![]() |
Teks tidak dalam format asli.
Kembali
No.1180, 2013 | KEMENTERIAN PERTANIAN. Perizinan. Perkebunan. Pedoman. Pencabutan. |
Memperhatikan | : | 1. Instruksi Presiden Nomor 16 Tahun 2011 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan; |
2. Instruksi Presiden Nomor 02 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri; 3. Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola HutanAlam Primer dan Lahan Gambut; Menetapkan : PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG PEDOMAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN. KETENTUAN UMUM (1) Peraturan ini dimaksudkan sebagai dasar hukum dalam pemberian pelayanan perizinan dan pelaksanaan kegiatan Usaha Perkebunan, dengan tujuan untuk memberikan perlindungan, pemberdayaan Pelaku Usaha Perkebunan secara berkeadilan dan memberikan kepastian dalam Usaha Perkebunan. (2) Ruang lingkup Peraturan ini meliputi: a. jenis dan perizinan usaha perkebunan; b. syarat dan tata cara permohonan izin usaha perkebunan; c. kemitraan; d. perubahan luas lahan, jenis tanaman, dan/atau perubahan kapasitas pengolahan, serta diversifikasi usaha; e. rekomendasi teknis usaha perkebunan; f. kewajiban Perusahaan Perkebunan; g. pembinaan dan pengawasan; dan h. sanksi administrasi. JENIS DAN PERIZINAN USAHA PERKEBUNAN Pasal 3 (1) Jenis Usaha Perkebunan terdiri atas: a. Usaha Budidaya Tanaman Perkebunan; b. Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan; dan c. Usaha Perkebunan yang terintegrasi antara budidaya dengan industri pengolahan hasil perkebunan. (2) Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan di seluruh wilayah Indonesia oleh Pelaku Usaha Perkebunan, sesuai Perencanaan Pembangunan Perkebunan Nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. (1) Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf b dengan kapasitas kurang dari batas paling rendah seperti tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini dilakukan pendaftaran oleh bupati/walikota. (2) Pendaftaran Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling kurang berisi data identitas dan domisili pemilik, lokasi, kapasitas produksi, jenis bahan baku, sumber bahan baku, jenis produksi, dan tujuan pasar. (3) Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan yang terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan STD-P sesuai format seperti tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini. (4) STD-P sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku selama Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan masih dilaksanakan. (1) Usaha Budidaya Tanaman kelapa sawit dengan luas 1.000 hektar atau lebih, teh dengan luas 240 hektar atau lebih, dan tebu dengan luas 2.000 hektar atau lebih, wajib terintegrasi dalam hubungan dengan Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan. (2) Usaha Budidaya Tanaman Perkebunan yang terintegrasi dengan Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memiliki IUP. (1) Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan untuk mendapatkan IUP-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, harus memenuhi penyediaan bahan baku paling rendah 20% (dua puluh per seratus) berasal dari kebun sendiri dan kekurangannya wajib dipenuhi dari kebun masyarakat/Perusahaan Perkebunan lain melalui kemitraan pengolahan berkelanjutan. (2) Masyarakat/perusahaan perkebunan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu masyarakat/perusahaan perkebunan yang tidak memiliki unit pengolahan dan belum mempunyai ikatan kemitraan dengan Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan. (1) Dalam hal suatu wilayah perkebunan swadaya masyarakat belum ada Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan dan lahan untuk penyediaan paling rendah 20 % (dua puluh perseratus) bahan baku dari kebun sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 tidak tersedia, dapat didirikan Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan oleh Perusahaan Perkebunan. (2) Perusahaan Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki IUP-P. (3) Untuk mendapatkan IUP-P sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Perkebunan harus memiliki pernyataan ketidaktersediaan lahan dari dinas yang membidangi perkebunan setempat dan melakukan kerjasama dengan koperasi pekebun pada wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 14 (1) Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan dengan memanfaatkan kredit, bagi hasil dan/atau bentuk pendanaan lain sesuai dengan kesepakatan dan peraturan perundang-undangan. (2) Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberlakukan terhadap badan hukum yang berbentuk koperasi. (1) IUP-B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, untuk 1 (satu) Perusahaan atau Kelompok (Group) Perusahaan Perkebunan diberikan dengan batas paling luas berdasarkan jenis tanaman sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini. (2) IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), untuk 1 (satu) Perusahaan atau Kelompok (Group) Perusahaan Perkebunan diberikan dengan batas paling luas berdasarkan jenis tanaman seperti tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini. (3) Batas paling luas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku untuk Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi dan Perusahaan Perkebunan dengan status perseroan terbuka (go public) yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh masyarakat. (4) Batas paling luas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan jumlah dari izin usaha perkebunan untuk 1 (satu) jenis tanaman perkebunan (1) IUP-B, IUP-P, atau IUP berlaku selama perusahaan masih melaksanakan kegiatan sesuai dengan baku teknis dan peraturan perundang-undangan. (2) IUP-B, IUP-P, atau IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan sesuai format seperti tercantum dalam Lampiran VII, VIII dan IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini. SYARAT DAN TATA CARA PERMOHONAN IZIN USAHA PERKEBUNAN Pasal 21 a. Profil Perusahaan meliputi Akta Pendirian dan perubahan terakhir yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, komposisi kepemilikan saham, susunan pengurus dan bidang usaha perusahaan; b. Nomor Pokok Wajib Pajak; c. Surat Izin Tempat Usaha; d. Rekomendasi kesesuaian dengan Perencanaan Pembangunan Perkebunan kabupaten/kota dari bupati/walikota untuk IUP-B yang diterbitkan oleh gubernur; e. Rekomendasi kesesuaian dengan Perencanaan Pembangunan Perkebunan Provinsi dari gubernur untuk IUP-B yang diterbitkan oleh bupati/walikota; f. Izin lokasi dari bupati/walikota yang dilengkapi dengan peta digital calon lokasi dengan skala 1:100.000 atau 1:50.000 (cetak peta dan file elektronik) sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak terdapat izin yang diberikan pada pihak lain; g. Pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari dinas yang membidangi kehutanan, apabila areal yang diminta berasal dari kawasan hutan; h. Rencana kerja pembangunan kebun termasuk rencana fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar, rencana tempat hasil produksi akan diolah; i. Izin Lingkungan dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan; j. Pernyataan kesanggupan: 1) memiliki sumber daya manusia, sarana, prasarana dan sistem untuk melakukan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT); 2) memiliki sumber daya manusia, sarana, prasarana dan sistem untuk melakukan pembukaan lahan tanpa bakar serta pengendalian kebakaran; 3) memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar sesuai Pasal 15 yang dilengkapi dengan rencana kerja dan rencana pembiayaan; dan 4) melaksanakan kemitraan dengan Pekebun, karyawan dan masyarakat sekitar perkebunan; dengan menggunakan format pernyataan seperti tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini.k. Surat Pernyataan dari Pemohon bahwa status Perusahaan Perkebunan sebagai usaha mandiri atau bagian dari Kelompok (Group) Perusahaan Perkebunan belum menguasai lahan melebihi batas paling luas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dengan menggunakan format Pernyataan seperti tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini. a. Profil Perusahaan meliputi Akta Pendirian dan perubahan terakhir yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, komposisi kepemilikan saham, susunan pengurus dan bidang usaha perusahaan; b. Nomor Pokok Wajib Pajak; c. Surat Izin Tempat Usaha; d. Rekomendasi kesesuaian dengan Perencanaan Pembangunan Perkebunan kabupaten/kota dari bupati/walikota untuk IUP yang diterbitkan oleh gubernur; e. Rekomendasi kesesuaian dengan Perencanaan Pembangunan Perkebunan Provinsi dari gubernur untuk IUP yang diterbitkan oleh bupati/walikota; f. Izin lokasi dari bupati/walikota yang dilengkapi dengan peta digital calon lokasi dengan skala 1:100.000 atau 1:50.000 (cetak peta dan file elektronik) sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan tidak terdapat izin yang diberikan pada pihak lain; g. Pertimbangan teknis ketersediaan lahan dari dinas yang membidangi kehutanan, apabila areal yang diminta berasal dari kawasan hutan; h. Jaminan pasokan bahan baku dengan menggunakan format seperti tercantum dalam Lampiran IV dan Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini; i. Rencana kerja pembangunan kebun dan unit pengolahan hasil perkebunan termasuk rencana fasilitasi pembangunan kebun untuk masyarakat sekitar; j. Izin Lingkungan dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan; k. Pernyataan kesanggupan: 1. memiliki sumber daya manusia, sarana, prasarana dan sistem untuk melakukan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT); 2. memiliki sumber daya manusia, sarana, prasarana dan sistem untuk melakukan pembukaan lahan tanpa bakar serta pengendalian kebakaran; 3. memfasilitasi pembangunan kebun untuk masyarakat sekitar sesuai Pasal 15 yang dilengkapi dengan rencana kerja dan rencana pembiayaan; dan 4. melaksanakan kemitraan dengan Pekebun, karyawan dan Masyarakat Sekitar perkebunan. dengan menggunakan format Pernyataan seperti tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini.l. Surat Pernyataan dari Pemohon bahwa status Perusahaan Perkebunan sebagai usaha mandiri atau bagian dari Kelompok (Group) Perusahaan Perkebunan belum menguasai lahan melebihi batas paling luas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dengan menggunakan format Pernyataan seperti tercantum dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini. (1) Gubernur atau bupati/walikota dalam jangka waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan telah selesai memeriksa kelengkapan dan kebenaran persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Pasal 22, atau Pasal 23 dan wajib memberikan jawaban menyetujui atau menolak. (2) Apabila hasil pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), telah lengkap dan benar gubernur atau bupati/walikota paling lambat dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak memberikan jawaban menyetujui harus mengumumkan permohonan pemohon yang berisi identitas pemohon, lokasi kebun beserta petanya, luas dan asal lahan serta kapasitas industri pengolahan hasil perkebunan kepada masyarakat sekitar melalui papan pengumuman resmi di kantor kecamatan, bupati/walikota atau kantor gubernur dan website pemerintah daerah setempat selama 30 (tiga puluh) hari sesuai kewenangan. (3) Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud pada ayat (2), masyarakat sekitar memberikan masukan atas permohonan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti dan dokumen pendukung. (4) Gubernur atau bupati/walikota setelah menerima masukan atau tidak ada masukan dari masyarakat sekitar, dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan kajian paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja. (5) Permohonan disetujui dan diterbitkan IUP-B, IUP-P atau IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah dilakukan pengkajian atas masukan masyarakat sekitar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan tidak ada sanggahan selama jangka waktu pengumuman resmi dan website pemerintah daerah setempat. (6) IUP-B, IUP-P atau IUP yang diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib diumumkan melalui papan pengumuman resmi di kantor kecamatan, bupati/walikota atau kantor gubernur sesuai kewenangan dan website pemerintah daerah setempat. (1) Permohonan ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) apabila setelah dilakukan pemeriksaan dokumen, persyaratan tidak lengkap dan/atau tidak benar. (2) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada pemohon dengan disertai alasan penolakannya. KEMITRAAN Pasal 29 (1) Kemitraan Usaha Perkebunan dilakukan antara Perusahaan Perkebunan dengan Pekebun, karyawan dan masyarakat sekitar perkebunan. (2) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara tertulis dalam bentuk perjanjian sesuai format seperti tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini. (3) Perjanjian Kemitraan Usaha Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling singkat selama 4 (empat) tahun. (1) Kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf j angka 4, Pasal 22 huruf j, dan Pasal 23 huruf k angka 4 dilakukan berdasarkan pada asas manfaat dan berkelanjutan yang saling menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggung jawab, dan saling memperkuat. (2) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk pemberdayaan dan peningkatan pendapatan secara berkelanjutan bagi Perusahaan Perkebunan, Pekebun, karyawan Perusahaan Perkebunan dan masyarakat sekitar. (3) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak membebaskan kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun untuk masyarakat sekitar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. a. penyediaan sarana produksi; b. produksi; c. pengolahan dan pemasaran; d. transportasi; e. operasional; f. kepemilikan saham; dan/atau g. jasa pendukung lainnya. PERUBAHAN LUAS LAHAN, JENIS TANAMAN, DAN/ATAU PERUBAHAN KAPASITAS PENGOLAHAN, SERTA DIVERSIFIKASI USAHA Pasal 32 (1) Perusahaan Perkebunan yang memiliki IUP-B atau IUP dan akan melakukan perubahan luas lahan melalui perluasan atau pengurangan, harus mendapat persetujuan dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan. (2) Untuk mendapat persetujuan perubahan luas lahan melalui perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon mengajukan permohonan secara tertulis, bermeterai cukup dengan dilengkapi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 atau Pasal 23, dan Hasil Penilaian Usaha Perkebunan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian tentang Penilaian Usaha Perkebunan, laporan kemajuan fisik dan keuangan Perusahaan Perkebunan. (3) Untuk mendapat persetujuan perubahan luas lahan melalui pengurangan luas areal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon mengajukan permohonan secara tertulis, bermeterai cukup dengan dilengkapi alasan pengurangan, dan laporan kemajuan fisik dan keuangan Perusahaan Perkebunan. (4) Persetujuan perubahan luas lahan melalui perluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada Perusahaan Perkebunan yang menurut Penilaian Usaha Perkebunan tahun terakhir masuk kelas 1 atau kelas 2. (1) Perusahaan Perkebunan yang memiliki IUP-B atau IUP dan akan melakukan perubahan jenis tanaman, harus mendapat persetujuan dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan. (2) Untuk mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemohon mengajukan permohonan secara tertulis, bermeterai cukup dengan dilengkapi persyaratan sebagai berikut: a. IUP-B atau IUP serta SK HGU; b. Profil Perusahaan meliputi Akta Pendirian dan perubahan terakhir yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, komposisi kepemilikan saham, susunan pengurus dan bidang usaha perusahaan; c. Rekomendasi dari dinas provinsi atau kabupaten/kota yang membidangi perkebunan sesuai kewenangan; d. Rencana kerja tentang perubahan jenis tanaman; e. Izin Lingkungan dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan; dan f. Hasil Penilaian Usaha Perkebunan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian tentang Penilaian Usaha Perkebunan. (3) Bupati/walikota dalam memberikan persetujuan perubahan jenis tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Perencanaan Pembangunan Perkebunan Provinsi. (4) Gubernur dalam memberikan persetujuan perubahan jenis tanaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Perencanaan Pembangunan Perkebunan Nasional. (1) Perusahaan Perkebunan yang memiliki IUP-P atau IUP dan akan melakukan penambahan kapasitas industri pengolahan hasil perkebunan, harus mendapat persetujuan dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan. (2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan apabila penambahan kapasitas lebih dari 30% (tiga puluh per seratus) dari kapasitas yang telah diizinkan. (3) Untuk mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemohon mengajukan permohonan secara tertulis, bermeterai cukup dengan dilengkapi persyaratan sebagai berikut: a. IUP-P atau IUP; b. Profil Perusahaan meliputi Akta Pendirian dan perubahan terakhir yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, komposisi kepemilikan saham, susunan pengurus dan bidang usaha perusahaan; c. Rekomendasi ketersediaan bahan baku dari dinas provinsi atau kabupaten/kota yang membidangi perkebunan sesuai kewenangan; d. Rencana kerja tentang perubahan kapasitas; e. Izin Lingkungan dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan; dan f. Hasil Penilaian Usaha Perkebunan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian tentang Penilaian Usaha Perkebunan. (4) Bupati/walikota dalam memberikan persetujuan penambahan kapasitas industri pengolahan hasil perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Perencanaan Pembangunan Perkebunan Provinsi. (5) Gubernur dalam memberikan persetujuan penambahan kapasitas industri pengolahan hasil perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Perencanaan Pembangunan Perkebunan Nasional. (1) Perusahaan Perkebunan yang memiliki IUP-B atau IUP dan akan melakukan diversifikasi usaha, harus mendapat persetujuan dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan. (2) Untuk memperoleh persetujuan diversifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan tidak menghilangkan fungsi utama di bidang perkebunan, pemohon mengajukan permohonan secara tertulis, bermeterai cukup dengan dilengkapi persyaratan sebagai berikut: a. IUP-B atau IUP; b. Profil Perusahaan meliputi Akta Pendirian dan perubahan terakhir yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, komposisi kepemilikan saham, susunan pengurus dan bidang usaha perusahaan; c. Rencana kerja tentang diversifikasi usaha; d. Surat dukungan Kepala Dinas yang membidangi perkebunan Kabupaten/Kota; e. Surat dukungan diversifikasi usaha dari Instansi terkait; f. Izin Lingkungan dari gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan; dan g. Hasil Penilaian Usaha Perkebunan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian tentang Penilaian Usaha Perkebunan. (3) Bupati/walikota dalam memberikan persetujuan diversifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Perencanaan Pembangunan Perkebunan Provinsi. (4) Gubernur dalam memberikan persetujuan diversifikasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada Perencanaan Pembangunan Perkebunan Nasional. (1) Bupati/walikota atau gubernur dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, atau Pasal 35 harus memberi jawaban menyetujui atau menolak. (2) Permohonan yang diterima dan memenuhi seluruh persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan persetujuan perubahan luas lahan, perubahan jenis tanaman, penambahan kapasitas industri pengolahan hasil perkebunan, atau diversifikasi usaha. (1) Permohonan ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) apabila setelah dilakukan pemeriksaan dokumen ternyata persyaratannya tidak benar, usaha yang akan dilakukan bertentangan dengan ketertiban umum dan/atau perencanaan pembangunan perkebunan. (2) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan secara tertulis kepada pemohon dengan disertai alasan penolakannya. REKOMENDASI TEKNIS USAHA PERKEBUNAN Pasal 39 (1) Pemberian rekomendasi teknis Usaha Perkebunan dalam rangka penanaman modal asing atau penanaman modal dalam negeri yang izin investasinya diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dilaksanakan oleh Direktur Jenderal. (2) Persyaratan dan tatacara pemberian rekomendasi teknis Usaha Perkebunan ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal. KEWAJIBAN PERUSAHAAN PERKEBUNAN Pasal 40 (1) Perusahaan Perkebunan yang telah memiliki IUP-B, IUP-P, atau IUP sesuai Peraturan ini wajib: a. memiliki sumber daya manusia, sarana, prasarana dan sistem pembukaan lahan tanpa bakar serta pengendalian kebakaran; b. menerapkan teknologi pembukaan lahan tanpa bakar dan mengelola sumber daya alam secara lestari; c. memiliki sumber daya manusia, sarana, prasarana dan sistem pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT); d. menerapkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) sesuai peraturan perundang-undangan; e. menyampaikan peta digital lokasi IUP-B atau IUP skala 1:100.000 atau 1:50.000 (cetak peta dan file elektronik) disertai dengan koordinat yang lengkap sesuai dengan peraturan perundang-undangan kepada Direktorat Jenderal yang membidangi perkebunan dan Badan Informasi Geospasial (BIG); f. memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat bersamaan dengan pembangunan kebun perusahaan dan pembangunan kebun masyarakat diselesaikan paling lama dalam waktu 3 (tiga) tahun; g. melakukan kemitraan dengan Pekebun, karyawan dan masyarakat sekitar; serta h. melaporkan perkembangan Usaha Perkebunan kepada pemberi izin secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali dengan tembusan kepada: -Menteri Pertanian melalui Direktur Jenderal dan gubernur apabila izin diterbitkan oleh bupati/walikota; -Menteri Pertanian melalui Direktur Jenderal dan bupati/walikota apabila izin diterbitkan oleh gubernur. (2) Perusahaan perkebunan yang memiliki IUP-B, IUP-P atau IUP sesuai Peraturan ini wajib menyelesaikan proses perolehan hak atas tanah sesuai peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. (3) Perusahaan Perkebunan yang memiliki IUP-B, IUP-P, atau IUP wajib merealisasikan pembangunan kebun dan/atau industri pengolahan hasil perkebunan sesuai dengan studi kelayakan, baku teknis, dan peraturan perundang-undangan. PEMBINAAN DAN PENGAWASAN Pasal 44 (1) Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan perizinan usaha perkebunan dilakukan oleh Direktur Jenderal, gubernur dan bupati/walikota sesuai kewenangan. (2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan Direktur Jenderal paling sedikit 1 (satu) tahun sekali terhadap pemberian izin dan pelaksanaan usaha perkebunan. (3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh gubernur atau bupati/walikota dalam bentuk evaluasi kinerja perusahaan perkebunan dan penilaian usaha perkebunan. (4) Evaluasi kinerja Perusahaan Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling kurang 6 (enam) bulan sekali melalui pemeriksaan lapangan berdasarkan laporan perkembangan usaha perkebunan. (5) Penilaian usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan pedoman penilaian usaha perkebunan. Pasal 45 (1) Gubernur atau bupati/walikota dalam menerbitkan IUP-B, IUP-P, IUP, Persetujuan Perubahan Luas Lahan, Persetujuan Perubahan Jenis Tanaman, Persetujuan Penambahan Kapasitas Industri Pengolahan Hasil Perkebunan atau Persetujuan Diversifikasi Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 atau Pasal 36, harus menyampaikan tembusan kepada Menteri Pertanian melalui Direktur Jenderal dengan menggunakan media elektronik tercepat. (2) IUP-B, IUP-P, IUP, Persetujuan Perubahan Luas Lahan, Persetujuan Perubahan Jenis Tanaman, Persetujuan Penambahan Kapasitas Industri Pengolahan Hasil Perkebunan dan Persetujuan Diversifikasi Usaha yang diterima oleh perusahaan, selanjutnya di copy untuk disampaikan kepada Menteri Pertanian melalui Direktur Jenderal dengan menggunakan media elektronik tercepat. (1) Menteri melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pemberian izin usaha perkebunan. (2) Berdasarkan pengawasan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri memberikan rekomendasi tindakan yang perlu dilakukan kepada pemberi izin. (3) Dalam hal pemberi izin tidak mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan pelanggaran masih terus terjadi, Menteri memberikan peringatan terhadap pemberi izin dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri. (4) Apabila pemberi izin tidak menindaklanjuti peringatan Menteri paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diberikannya peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri dapat mengambil alih wewenang pemberi izin dan mengusulkan kepada Menteri Dalam Negeri untuk memberikan sanksi terhadap pejabat pemberi izin sesuai peraturan perundang-undangan. SANKSI ADMINISTRASI Pasal 48 (1) Dalam hal Perusahaan Perkebunan yang memiliki IUP-P atau IUP melakukan kemitraan dalam pemenuhan kebutuhan bahan baku yang mengakibatkan terganggunya kemitraan yang telah ada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), dikenai sanksi peringatan tertulis 3 (tiga) kali dalam tenggang waktu 4 (empat) bulan untuk melakukan perbaikan. (2) Apabila peringatan ke-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi, IUP-P atau IUP dicabut dan hak atas tanah diusulkan kepada instansi yang berwenang untuk dibatalkan. (1) Perusahaan Perkebunan yang memperoleh IUP-P, tidak melakukan penjualan saham kepada koperasi pekebun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dikenai sanksi peringatan tertulis 3 (tiga) kali dalam tenggang waktu 4 (empat) bulan untuk melakukan penjualan saham kepada koperasi pekebun. (2) Dalam hal peringatan ke-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi, IUP-P dicabut dan hak atas tanah diusulkan kepada instansi yang berwenang untuk dibatalkan. (1) Perusahaan perkebunan yang telah memperoleh IUP-B, IUP-P, IUP, Persetujuan Perubahan Luas Lahan, Persetujuan Perubahan Jenis Tanaman, Persetujuan Penambahan Kapasitas Industri Pengolahan Hasil Perkebunan atau Persetujuan Diversifikasi Usaha yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a, c, e, f, g dan/atau h dikenai sanksi peringatan tertulis 3 (tiga) kali masing-masing dalam tenggang waktu 4 (empat) bulan. (2) Perusahaan perkebunan yang telah memperoleh IUP-B, IUP-P, IUP yang mengalihkan kepemilikan perusahaan, tidak melaporkan perubahan kepemilikan dan kepengurusan Perusahaan Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dikenakan sanksi peringatan tertulis 3 (tiga) kali masing-masing dalam tenggang waktu 2 (dua) bulan. (3) Apabila peringatan ke-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) tidak dipenuhi, IUP-B, IUP-P atau IUP dicabut dan hak atas tanah diusulkan kepada instansi yang berwenang untuk dibatalkan. (1) Perusahaan Perkebunan yang telah mendapat persetujuan diversifikasi usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tidak menjamin kelangsungan usaha pokok, menjaga kelestarian lingkungan dan keragaman sumber daya genetik serta mencegah berjangkitnya organisme pengganggu tanaman (OPT) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dikenai sanksi peringatan tertulis 3 (tiga) kali dalam tenggang waktu 4 (empat) bulan untuk melakukan perbaikan. (2) Dalam hal peringatan ke-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi, IUP-B atau IUP dicabut dan hak atas tanah diusulkan kepada instansi yang berwenang untuk dibatalkan. (1) IUP-B, IUP-P atau IUP yang diterbitkan gubernur atau bupati/walikota dilarang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. (2) IUP-B, IUP-P atau IUP yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dicabut oleh pemberi izin. KETENTUAN PERALIHAN Pasal 56 (1) Izin Usaha Perkebunan (IUP), Surat Pendaftaran Usaha Perkebunan (SPUP), Izin Tetap Usaha Budidaya Perkebunan (ITUBP), atau Izin Tetap Usaha Industri Perkebunan (ITUIP), yang diterbitkan sebelum peraturan ini diundangkan dinyatakan tetap berlaku. (2) Dalam hal terjadi pemekaran wilayah, izin usaha perkebunan yang telah diterbitkan, dinyatakan tetap berlaku dan pembinaan selanjutnya dilakukan oleh kabupaten/kota yang merupakan lokasi kebun berada. (3) Apabila pemekaran wilayah mengakibatkan lokasi kebun berada pada lintas kabupaten, maka pembinaan selanjutnya dilakukan oleh provinsi. (4) Izin usaha yang telah diterbitkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal dalam rangka penanaman modal sebelum diundangkannya Peraturan ini dinyatakan tetap berlaku. (1) Perusahaan Perkebunan yang telah memperoleh hak atas tanah, belum memiliki Izin Tetap Usaha Budidaya Perkebunan (ITUBP), Izin Tetap Usaha Industri Perkebunan (ITUIP), Surat Pendaftaran Usaha Perkebunan (SPUP), atau Izin Usaha Perkebunan sebelum peraturan ini diundangkan, wajib memiliki IUP-B, IUP-P atau IUP paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak Peraturan ini diundangkan. (2) Untuk memperoleh IUP-B, IUP-P atau IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) permohonan harus dilengkapi persyaratan: a. Fotocopy sertipikat hak atas tanah; b. Profil Perusahaan meliputi Akta Pendirian dan perubahan terakhir yang telah terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, komposisi kepemilikan saham, susunan pengurus dan bidang usaha perusahaan; dan c. Hasil Penilaian Usaha Perkebunan. (3) Dalam hal perusahaan perkebunan tidak melaksanakan perolehan IUP-B, IUP-P atau IUP dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan mengusulkan pembatalan hak atas tanah kepada Direktur Jenderal untuk disampaikan kepada instansi yang berwenang di bidang pertanahan. (1) Untuk Perusahaan Perkebunan yang memiliki IUP-P sebelum Peraturan ini diundangkan, dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun harus telah memiliki kebun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11. (2) Dalam hal lahan untuk pembangunan kebun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tersedia, Perusahaan Perkebunan wajib bekerjasama dengan koperasi perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 atau Pasal 14, paling lama 12 (dua belas) bulan sejak Peraturan ini diundangkan. (3) Usaha Industri Pengolahan Hasil Perkebunan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) dikenai peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dalam tenggang waktu 4 (empat) bulan untuk melaksanakan ketentuan. (4) Jika peringatan ke-3 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (2) tidak dipenuhi, IUP-P dicabut dan hak atas tanah diusulkan kepada instansi yang berwenang untuk dibatalkan. (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) tidak berlaku untuk Perusahaan Perkebunan yang memperoleh izin usaha perkebunan sebelum tanggal 28 Februari 2007 dan telah melakukan pola PIR-BUN, PIR-TRANS, PIR-KKPA, atau pola kerjasama inti-plasma lainnya. (2) Perusahaan Perkebunan yang tidak melaksanakan pola PIR-BUN, PIR-TRANS, PIR-KKPA, atau pola kerjasama inti-plasma lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib melakukan kegiatan usaha produktif untuk masyarakat sekitar sesuai kondisi wilayah setempat berdasarkan kesepakatan bersama antara Perusahaan dengan masyarakat sekitar dan diketahui gubernur atau bupati/walikota sesuai kewenangan. (3) Usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan kegiatan yang dapat menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat sekitar. (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) tidak berlaku untuk Perusahaan Perkebunan yang telah memperoleh hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57. (2) Perusahaan Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan kegiatan usaha produktif untuk masyarakat sekitar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2). KETENTUAN PENUTUP Pasal 62 Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 30 September 2013 MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA, SUSWONO Diundangkan di Jakarta Pada tanggal 2 Oktober 2013 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN |