2. pemberi layanan kesehatan dalam memberikan informasi.
c. menjelaskan kepada orang tua anak tentang keadaan anak dan dugaan penyebabnya, serta mendiskusikan langkah-langkah ke depan;
f. melakukan pencatatan lengkap di dalam rekam medis serta siap untuk membuat Visum et Repertum apabila diminta secara resmi; dan
g. memberikan informasi kepada kepolisian.
Dalam hal orang yang diduga sebagai pelaku tindak kekerasan berada di dalam lingkungan tempat tinggal anak, pemberi layanan kesehatan dapat:
a. menitipkan ke tempat yang lebih aman atau rumah aman;
b. meminta pengamanan dari kepolisian demi keselamatan anak; dan/atau
c. melakukan rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan.
BAB III
KEWAJIBAN MEMBERIKAN INFORMASI
Pasal 7(1) Pemberi layanan kesehatan yang dalam melakukan pelayanan kesehatan menemukan adanya dugaan kekerasan terhadap anak wajib memberitahukan kepada orang tua dan/atau pendamping anak tersebut.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai anjuran untuk melaporkan dugaan kekerasan terhadap anak tersebut kepada kepolisian.
(3) Anjuran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit berisi:
a. dampak yang merugikan kesehatan anak;
b. dampak sosial terhadap anak; dan
c. tindakan sanksi hukum yang memberi efek jera bagi pelaku.
(4) Dalam hal orang tua atau pendamping anak korban KtA menolak dilakukannya pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tenaga kesehatan memberikan informasi kepada kepolisian sesegera mungkin.
(5) Dalam hal tempat kejadian dugaan kekerasan terhadap anak tidak diketahui atau terlalu jauh dari fasilitas pelayanan kesehatan, pemberian informasi dapat ditujukan kepada instansi kepolisian setempat di wilayah kerja fasilitas pelayanan kesehatan.
(6) Pemberian informasi adanya dugaan anak korban KtA dapat dilakukan secara lisan atau tertulis.
Pasal 8(1) Pemberi layanan kesehatan yang memberikan informasi adanya dugaan anak korban KtA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 berkedudukan sebagai pemberi informasi bukan sebagai saksi pelapor.
(2) Pemberi layanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak mendapat perlindungan hukum.
(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bahan yang akan ditindaklanjuti oleh kepolisian guna kepentingan penyelidikan.
KtA meliputi:
a. kekerasan fisik;
b. kekerasan psikis;
c. kekerasan seksual; dan
d. penelantaran.
Pasal 11(1) Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a merupakan kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik nyata ataupun potensial terhadap anak sebagai akibat dari interaksi atau tidak adanya interaksi yang layaknya ada dalam kendali orangtua atau orang dalam hubungan posisi tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan.
(2) Anak korban KtA berupa kekerasan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diduga dengan ditemukannya luka atau cedera pada tubuh anak yang menurut ciri, letak dan sifatnya bukan akibat suatu kecelakaan.
(1) Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf c merupakan pelibatan anak dalam kegiatan seksual, dimana ia sendiri tidak sepenuhnya memahami atau tidak mampu memberi persetujuan, yang ditandai dengan adanya aktivitas seksual antara anak dengan orang dewasa atau anak lain dengan tujuan untuk memberikan kepuasan bagi orang tersebut.
(2) Anak korban KtA berupa kekerasan seksual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diduga dengan ditemukannya riwayat dan/atau tanda penetrasi, persetubuhan, pengakuan adanya pelecehan seksual atau bentuk kekerasan seksual lainnya.
Pasal 14(1) Penelantaran Anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf d merupakan kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk tumbuh kembang anak yang bukan disebabkan oleh karena keterbatasan sumber daya.
(2) Penelantaran anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa kegagalan dalam memenuhi kebutuhan kesehatan, pendidikan, perkembangan emosional, nutrisi, rumah atau tempat bernaung, serta keadaan hidup yang aman dan layak.
(3) Anak korban KtA berupa penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dapat diduga dengan ditemukannya riwayat dan/atau tanda penelantaran.
Pedoman tata cara pemeriksaan, ciri-ciri korban kekerasan, dan interpretasi hasilnya tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
BAB V
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 17(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah bersama dengan organisasi profesi melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan ini sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk:
a. meningkatkan peran pemberi pelayanan kesehatan untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi anak korban KtA secara profesional dan aman;
b. memperkuat jejaring kemitraan dengan lintas sektor dan lintas program dalam pencegahan dan penanganan kasus korban KtA; dan
c. meningkatkan peran keluarga dan masyarakat untuk mendukung pemerintah dalam pencegahan dan penanganan kasus korban KtA.
(3) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. advokasi dan sosialisasi dampak kasus korban KtA terhadap tumbuh kembang anak;
b. pelatihan dan orientasi bagi tenaga kesehatan;
c. peningkatan sarana dan prasarana pelayanan kesehatan; dan
d. monitoring dan evaluasi pelaksanaan program.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 18Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 November 2013
MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,
NAFSIAH MBOI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 November 2013
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN
Lampiran: bn1399-2013