KSA dan KPA dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.
(2) Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengembangan kapasitas masyarakat dan pemberian akses pemanfaatan KSA atau KPA.
(3) Pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui:
a. pengembangan desa konservasi;
b. pemberian izin untuk memungut hasil hutan bukan kayu di zona atau blok pemanfaatan, izin pemanfaatan tradisional, serta izin pengusahaan jasa wisata alam;
c. fasilitasi kemitraan pemegang izin pemanfaatan hutan dengan masyarakat.
(4) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b diterbitkan oleh kepala unit pengelola sesuai dengan rencana pengelolaan.
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) bukan merupakan hak kepemilikan atas KSA dan KPA dan dilarang memindahtangankan atau mengagunkan izin.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberdayaan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat
Pasal 50Masyarakat berhak:
a. mengetahui rencana pengelolaan KSA dan KPA;
b. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam penyelenggaraan KSA dan KPA;
c. melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan KSA dan KPA; dan
d. menjaga dan memelihara KSA dan KPA.
BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 51Pemerintah dapat mengusulkan suatu KSA atau KPA sebagai warisan alam dunia (world heritage site), cagar biosfer, atau sebagai perlindungan tempat migrasi satwa internasional (ramsar site) kepada lembaga internasional yang berwenang untuk ditetapkan sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh lembaga internasional yang bersangkutan.
BAB X
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 52(1) KSA dan KPA yang telah ditunjuk dan/atau ditetapkan, berdasarkan peraturan perundang-undangan tetap berlaku berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
(2) Izin pemanfataan dan penggunaan kawasan hutan yang telah diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan sebelum kawasan tersebut ditunjuk sebagai KSA dan KPA atau ditunjuk dan/atau ditetapkan sebagai kawasan penyangga, tetap berlaku sampai berakhirnya izin.
(3) Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini yang belum diatur atau belum cukup diatur secara tegas dalam kerjasama pengelolaan KSA dan KPA yang ditandatangani sebelum Peraturan Pemerintah ini ditetapkan, dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun wajib menyesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 53(1) Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, peraturan pelaksanaan yang telah ada dan tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku.
(2) Pada saat mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini, Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang KSA dan KPA dinyatakan dicabut dan tidak berlaku.
Pasal 54Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Mei 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 19 Mei 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA
PATRIALIS AKBAR