a. menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan melalui penetapan rencana kebijakan lalu lintas yang berlaku pada setiap ruas jalan dan/atau persimpangan di jalan nasional;
b. menteri yang bertanggung jawab di bidang jalan, meliputi penetapan rencana kebijakan pengaturan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalu lintas melalui penetapan kelas jalan berdasarkan penyediaan prasarana jalan, fungsi jalan, dan status jalan;
c. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, meliputi penegakan hukum dan manajemen operasional kepolisian; dan
d. gubernur, bupati, atau walikota, meliputi penetapan rencana kebijakan pengaturan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalu lintas melalui:
Bagian Ketiga
Pengaturan
(1) Kebijakan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 pada jaringan jalan nasional meliputi:
a. perintah, larangan, peringatan, dan/atau petunjuk yang bersifat umum di semua ruas jalan nasional; dan
b. perintah, larangan, peringatan, dan/atau petunjuk yang berlaku pada masing-masing ruas jalan nasional ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perintah, larangan, peringatan, dan/atau petunjuk yang bersifat umum di semua ruas jalan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 24(1) Kebijakan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang dilakukan oleh gubernur pada jalan provinsi meliputi:
a. perintah, larangan, peringatan, dan/atau petunjuk yang bersifat umum di semua ruas jalan provinsi; dan
b. perintah, larangan, peringatan, dan/atau petunjuk yang berlaku pada masing-masing ruas jalan provinsi ditetapkan oleh gubernur.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perintah, larangan, peringatan, dan/atau petunjuk yang bersifat umum di semua ruas jalan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur dengan peraturan daerah provinsi.
Pasal 25(1) Kebijakan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang dilakukan oleh bupati pada jaringan jalan kabupaten dan jalan desa meliputi:
a. perintah, larangan, peringatan, dan/atau petunjuk yang bersifat umum di semua ruas jalan kabupaten dan jalan desa; dan
b. perintah, larangan, peringatan, dan/atau petunjuk yang berlaku pada masing-masing ruas jalan kabupaten dan jalan desa ditetapkan oleh bupati.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perintah, larangan, peringatan, dan/atau petunjuk yang bersifat umum di semua ruas jalan kabupaten dan jalan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur dengan peraturan daerah kabupaten.
Pasal 26(1) Kebijakan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 yang dilakukan oleh walikota pada jaringan jalan kota meliputi:
a. perintah, larangan, peringatan, dan/atau petunjuk yang bersifat umum di semua ruas jalan kota; dan
b. perintah, larangan, peringatan, dan/atau petunjuk yang berlaku pada masing-masing ruas jalan kota ditetapkan oleh walikota.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai perintah, larangan, peringatan, dan/atau petunjuk yang bersifat umum di semua ruas jalan kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diatur dengan peraturan daerah kota.
Pasal 27Penetapan kebijakan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalu lintas pada jaringan jalan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 diinformasikan kepada masyarakat.
Bagian Keempat
Perekayasaan
Pasal 28Perekayasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, meliputi:
a. perbaikan geometrik ruas jalan dan/atau persimpangan serta perlengkapan jalan yang tidak berkaitan langsung dengan pengguna jalan;
b. pengadaan, pemasangan, perbaikan, dan pemeliharaan perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan; dan
c. optimalisasi operasional rekayasa lalu lintas untuk meningkatkan ketertiban, kelancaran, dan efektivitas penegakan hukum.
Pasal 29(1) Perbaikan geometrik ruas jalan dan/atau persimpangan serta perlengkapan jalan yang tidak berkaitan langsung dengan pengguna jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a meliputi perbaikan terhadap bentuk dan dimensi jalan.
(2) Perbaikan geometrik ruas jalan dan/atau persimpangan serta perlengkapan jalan yang tidak berkaitan langsung dengan pengguna jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang jalan, gubernur, bupati, atau walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 30Perbaikan geometrik ruas jalan dan/atau persimpangan serta perlengkapan jalan yang tidak berkaitan langsung dengan pengguna jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) meliputi:
a. inventarisasi kondisi geometrik;
b. penetapan jumlah kebutuhan dan lokasi perbaikan geometrik ruas jalan dan/atau persimpangan jalan;
c. perencanaan teknis; dan
d. pelaksanaan konstruksi.
Pasal 31(1) Pengadaan dan pemasangan perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b meliputi:
a. inventarisasi kebutuhan perlengkapan jalan sesuai kebijakan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalu lintas yang telah ditetapkan;
b. penetapan jumlah kebutuhan dan lokasi pemasangan perlengkapan jalan;
c. penetapan lokasi rinci pemasangan perlengkapan jalan;
d. penyusunan spesifikasi teknis yang dilengkapi dengan gambar teknis perlengkapan jalan; dan
e. kegiatan pemasangan perlengkapan jalan sesuai kebijakan penggunaan jaringan jalan dan gerakan lalu lintas yang telah ditetapkan.
(2) Perbaikan dan pemeliharaan perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b meliputi:
a. memantau keberadaan dan kinerja perlengkapan jalan;
b. menghilangkan atau menyingkirkan benda-benda yang dapat mengurangi atau menghilangkan fungsi/kinerja perlengkapan jalan;
c. memperbaiki atau mengembalikan pada posisi sebenarnya apabila terjadi perubahan atau pergeseran posisi perlengkapan jalan; dan
d. mengganti perlengkapan jalan yang rusak, cacat atau hilang.
(3) Pengadaan, pemasangan, perbaikan, dan pemeliharaan perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, gubernur, bupati, atau walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 32(1) Pengadaan, pemasangan, perbaikan, dan pemeliharaan perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b untuk pembangunan dan preservasi jalan tol dilakukan oleh badan usaha jalan tol dengan berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
(2) Pengadaan, pemasangan, perbaikan, dan pemeliharaan perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23.
Pasal 33Perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf b meliputi:
a. alat pemberi isyarat lalu lintas;
b. rambu lalu lintas;
c. marka jalan;
d. alat penerangan jalan;
e. alat pengendali pemakai jalan, terdiri atas:
1. alat pembatas kecepatan; dan
2. alat pembatas tinggi dan lebar kendaraan.
f. alat pengaman pemakai jalan, terdiri atas:
1. pagar pengaman;
2. cermin tikungan;
3. tanda patok tikungan (delineator);
4. pulau-pulau lalu lintas; dan
5. pita penggaduh.
g. fasilitas pendukung kegiatan lalu lintas dan angkutan jalan yang berada di jalan maupun di luar badan jalan; dan/atau
h. fasilitas pendukung penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 34Optimalisasi operasional rekayasa lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf c dilakukan dalam situasi:
a. perubahan lalu lintas secara tiba-tiba atau situasional;
b. alat pemberi isyarat lalu lintas tidak berfungsi;
c. adanya pengguna jalan yang diprioritaskan;
d. adanya pekerjaan jalan;
e. kerusakan infrastruktur;
f. adanya kecelakaan lalu lintas;
g. adanya bencana alam;
h. adanya konflik sosial; dan/atau
i. adanya peristiwa terorisme.
Pasal 35(1) Optimalisasi operasional rekayasa lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(2) Pelaksanaan optimalisasi operasional rekayasa lalu lintas dapat dilakukan melalui:
a. pengaturan arus lalu lintas di ruas jalan;
b. pengaturan arus lalu lintas di persimpangan;
c. penertiban lajur jalan; dan/atau
d. penertiban hambatan samping.
(3) Optimalisasi operasional rekayasa lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan menggunakan alat pemberi isyarat lalu lintas, rambu lalu lintas, serta alat pengarah lalu lintas dan pembagi lajur yang bersifat sementara.
Bagian Kelima
Pemberdayaan
Pasal 36Pemberdayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d meliputi pemberian:
a. arahan;
b. bimbingan;
c. penyuluhan;
d. pelatihan; dan
e. bantuan teknis.
Pasal 37Pemberian arahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, gubernur, bupati, atau walikota sesuai dengan kewenangannya melalui penetapan pedoman dan tata cara penyelenggaraan manajemen dan rekayasa lalu lintas.
Pasal 38Pemberian bimbingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, gubernur, bupati, atau walikota sesuai dengan kewenangannya dalam pelaksanaan manajemen dan rekayasa lalu lintas.
Pasal 39Pemberian penyuluhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf c dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, gubernur, bupati, atau walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 40Pemberian pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf d dilakukan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, gubernur, bupati, atau walikota sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 41(1) Bantuan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf e dilakukan oleh:
a. menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan; atau
b. gubernur.
(2) Bantuan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengadaan, pemasangan, perbaikan dan/atau pemeliharaan perlengkapan jalan yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan di ruas jalan dan/atau persimpangan.
Pasal 42(1) Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan dapat memberikan bantuan teknis kepada gubernur, bupati, atau walikota dengan mempertimbangkan kondisi wilayah dan kemampuan keuangan daerah.
(2) Gubernur dapat memberikan bantuan teknis kepada bupati atau walikota dengan mempertimbangkan kondisi wilayah dan kemampuan keuangan daerah.
Bagian Keenam
Pengawasan
Pasal 43Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e, meliputi:
a. penilaian terhadap pelaksanaan kebijakan;
b. tindakan korektif terhadap kebijakan; dan
c. tindakan penegakan hukum.
Pasal 44Penilaian terhadap pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf a dilakukan oleh:
a. menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, berupa pemantauan dan analisis terhadap efektivitas pelaksanaan kebijakan di jalan nasional;
b. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, meliputi:
1. tingkat keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas;
2. tingkat pelanggaran lalu lintas dan angkutan jalan; dan
3. efektivitas penegakan hukum terhadap pelanggaran lalu lintas;
c. gubernur, berupa pemantauan dan analisis terhadap efektivitas pelaksanaan kebijakan untuk jalan provinsi;
d. bupati, berupa pemantauan dan analisis terhadap efektivitas pelaksanaan kebijakan untuk jalan kabupaten dan jalan desa; dan
e. walikota, berupa pemantauan dan analisis terhadap efektivitas pelaksanaan kebijakan untuk jalan kota.
Pasal 45(1) Tindakan korektif terhadap kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf b dilakukan berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44.
(2) Tindakan korektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, dalam bentuk penyempurnaan atau pencabutan kebijakan penggunaan jalan dan gerakan lalu lintas;
b. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, dalam bentuk:
1. penyempurnaan atau pencabutan kebijakan penegakan hukum dan manajemen operasional kepolisian; dan/atau
2. pemberian rekomendasi penyempurnaan kebijakan penggunaan jalan dan gerakan lalu lintas.
c. gubernur, bupati, atau walikota sesuai dengan kewenangannya, dalam bentuk penyempurnaan atau pencabutan kebijakan penggunaan jalan dan gerakan lalu lintas.
Pasal 46(1) Tindakan penegakan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf c berupa penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas yang terjadi di jalan.
(2) Penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3) Penegakan hukum dapat dilakukan dengan cara langsung atau tidak langsung melalui media elektronik.
BAB III
ANALISIS DAMPAK LALU LINTAS
Bagian Kesatu
Pelaksanaan Analisis Dampak Lalu Lintas
Pasal 47Setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan wajib dilakukan analisis dampak lalu lintas.
Pasal 48(1) Pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 berupa bangunan untuk:
a. kegiatan perdagangan;
b. kegiatan perkantoran;
c. kegiatan industri;
d. fasilitas pendidikan;
e. fasilitas pelayanan umum; dan/atau
f. kegiatan lain yang dapat menimbulkan bangkitan dan/atau tarikan lalu lintas.
(2) Permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 berupa:
a. perumahan dan permukiman;
b. rumah susun dan apartemen; dan/atau
c. permukiman lain yang dapat menimbulkan bangkitan dan/atau tarikan lalu lintas.
(3) Infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 berupa:
a. akses ke dan dari jalan tol;
b. pelabuhan;
c. bandar udara;
d. terminal;
e. stasiun kereta api;
f. pool kendaraan;
g. fasilitas parkir untuk umum; dan/atau
h. infrastruktur lainnya.
(4) Kriteria pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang dapat menimbulkan gangguan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas angkutan jalan diatur oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan setelah mendapat pertimbangan dari:
a. menteri yang bertanggung jawab di bidang jalan; dan
b. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 49Hasil analisis dampak lalu lintas merupakan salah satu persyaratan pengembang atau pembangun untuk memperoleh:
a. izin lokasi;
b. izin mendirikan bangunan; atau
c. izin pembangunan bangunan gedung dengan fungsi khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang bangunan gedung.
Bagian Kedua
Tata Cara Analisis Dampak Lalu Lintas
Pasal 50(1) Pengembang atau pembangun melakukan analisis dampak lalu lintas dengan menunjuk lembaga konsultan yang memiliki tenaga ahli bersertifikat.
(2) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara untuk memperoleh sertifikasi analisis dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan setelah memperoleh pertimbangan dari menteri yang bertanggung jawab di bidang jalan dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 51(1) Hasil analisis dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 disusun dalam bentuk dokumen hasil analisis dampak lalu lintas.
(2) Dokumen hasil analisis dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. analisis bangkitan dan tarikan lalu lintas dan angkutan jalan akibat pembangunan;
b. simulasi kinerja lalu lintas tanpa dan dengan adanya pengembangan;
c. rekomendasi dan rencana implementasi penanganan dampak;
d. tanggung jawab pemerintah dan pengembang atau pembangun dalam penanganan dampak;
e. rencana pemantauan dan evaluasi; dan
f. gambaran umum lokasi yang akan dibangun atau dikembangkan.
(3) Tanggung jawab pengembang atau pembangun dalam penanganan dampak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dilakukan dalam lokasi pusat kegiatan, permukiman, atau infrastruktur yang dibangun atau dikembangkan.
Bagian Ketiga
Penilaian dan Tindak lanjut
Pasal 52Hasil analisis dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 harus mendapat persetujuan dari:
a. menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, untuk jalan nasional;
b. gubernur, untuk jalan provinsi;
c. bupati, untuk jalan kabupaten dan/atau jalan desa; atau
d. walikota, untuk jalan kota.
Pasal 53Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 pengembang atau pembangun harus menyampaikan hasil analisis dampak lalu lintas kepada menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, gubernur, bupati, atau walikota sesuai dengan kewenangannya.
Menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, gubernur, bupati, atau walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan persetujuan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya dokumen hasil analisis dampak lalu lintas secara lengkap dan memenuhi persyaratan.
Pasal 54(1) Untuk memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2), menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, gubernur, bupati, atau walikota sesuai dengan kewenangannya membentuk tim evaluasi dokumen hasil analisis dampak lalu lintas.
(2) Tim evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur pembina sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, pembina jalan, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 55Tim evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 mempunyai tugas:
a. melakukan penilaian terhadap hasil analisis dampak lalu lintas; dan
b. menilai kelayakan rekomendasi yang diusulkan dalam hasil analisis dampak lalu lintas.
Pasal 56(1) Hasil penilaian tim evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 disampaikan kepada menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, gubernur, bupati, atau walikota sesuai dengan kewenangannya.
(2) Dalam hal hasil penilaian tim evaluasi menyatakan hasil analisis dampak lalu lintas yang disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum memenuhi persyaratan, menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, gubernur, bupati, atau walikota mengembalikan hasil analisis kepada pengembang atau pembangun untuk disempurnakan.
Pasal 57(1) Dalam hal hasil penilaian tim evaluasi menyatakan hasil analisis dampak lalu lintas yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) telah memenuhi persyaratan, menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, gubernur, bupati, atau walikota meminta kepada pengembang atau pembangun untuk membuat dan menandatangani surat pernyataan kesanggupan melaksanakan semua kewajiban yang tercantum dalam dokumen hasil analisis dampak lalu lintas.
(2) Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen hasil analisis dampak lalu lintas.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terpenuhi sebelum dan selama pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur dioperasikan.
Pasal 58(1) Setiap pengembang atau pembangun yang melanggar pernyataan kesanggupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) dikenai sanksi administratif oleh pemberi izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara pelayanan umum;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. denda administratif;
e. pembatalan izin; dan/atau
f. pencabutan izin.
Pasal 59(1) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf a dikenai sebanyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu masing-masing 30 (tiga puluh) hari kalender.
(2) Dalam hal pengembang atau pembangun tidak melaksanakan kewajiban setelah berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis ke 3 (tiga), dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara pelayanan umum dan/atau penghentian sementara kegiatan selama 30 (tiga puluh) hari kalender.
(3) Dalam hal pengembang atau pembangun tetap tidak melaksanakan kewajiban setelah berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai denda paling banyak 1% (satu per seratus) dari nilai kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengembang atau pembangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3).
(4) Dalam waktu 10 (sepuluh) hari kalender sejak tanggal pengenaan sanksi denda administratif atau 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak pembayaran denda, pengembang atau pembangun tidak melaksanakan kewajibannya, izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 dibatalkan atau dicabut.
BAB IV
MANAJEMEN KEBUTUHAN LALU LINTAS
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 60(1) Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penggunaan ruang lalu lintas dan mengendalikan pergerakan lalu lintas, diselenggarakan manajemen kebutuhan lalu lintas berdasarkan kriteria:
a. perbandingan volume lalu lintas kendaraan bermotor dengan kapasitas jalan;
b. ketersediaan jaringan dan pelayanan angkutan umum; dan
c. kualitas lingkungan.
(2) Manajemen kebutuhan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan cara pembatasan:
a. lalu lintas kendaraan perseorangan pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan jalan tertentu;
b. lalu lintas kendaraan barang pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan jalan tertentu;
c. lalu lintas sepeda motor pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan jalan tertentu;
d. lalu lintas kendaraan bermotor umum sesuai dengan klasifikasi fungsi jalan;
e. ruang parkir pada kawasan tertentu dengan batasan ruang parkir maksimal; dan/atau
f. lalu lintas kendaraan tidak bermotor umum pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan jalan tertentu.
(3) Pembatasan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dapat dilakukan dengan pengenaan retribusi pengendalian lalu lintas yang diperuntukkan bagi peningkatan kinerja lalu lintas dan peningkatan pelayanan angkutan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 61Manajemen kebutuhan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dilakukan secara simultan dan terintegrasi melalui strategi:
a. mengendalikan lalu lintas di ruas jalan tertentu dan persimpangan;
b. mempengaruhi penggunaan kendaraan pribadi;
c. mendorong penggunaan kendaraan angkutan umum dan transportasi yang ramah lingkungan, serta memfasilitasi peralihan moda dari penggunaan kendaraan pribadi ke penggunaan kendaraan angkutan umum;
d. mempengaruhi pola perjalanan masyarakat dengan berbagai pilihan yang efektif dalam konteks moda, lokasi/ruang, waktu, dan rute perjalanan; dan
e. mendorong dan memfasilitasi perencanaan terpadu antara tata ruang dan transportasi, baik yang direncanakan maupun yang telah tersedia.
Pasal 62(1) Pembatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d dan huruf f wajib dinyatakan dengan rambu lalu lintas.
(2) Pembatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf e ditetapkan dengan peraturan daerah.
Pasal 63(1) Manajemen kebutuhan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dilakukan oleh:
a. menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan untuk jalan nasional;
b. gubernur untuk jalan provinsi setelah mendapatkan masukan dari bupati atau walikota; dan
c. bupati atau walikota untuk jalan kabupaten/kota.
(2) Manajemen kebutuhan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dievaluasi setiap tahun.
Bagian Kedua
Pembatasan Lalu Lintas Kendaraan Perseorangan
Pasal 64Pembatasan lalu lintas kendaraan perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf a meliputi:
a. mobil penumpang;
b. mobil bus; dan
c. mobil barang dengan jumlah berat yang diperbolehkan paling besar 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram.
Pasal 65(1) Pembatasan lalu lintas kendaraan perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dilakukan apabila pada jalan, kawasan, atau koridor memenuhi kriteria paling sedikit:
a. memiliki perbandingan volume lalu lintas kendaraan bermotor dengan kapasitas jalan pada salah satu jalur jalan sama dengan atau lebih besar dari 0,7 (nol koma tujuh);
b. hanya dapat dilalui kendaraan dengan kecepatan rata-rata pada jam puncak kurang dari 30 (tiga puluh) km/jam; dan
c. tersedia jaringan dan pelayanan angkutan umum dalam trayek yang memenuhi standar pelayanan minimal pada jalan, kawasan, atau koridor yang bersangkutan.
(2) Pemberlakuan pembatasan lalu lintas selain memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan kualitas lingkungan.
Pasal 66Pembatasan lalu lintas kendaraan perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dapat dilakukan dengan cara pembatasan lalu lintas kendaraan berdasarkan:
a. jumlah penumpang; dan/atau
b. tanda nomor kendaraan bermotor.
Bagian Ketiga
Pembatasan Lalu Lintas Kendaraan Barang
Pasal 67Pembatasan lalu lintas kendaraan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf b meliputi semua kendaraan umum angkutan barang dan mobil barang perseorangan dengan jumlah berat yang diperbolehkan lebih besar dari 3.500 (tiga ribu lima ratus) kilogram.
Pasal 68(1) Pembatasan lalu lintas kendaraan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dilakukan apabila pada jalan, kawasan, atau koridor memenuhi kriteria paling sedikit:
a. memiliki perbandingan volume lalu lintas kendaraan bermotor dengan kapasitas jalan pada salah satu jalur jalan sama dengan atau lebih besar dari 0,7 (nol koma tujuh);
b. hanya dapat dilalui kendaraan dengan kecepatan rata-rata pada jam puncak kurang dari 30 (tiga puluh) km/jam; dan
c. tersedia jaringan jalan alternatif.
(2) Pemberlakuan pembatasan lalu lintas selain memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan kualitas lingkungan.
Pasal 69Pembatasan lalu lintas kendaraan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dilakukan dengan cara:
a. pembatasan lalu lintas kendaraan barang berdasarkan dimensi dan jenis kendaraan; dan/atau
b. pembatasan lalu lintas kendaraan barang berdasarkan muatan barang.
Bagian Keempat
Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor
Pasal 70(1) Pembatasan lalu lintas sepeda motor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf c dapat dilakukan apabila pada jalan, kawasan, atau koridor memenuhi kriteria paling sedikit:
a. memiliki perbandingan volume lalu lintas kendaraan bermotor dengan kapasitas jalan pada salah satu jalur jalan sama dengan atau lebih besar dari 0,5 (nol koma lima); dan
b. telah tersedia jaringan dan pelayanan angkutan umum dalam trayek yang memenuhi standar pelayanan minimal pada jalan, kawasan, atau koridor yang bersangkutan.
(2) Pemberlakuan pembatasan lalu lintas selain memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan kualitas lingkungan.
Pasal 71Pembatasan lalu lintas sepeda motor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) dilakukan dengan cara melarang sepeda motor untuk melalui lajur atau jalur pada jalan tertentu.
Bagian Kelima
Pembatasan Ruang Parkir Pada Kawasan Tertentu
Pasal 72(1) Pembatasan ruang parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf e dapat dilakukan pada:
a. ruang milik jalan pada jalan kabupaten atau jalan kota; atau
b. luar ruang milik jalan.
(2) Pembatasan ruang parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila memenuhi kriteria paling sedikit:
a. memiliki perbandingan volume lalu lintas kendaraan bermotor dengan kapasitas jalan pada salah satu jalur jalan sama dengan atau lebih besar dari 0,7 (nol koma tujuh); dan
b. hanya dapat dilalui kendaraan dengan kecepatan rata-rata pada jam puncak kurang dari 30 (tiga puluh) km/jam.
(3) Pemberlakuan pembatasan ruang parkir selain memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan kualitas lingkungan.
Pasal 73Pembatasan ruang parkir dapat dilakukan dengan pembatasan:
a. waktu parkir;
b. durasi parkir;
c. tarif parkir;
d. kuota parkir; dan/atau
e. lokasi parkir.
Pasal 74Pelaksanaan pembatasan ruang parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 diatur dengan peraturan daerah.
Pasal 75Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pembatasan ruang parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 diatur oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan.
Bagian Keenam
Pembatasan Lalu Lintas Kendaraan Tidak Bermotor Umum
Pasal 76(1) Pembatasan lalu lintas kendaraan tidak bermotor umum pada koridor atau kawasan tertentu pada waktu dan jalan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) huruf f meliputi kendaraan tidak bermotor umum yang digerakkan oleh tenaga manusia atau hewan.
(2) Pembatasan lalu lintas kendaraan tidak bermotor umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan di jalan nasional, jalan provinsi, jalan kabupaten, atau jalan kota.
Pasal 77Pembatasan lalu lintas kendaraan tidak bermotor umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) dapat dilakukan dengan:
a. pembatasan berdasarkan kawasan, koridor, atau ruas jalan tertentu; dan/atau
b. pembatasan berdasarkan waktu.
Pasal 78Pembatasan lalu lintas kendaraan tidak bermotor umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) dilaksanakan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan jalan, gubernur, bupati, atau walikota sesuai dengan kewenangannya.
Bagian Ketujuh
Retribusi Pengendalian Lalu Lintas
Kendaraan Perseorangan dan Kendaraan Barang
Pasal 79(1) Pembatasan lalu lintas kendaraan perseorangan dan pembatasan kendaraan barang dapat dilakukan dengan pengenaan retribusi pengendalian lalu lintas.
(2) Pembatasan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan apabila pada jalan, kawasan, atau koridor memenuhi kriteria paling sedikit:
a. memiliki perbandingan volume lalu lintas kendaraan bermotor dengan kapasitas jalan pada salah satu jalur jalan sama dengan atau lebih besar dari 0,9 (nol koma sembilan);
b. memiliki 2 (dua) jalur jalan di mana masing-masing jalur memiliki 2 (dua) lajur;
c. hanya dapat dilalui kendaraan dengan kecepatan rata-rata pada jam puncak sama dengan atau kurang dari 10 (sepuluh) km/jam; dan
d. tersedia jaringan dan pelayanan angkutan umum massal dalam trayek yang memenuhi standar pelayanan minimal.
(3) Pembatasan lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan pada jalan nasional.
(4) Pemberlakuan pembatasan lalu lintas selain memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memperhatikan kualitas lingkungan.
Pasal 80(1) Retribusi pengendalian lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) merupakan retribusi jasa umum.
(2) Hasil retribusi pengendalian lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan hanya untuk kegiatan:
a. peningkatan kinerja lalu lintas; dan
b. peningkatan pelayanan angkutan umum.
(3) Pemungutan retribusi pengendalian lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 81Untuk pelaksanaan pembatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1), pemerintah daerah wajib melakukan:
a. penyediaan jalan yang akan diberlakukan pembatasan yang memenuhi persyaratan standar minimal;
b. pemasangan, perbaikan, dan pemeliharaan perlengkapan jalan pada kawasan, koridor, atau ruas jalan tertentu yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan di ruas jalan dan/atau persimpangan; dan
c. penyediaan sistem dan peralatan yang diperlukan untuk menerapkan pembatasan lalu lintas kendaraan perseorangan dan kendaraan barang.
Pasal 82(1) Kegiatan peningkatan kinerja lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf a paling sedikit meliputi:
a. perbaikan pada jalan yang dilakukan pembatasan;
b. pemasangan, perbaikan, dan pemeliharaan perlengkapan jalan pada kawasan, koridor, atau ruas jalan tertentu yang berkaitan langsung dengan pengguna jalan di ruas jalan dan/atau persimpangan;
c. pemeliharaan dan pengembangan teknologi untuk kepentingan lalu lintas; dan
d. peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
(2) Kegiatan peningkatan pelayanan angkutan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf b paling sedikit meliputi:
a. penyediaan dan pemeliharaan lajur, jalur, atau jalan khusus untuk angkutan umum massal;
b. penyediaan dan pemeliharaan sarana dan fasilitas pendukung angkutan umum massal; dan
c. penerapan dan pengembangan teknologi informasi untuk kepentingan pelayanan angkutan umum massal.
Pasal 83(1) Pengaturan pelaksanaan pembatasan lalu lintas dengan pengenaan retribusi pengendalian lalu lintas pada kawasan, koridor, atau ruas jalan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 diatur dengan peraturan daerah.
(2) Peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. kawasan, koridor, atau ruas jalan tertentu yang diberlakukan pembatasan lalu lintas dengan pengenaan retribusi pengendalian lalu lintas;
b. besaran retribusi pengendalian lalu lintas;
c. tata cara pemungutan dan penggunaan retribusi pengendalian lalu lintas; dan
d. pemanfaatan retribusi pengendalian lalu lintas.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 84Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, ketentuan mengenai manajemen dan rekayasa lalu lintas yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 63, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3529) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 85Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2011
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 21 Juni 2011
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
PATRIALIS AKBAR